Menuju konten utama

CCTV: Antara Fungsi, Privasi, dan Kontroversi

Jumlah CCTV yang dipasang pihak keamanan di sudut-sudut kota tak selalu berbanding lurus dengan mengecilnya angka kriminalitas di wilayah yang bersangkutan. Sebagai tindak penanggulangan masih terbilang efektif, tetapi belum untuk strategi pencegahan.

CCTV: Antara Fungsi, Privasi, dan Kontroversi
Ilustrasi CCTV di London. FOTO/SHUTTERSTOCK.

tirto.id - Menjelang akhir 2015, muncul rilisan data yang membuat London maupun Chicago iri kepada Beijing. Dua kota besar yang namanya mentereng di seluruh dunia dalam urusan keamanan di sektor publik itu rupanya kalah dari sisi kepemilikan kamera pengawas alias closed-circuit television (CCTV).

Seperti dilaporkan People's Daily, Beijing kini memiliki setidaknya 470.000 mata pengawas dan siap merekam segala gerak-gerik penduduk kota terpadat di Republik Rakyat Cina itu. Jumlah tersebut mengungguli London yang memiliki 422.000 kamera pengawas. Apalagi Chicago yang “hanya” mempunyai 17.000 buah. Uniknya, sistem keamanan lewat CCTV Beijing diberi titel Sky net—nama yang sama bagi entitas artificial intelligence dalam film Terminator yang bertugas sebagai pemburu tokoh utama dengan kemampuan pengawasannya yang super canggih.

CCTV memang dipercaya memiliki kemampuan serupa dengan Sky net. Ruang publik di kota rawan atas tindakan kriminalitas sebab selalu dipakai sebagai tempat berkumpulnya penduduk kota dari segala latar belakang. Mulai dari kalangan bawah hingga atas, dari warga negara yang baik hingga mereka yang berprofesi sebagai kriminal. Demi keamanan maksimal, pengawasan memakai CCTV dinilai sebagai salah satu cara paling efektif. Untuk itulah kota-kota di dunia berlomba-lomba menambah jumlah kamera pengawas.

Selain Cina, London serta Chicago, ada Houston di posisi keempat kota pemilik CCTV terbanyak. Mengacu luas wilayah, jumlah populasi, dan tingkat kriminalitas, diperkirakan jumlahnya sama dengan Chicago atau berkisar 17.000. Sedangkan kota besar AS seperti New York memasang lebih dari 4.450 CCTV.

Efektivitas Singapura

Apakah semakin banyak CCTV terpasang di sebuah kota berbanding lurus dengan rendahnya tingkat kriminalitas? Atau, apakah sistem pengamanan kota lewat CCTV benar-benar bisa diandalkan? Di Singapura, CCTV ternyata cukup ampuh untuk menekan kriminalitas.

Perwakilan dari Lembaga Pembangunan dan Perumahan Singapura atau HBD (The Housing & Development Board) mengatakan kepada The Straits Times, CCTV cukup bisa diandalkan.

Atas dasar itu, mulai awal 2016 pemerintah Singapura mengeluarkan kebijakan baru yang mengharuskan pembangunan kompleks perumahan baru mesti disertai pemasangan CCTV di area-area publik. Target pengawasan kamera ini adalah para rentenir yang sering mengancam masyarakat, tukang buang sampah sembarangan, dan para pemilik kendaraan yang sering parkir sembarangan. Ketiganya menjadi sasaran bidik CCTV bagi Singapura yang terobsesi akan ketertiban dan kedisiplinan maksimal hingga level akar rumput.

Pada 2012 lalu, atau empat tahun sebelum peraturan wajib memasang CCTV di kompleks perumahan diteken, Singapura sebenarnya telah memasang lebih dari 52.000 kamera pengawas kepolisian di 8.600 blok perumahan. Penambahan jumlahnya di tahun ini terus dilakukan karena sesuai catatan pihak kepolisian, angka kriminalitas terus menurun.

Pejabat Pemerintah wilayah Potong Pasir, Sitoh Yih Pin, mengatakan kepada The Straits Times, dulu ia terbiasa mendengar cerita soal ancaman dan tindak kekerasan dari para rentenir saat ia sedang dalam agenda bertemu dengan rakyatnya. “Sekarang saat kamera pengawas sudah dipasang, saya belum menemui cerita atau kasus yang serupa,” katanya.

Pihak kepolisian pada bulan Feburari 2016 menyatakan bahwa blok perumahan yang dipasangi CCTV menjadi lebih aman dari para rentenir dan lebih sedikit menerima kerusakan properti. Jumlah kasus yang dilaporkan dari 2.152 blok yang diawasi CCTV menurun drastis dari 1.617 kasus di tahun 2013 menjadi 426 kasus di tahun 2015.

Pendapat ini bukan cuma klaim sepihak dari pihak berwenang Singapura. Pada 2015, muncul rilis tingkat keamanan kota-kota besar sedunia dari The Economist. Rilis itu menempatkan Singapura sebagai kota kedua teraman setelah Tokyo. Salah satu indikator dari survei tersebut berkenaan dengan keamanan personal. Meski nampak tradisional, indikator ini efektif untuk mengukur tingkat kriminalitas serta komitmen pihak berwenang setempat dalam usaha mengamankan penduduk kota.

Tingkat kriminalitas konvensional seperti pencurian atau perampokan di Singapura amat rendah selama satu dekade terakhir. Laporan BBC di tahun 2013 juga menyatakan bahwa Singapura adalah kota dengan tingkat pembunuhan paling rendah nomor dua di dunia. Hingga pertengahan tahun ini, menurut situs Numbeo, Singapura memiliki indeks keamanan sebesar 83,51 dan indeks kriminalitasnya hanya sebesar 16,49. Merujuk Crime Index Rate yang menganalisis 277 kota itu, Singapura adalah kota teraman kelima di dunia.

Tingkat keamanan Singapura tentu tak hanya karena banyaknya CCTV yang dipasang. Kejahatan yang terjadi di ruang publik kota tak melulu dikarenakan faktor kamera pengawas. Kondisi sesungguhnya lebih kompleks, melibatkan tingkat kesejahteraan ekonomi, tingkat pendidikan, hingga kinerja pihak kepolisian setempat. Faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh dalam jangka panjang. Sedangkan pemasangan kamera pengawas hanyalah cara instan dan baru mampu mengungkap permukaan gunung es kriminalitas sebagai solusi berbasis penanggulangan, bukan pencegahan.

CCTV Berbanding Lurus dengan Indeks Kriminalitas?

Banyaknya CCTV ternyata tak berbanding lurus dengan tingkat keamanan. Misalnya Beijing, yang memiliki hampir 500 ribu CCTV, tetapi indeks kriminalitasnya mencapai angka 36,73 dan indeks keamanannya hanya 63,27. Beijing lebih baik dibanding London yang indeks kriminalitasnya mencapai 47,24, sedangkan indeks keamanan penduduknya hanya 52,76. London bahkan tak lebih aman ketimbang Kolombo, Sri Lanka, yang jumlah CCTV-nya lebih sedikit namun indeks keamanan lebih baik (53,38) dan indeks kriminalitasnya lebih rendah (46,62).

Seperti dikutip dari The Economist, rupanya banyak penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan CCTV tak terlalu berpengaruh terhadap tingkat kriminalitas. Referensi paling banyak dirujuk terkait hal ini berasal dari penelitian Campbell Collaboration. Penelitian itu berhasil membuktikan hipotesa bahwa pemasangan CCTV di kota, ruang publik, dan di transportasi publik ternyata tak selalu menghasilkan efek signifikan terhadap tingkat kriminalitasnya.

Sosiolog dari National University of Singapore Daniel Goh memberikan catatan soal penggunaan CCTV bahwa perilaku masyarakat yang anti-sosial pada dasarnya cenderung oportunis. “Sehingga walaupun penggunaan kamera pengawas cukup efektif, namun pada dasarnya perilaku (kriminal) tersebut tak berubah, melainkan hanya pindah lokasi [yang tak dijangkau CCTV].” paparnya kepada The Straits Times.

Menurut Surveillance Studies Centre di Universitas Queens, Ontario, hasil penelitian tentang kamera pengawas di tahun 2013 menghasilkan kesimpulan lebih tegas lagi: sistem pengawasan kota dengan pemakaian CCTV belum dapat dipastikan keberhasilannya dalam mencegah tindak kriminalitas, demikian dikutip dari CNN.

Pihak College of Policing Inggris menyatakan jika penggunaan CCTV memang tak memiliki dampak pada level tindak kejahatan secara umum. Ia hanya efektif untuk menanggulangi pencurian atau perampokan dengan kendaraan bermotor.

Peningkatan jumlah CCTV di jalanan London juga umum mulai diragukan efektivitas fungsinya sejak beberapa tahun lalu. Mengutip laporan CNN, masyarakat di London mulai mempertanyakan hal ini. Pasalnya, di tahun 2008 kala London mulai tenar sebagai “kota CCTV”, kejahatan yang ditangkap dari tiap 1000 kamera pengawas hanyalah satu tindakan saja.

Hasil yang kurang memuaskan mengingat dana yang digelontorkan pemerintah Inggris untuk pengadaan dan pemeliharaan CCTV termasuk besar. Big Brother Watch, sebuah organisasi yang fokus terhadap kebebasan kaum sipil, menyebutkan angka lebih dari 800 juta dolar AS yang dihabiskan untuk mendanai sistem keamanan berbasis kamera pengawas di Inggris dari kurun waktu 2008-2013.

Bisnis Keamanan dan Ruang Privat

Meski belum terbukti menurunkan indeks kriminalitas secara signifikan, nyatanya bisnis CCTV terus tumbuh. Menurut penelusuran Electronics, lembaga penelitian internasional yang berfokus pada bisnis barang elektronik, tahun lalu nilai penjualan kamera pengawas beserta kelengkapannya mencapai 38 miliar dolar AS.

Angka ini diprediksi akan makin naik di tahun-tahun ke depan seiring kebutuhan di lapangan yang juga naik. Perkembangan teknologi kamera pengawas juga makin canggih, dan lama-kelamaan nasibnya tak jauh berbeda dengan barang elektronik lain: bisa diproduksi dan dijual dengan harga murah.

Tetapi, di sisi lain pertumbuhan penggunaan CCTV juga menimbulkan kontroversi terkait hak privat.

Para aktivis mempersoalkan dualisme fungsi yang secara ironis melekat pada sistem keamanan berbasis CCTV. Di satu sisi CCTV memang bisa menjadi alat untuk membantu menyelesaikan tindak kejahatan (menyelesaikan, bukan mencegah). Namun, di sisi lain privasi masyarakat luas juga sedang dilanggar. Kecanggihan sistem kamera pengawas sudah pada taraf mampu melacak pergerakan tiap orang lintas negara bahkan benua.

Bagi Jennifer Lynch, pada dasarnya masyarakat malah merasa tak nyaman jika setiap pergerakannya diikuti oleh pemerintah setiap saat. “Kami hanya ingin privasi sehingga dapat pergi ke tempat yang pemerintah tak perlu tahu secara mendetail,” kata pengacara Electronic Frontier Foundation, sebuah organisasi kebebasan masyarakat sipil di internet itu.

Emmeline Taylor, dosen sosiologi di The Australian National University, memaparkan beberapa tindak penyelewengan atas penggunaan CCTV di artikelnya yang dimuat The London School of Economics and Political Science dua tahun lalu.

Ia mencontohkan, di tahun 2009 silam ada pihak tak bertanggung jawab yang merekam siswa sebuah sekolah di Manchester, Inggris, saat sedang berganti baju sebelum mengikuti pelajaran olahraga. Dua tahun setelahnya, muncul kasus pengunggahan rekaman CCTV website Internet Eyes ke kanal Youtube dan memancing kehebohan karena banyak pihak yang mengecamnya sebagai pelanggaran privasi. Muncul juga pelanggaran privasi yang membuat warga di Royston, Hertfordshire, gerah lantaran sistem pengamanan kota tersebut dinilai berlebihan dan membuat akses keluar-masuk kota menjadi super ketat.

Emmeline sesungguhnya ingin berkata, bahwa CCTV tak jauh berbeda dengan produk teknologi lainnya. Kala CCTV ber-revolusi makin canggih, sistem keamanan sebuah kota memang bisa ditata lebih baik. Namun jika teknologi tersebut jatuh ke tangan yang salah, maka ia juga bisa menjadi alat yang berbahaya, bahkan mampu memunculkan kejahatan-kejahatan yang baru.

Ke depan, penggunaan CCTV akan selalu dalam bingkai kompromi: bagaimana masyarakat kota bisa tetap aman tetapi dengan meminimalisir pelanggaran atas privasi dan kenyamanan personal. Pemerintah dan aparat keamanan perlu intensif menjalin komunikasi dengan masyarakat sipil akan kondisi ini. Toh serupa dengan kebijakan publik lainnya, penggunaan kamera pengawas butuh dana tak sedikit, dan tak lain berasal dari pajak yang dikumpulkan dari kantong warga kota itu sendiri.

Baca juga artikel terkait TEKNOLOGI atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Teknologi
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti