Menuju konten utama

Dampak Terburuk Inflasi dan Suku Bunga AS yang Tinggi bagi Dunia

Pengetatan kebijakan moneter bank sentral AS, jelas berpotensi mempengaruhi kesehatan perekonomian global.

Dampak Terburuk Inflasi dan Suku Bunga AS yang Tinggi bagi Dunia
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keterangan usai penandatanganan Deklarasi Bali Asia Initiative disela pelaksanaan 3rd Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) dan Finance and Central Bank Deputies (FCBD) G20 di Nusa Dua, Badung, Bali, Kamis (14/7/2022). ANTARA FOTO/POOL/Fikri Yusuf/rwa.

tirto.id - Inflasi Amerika Serikat (AS) pada Juni 2022 meroket tajam. Menurut data Biro Statistik Tenaga Kerja AS, Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat sebesar 9,1 persen secara tahunan (year on year). Nilai tersebut meningkat dari Mei 2022 sebesar 8,6 persen atau tertinggi dalam kurun waktu 40 tahun terakhir.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dampak dari inflasi AS yang tinggi telah direspons dengan kenaikan suku bunga The Fed secara agresif. Pengetatan kebijakan moneter bank sentral AS, jelas berpotensi mempengaruhi kesehatan perekonomian global. Terlebih, mata uang dolar AS mendominasi 60 persen transaksi dunia.

"Secara historis kita lihat setiap kali Amerika menaikkan suku bunga apalagi secara sangat agresif biasanya diikuti oleh krisis keuangan dari negara-negara emerging. Seperti yang terjadi pada tahun 1974 1980-an dan juga terjadi pada akhir tahun 1980-an," kata Sri Mulyani dalam APBN Kita, Rabu (27/7/2022).

Bendahara Negara itu mengatakan, pengetatan kebijakan AS menjadi salah satu hal risiko yang dipantau oleh institusi seperti Dana Moneter Internasional (IMF). Lembaga keuangan dunia itu tengah melihat dampak kerawanan kepada negara-negara emerging.

"Volatalitas yang meningkat ini juga menimbulkan kemungkinan penurunan atau pelemahan kinerja ekonomi negara-negara di seluruh dunia, Amerika Serikat dengan kenaikan suku bunga maka memunculkan adanya tantangan atau ancaman resesi," katanya.

Menurut Bloomberg survei, probabilitas Amerika Serikat mengalami resesi hingga mencapai 40 persen. Kemudian Eropa probabilitas mengalami resesi 55 persen. Sementara Cina, ekonomi terbesar di dunia yang menerapkan policy lockdown, probabilitas resesi tahun ini adalah 20 persen.

"Kalau kita lihat di berbagai negara mereka dihadapkan pada dilema kenaikan inflasi tinggi dan pengetatan moneter dan kemudian akan menyebabkan pelemahan ekonomi mereka mereka dihadapkan pada kemungkinan munculnya resesi di negara tersebut," katanya.

Meskipun demikian, Pemerintah Indonesia tetap waspadai karena semua indikator ekonomi dunia mengalami pembalikan, yaitu dari tadinya recovery menjadi pelemahan. Pada saat yang sama pemerintah juga melihat kompleksitas dari sisi moneter negara maju menimbulkan imbas negatif ke negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

"Tentu ini harus diwaspadai juga," tandasnya.

Baca juga artikel terkait DAMPAK INFLASI AS atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang