tirto.id - Jie-Sheng Tan-Soo dan Suhrendu K. Paattanayak menganalisis dampak jangka panjang dari kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 1997. Kebakaran hutan di Indonesia berada di luar kendali dan menyebar hingga 110 ribu kilometer persegi di area hutan.
Studi ini ingin menjelaskan dampak jangka panjang kesehatan dan korelasinya dengan tingkat ekonomi masyarakat terdampak. Pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana dampak ekonomi dalam menjaga kesehatan akibat kabut asap dan kebakaran hutan lebih besar daripada biaya ekonomi menggunakan kebijakan alternatif.
Studi ini ingin menggambarkan mengapa pembangunan berkelanjutan (SDGs) harus melihat faktor eksternal, mempromosikan keadilan antar-generasi, dan meningkatkan kemampuan.
Studi ini melihat, mengejar keuntungan jangka pendek dari kebakaran lahan untuk perkebunan sawit menghasilkan polusi udara yang menyebabkan dampak kesehatan jangka panjang yang tidak dapat dipulihkan.
Para peneliti mempelajari 560 anak-anak yang dilacak sejak tahun 1993, catatan tempat tinggal ibu mereka, tanggal lahir bayi di daerah-daerah tertentu untuk mengidentifikasi paparan polusi udara dari Agustus hingga Oktober 1997 ketika puncak kebakaran terjadi.
Polusi udara dapat menyebabkan berat badan lahir bayi lebih rendah dan kelahiran prematur. Para peneliti memiliki bukti yang menunjukkan anak-anak tumbuh lebih pendek.
Tinggi badan ini secara langsung mempengaruhi tingkat penghasilan. Dampak negatif dari perawakan seseorang seperti stamina dan kognisi menghasilkan produktivitas ekonomi yang lebih rendah.
Pertumbuhan bayi-bayi yang lahir pada tahun kebakaran terhambat hingga 3,4 sentimeter yang pada gilirannya berpengaruh secara negatif dalam kemampuan untuk mendapat penghasilan.
Studi juga melakukan analisis biaya manfaat sosial dalam pembakaran lahan untuk dijadikan sebagai perkebunan sawit. Penggunaan metode mekanis menghasilkan jejaring sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan pembukaan lahan menggunakan api.
Namun, produsen kelapa sawit tidak mau menanggung biaya yang lebih tinggi dari pembukaan lahan secara mekanis.
Studi ini juga mengkonfirmasi, temuannya tidak didorong oleh polusi pada tahun-tahun berikutnya, efek tidak langsung polusi udara parah pada kemampuan keluarga untuk bekerja dan mendapat penghasilan, lokasi, dan pengurangan konsumsi makanan pada bulan-bulan kebakaran.
Pattanayak mengatakan studi ini dapat bermanfaat bagi para pembuat kebijakan yang berfokus pada solusi jangkap pendek. Ia mengatakan pembuat kebijakan cenderung menekankan kebijakan picik tanpa memikirkan biaya jangka panjang apalagi dampaknya.
“Penelitian terapan diperlukan agar kebijakan lebih berani yang dibuat pemerintah menjadi pilihan yang tepat,” ucap Pattanayak seperti dikutip Mongabay.
Pada kesimpulannya, studi ini merekomendasikan larangan api yang lebih efektif, pemadaman kebakaran, moratorium kelapa sawit di Indonesia untuk melindungi modal alam dan manusia dan meningkatkan kesejahteraan sosial.
Kesimpulannya, penelitian menunjukkan manfaat jejaring sosial dari pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dengan pembakaran lebih rendah manfaatnya dibandingkan dengan pembukaan lahan secara mekanis, penegakaan larangan penggunaan pembakaran lahan, dan upaya penanggulangan kebakaran yang lebih baik.
Editor: Dipna Videlia Putsanra