tirto.id - Ratusan gugatan sengketa hasil pemilihan umum (Pemilu) 2019 tengah disidangkan Mahkamah Konstitusi (MK). Satu gugatan yang menarik perhatian publik adalah menggugat selisih hasil suara yang dianggap curang karena menggunakan foto hasil editan sehingga tampak lebih cantik dan menarik saat mendaftar sebagai calon legislator.
Adalah calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI petahana dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat (NTB) Farouk Muhammad yang mempersoalkan calon DPD peraih suara terbanyak Evi Apita Maya. Farouk mendalilkan penggunaan foto hasil editan yang mengubah identitas diri termasuk pelanggaran administrasi.
“Dalam pelanggaran administrasi dilakukan tindakan tidak jujur bahwa calon anggota DPD RI Nomor Urut 26 atas nama Evi Apita Maya diduga telah melakukan manipulasi atau pengeditan foto di luar batas kewajaran,” tutur kuasa hukum Farouk Muhammad, Happy Hayati Helmi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jakarta Pusat, seperti dikutip Antara, Jumat (12/7/2019).
Farouk juga mempersoalkan Evi Apita Maya secara sengaja memajang foto diri dengan logo DPD RI pada spanduk yang digunakan sebagai alat peraga kampanye. Padahal, ia belum pernah menjabat sebagai anggota DPD sebelumnya.
Atas perbuatan itu, Evi Apita Maya disebut secara nyata mengelabui dan menjual lambang negara untuk menarik simpati rakyat NTB sehingga memperoleh suara terbanyak.
“Kalau dilacak pemilih memilih dengan alasan foto cantik dan menarik walaupun tidak mengetahui siapa calon tersebut,” kata Happy.
Benarkah calon dipilih karena tampang cantik atau tampan?
Dalam pemilihan umum setidaknya ada tiga kategori yang menjadikan dasar pemilih dianggap rasional ketika memilih calon wakil di parlemen. Ketiga kategori ini adalah popularitas, elektabilitas, dan akseptabilitas.
Direktur Riset Populi Center Usep S. Ahyar mengatakan lembaganya selalu mendasari tiga hal itu untuk mengetahui apakah masyarakat mengenali, menyukai atau bahkan akan memilih kandidat tersebut.
Populi Center, kata Usep, kerap mendapatkan jawaban banyak masyarakat yang tak mengenal calonnya dan khusus Pileg DPD hanya memilih melihat dari foto yang menarik untuk dipilih. Apalagi, jumlah caleg DPD dalam satu kertas surat suara bisa lebih dari 10 kandidat.
“Apalagi DPD banyak calonnya ya, dalam satu kertas plus ada fotonya ya akhirnya masyarakat mengandalkan pilihannya, ya [bisa jadi] enggak rasional," kata Usep kepada reporter Tirto, Rabu (17/7/2019).
Foto yang mencolok, nomor urut, dan tata letak foto, kata Usep, banyak menjadi alasan pemilih memilih calon saat membuka kertas surat suara DPD.
Sebab, kata Usep, sistem pemilu yang rumit, program-program caleg yang tak masif disosialisasikan, dan banyaknya calon akhirmya menimbulkan pemilih yang tak rasional.
“Akhirnya pas di bilik suara mencoblos yang lebih mudah, misalnya coblos nomor 1, atau posisinya di pojok kanan atau pojok kiri, atau yang saat ini dimasalahkan fotonya lebih kelihatan beda dari yang lain," kata Usep.
Apalagi, kata Usep, masih banyak masyarakat yang tak memahami tugas dan fungsi lembaga DPD. Ditambah lagi, kata dia, pemilihan diserentakkan dengan Pilpres sehingga DPD dianaktirikan oleh masyarakat saat memilih di dalam bilik suara.
“Kalau pemilih rasional, ya orang mengenal siapa yang dipilihnya. Tapi, kan, kebanyakan tak paham siapa yang dipilihnya. Apalagi memilih [caleg] DPD yang di masyarakat kita nomor ke sekian setelah Pilpres dan Pileg DPR atau DPRD," kata Usep.
Menampilkan foto terbaik di Alat Peraga Kampanye (APK) maupun di surat suara memang bisa menjadi strategi meraup suara. Para caleg akan memanfaatkan paras cantik atau ganteng, atau penampilan yang 'nyentrik' demi bisa dikenal masyarakat dan diingat sampai di bilik suara.
Direktur Riset Charta Politika, Muslimin mengatakan masyarakat akan lebih menyukai wajah ganteng atau cantik untuk dipilih ketimbang melihat lebih dulu program-program yang ditawarkannya.
"Itu memang bagian dari strategi juga karena DPD itu orang milih nama plus ada fotonya sehingga mereka pasang foto terbaik di APK, ya pasti ada yang diedit karena foto atau wajah di DPD itu memang memengaruhi pemilih," ucap Muslimin.
Menurut dia, kategori dua rasionalitas pemilih, yakni akseptabilitas dan elektabilitas akan menguap saat pemilih tak tahu harus memilih siapa saat hari-H Pemilu. Alhasil, masyarakat yang tak mau tahu kualitas caleg biasanya tertarik berdasarkan popularitas saja.
"Katakanlah ada yang ganteng atau cantik, ya orang akan lebih cepat mengenal, tapi tak jadi jaminan juga akan dipilih banyak masyarakat," kata Muslimin.
Muslimin menegaskan, persoalan cantik dan ganteng bukanlah jaminan bagi seorang caleg untuk bisa meraih banyak suara. Di Pileg DPR RI saja, misalnya, banyak berhamburan caleg-caleg dari kalangan artis yang dipastikan memiliki paras yang menarik.
Namun, kata Muslimin, tak sedikit dari mereka yang gagal melenggang ke Senayan karena kalah perolehan suara.
Sebut saja Kirana Larasati (caleg PDIP), Mulan Jameela (caleg Gerindra), Nafa Urbach dan Olla Ramlan (caleg Nasdem) yang gagal melenggang ke Senayan. Padahal mereka memiliki wajah cantik tanpa harus fotonya diedit seperti Evi Apita Maya.
Menurut Muslimin, karakteristik pemilih juga menjadi faktor banyak sedikitnya caleg berhasil meraup suara. Biasanya, pemilih yang berpendidikan tinggi dan tingkat ekonominya menengah ke atas akan memilih caleg didasari rekam jejak, serta kualitas keilmuannya. Sementara pemilih yang berpendidikan rendah dan tingkat ekonominya menengah ke bawah akan melihat sisi popularitas caleg terlebih dulu.
“Aspek geografis juga jadi faktor, antara masyarakat yang tinggal di perkotaan sama di pedesaan ya akan berbeda saat memilih, antara popularitas dulu atau kualitasnya dulu,” kata Muslimin.
Meski begitu, Muslimin menilai, tak relevan bila persoalan ini digugat di MK, apalagi untuk membuktikan terjadinya kecurangan hasil suara. Sebab, dalih Farouk Muhammad dinilai tak logis. Menurut dia, persoalan foto seharusnya diprotes saat proses pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Apalah kemudian foto dijadikan bukti selisih suara, ya ini susah dibuktikan, berat gugatan ini diterima MK," kata Muslimin menambahkan.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz