tirto.id - "Bagaimana mungkin orang yang punya track record selama hidupnya, lalu keluarganya berasal begitu plural mau mengungkapkan hate speech? Itu luar biasa tuduhan yang tidak berdasar. Kami merasa ini kriminalisasi."
Pernyataan itu disampaikan Buni Yani dengan penegasan. Suaranya sedikit meninggi, meskipun tertahan. Ia adalah terdakwa kasus ujaran kebencian atas dugaan memotong video pidato mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu. Video yang kemudian viral dan menjebloskan Basuki ke penjara atas kasus penistaan agama.
Buni Yani mengaku berasal dari keluarga yang plural. Kakeknya seorang haji, tapi sekaligus punya saudara yang menikah dengan seorang beragama Hindu. Sepupu ibunya pun menikah dengan seorang Manado dan berpindah menjadi Kristen.
Hal itulah yang membuatnya tak habis pikir dapat dijerat dengan tuduhan pengujar kebencian pada Basuki yang beragama Kristen.
"Kalau ada acara besar, semua (keluarga) berkumpul di rumah," kata Buni Yani.
Tak cukup dengan itu, ia pun menjelaskan perjalanan hidupnya yang menurutnya pun sangat plural. Ia mengaku kuliah strata satu di Jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas di Bali selama 5,5 tahun.
"Saya jadi minoritas di sana," kata Buni Yani.
Setelah lulus, ia mengaku melanjutkan studi strata dua di Amerika dengan beasiswa yang menurutnya dari "orang yang beragama lain." Yang terus berlanjut sampai mendapat beasiswa penelitian doktoral di Belanda dan Manilla, Filipina.
Semua pernyataan itu disampaikannya kepada Wakil Ketua DPR Fadli Zon di DPR, Kamis (2/11). Ia berharap Fadli bisa membantunya dari kriminalisasi yang dihadapinya.
Menurutnya, pilihan diksi “kriminalisasi” yang dipakainya pun tak sembarangan. Pasalnya, kata Buni Yani, sejumlah ahli telah menyatakan perbedaan kutipan yang ditulisnya dengan ucapan Basuki dalam pidatonya bukanlah sebuah hal yang melanggar hukum.
"Saya bertanya di Facebook kemudian berimbas ke mana-mana," ucap Buni.
Baca: Jelang Vonis Buni Yani, Fadli Zon: DPR Ikut Mengawasi
Sebagai seorang mantan wartawan dan peneliti, Buni mengatakan bahwa perbedaan cara mengutip adalah hal yang biasa saja. "Ini enggak ada kaitannya dengan hukum pidana bahwa orang mengutip lalu ada yang hilang. Pakai tanda kurung itu hal biasa," kata Buni Yani.
"Ini persoalan akademik yang bisa dipecahkan secara intelektual tapi dibawa ke ranah pidana," imbuhnya.
Hal lain yang pula disesalkannya dari kasus ini adalah penelitian doktoralnya mesti terbengkalai selama setahun ke belakang. Terakhir, ia mengaku melakukan riset popular culture di Seoul Korea dan terhenti. Begitupun buku yang ditulisnya.
Maka, ia berharap Fadli Zon bisa membantunya meluruskan kasus ini agar semua rencananya tercapai dan tidak ada orang lain seperti dirinya.
"Buni Yani siapa sih? Dosen kecil. Tapi bukan soal itu membela Buni Yani. Tapi membela hak warga negara. Kalau saya dikriminalisasi seperti ini tinggal tunggu orang lain juga bisa dikriminalisasi dengan pasal-pasal, dakwaan-dakwaan yang tidak berdasar," pungkasnya.
Menanggapi hal itu, Fadli menyatakan rasa empatinya. Ia pun mengusulkan agar cerita penderitaan Buni Yani dibukukan saja.
"Saya kira harus dibuat bukunya supaya nanti tidak terulang kembali satu peristiwa yang dialami saudara Buni Yani," kata Fadli di DPR, Kamis (2/11).
Namun, Fadli mengaku tidak bisa mengintervensi hukum yang tengah berjalan. Dia hanya berharap majelis hakim yang memimpin sidang nanti dapat mengeluarkan putusan yang seadil-adilnya.
"Saya kira ini suatu kasus yang harus segera diakhiri. Kita tutup dengan sebuah keadilan," kata Fadli.
Buni Sendiri bakal menghadapi sidang putusan pada 14 November mendatang.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Alexander Haryanto