tirto.id - Pekan lalu, sebuah berita dari dunia pendidikan di Inggris viral di media-media digital. Dilansir BBC, sekitar 30 siswa ISCA Academy di Exeter nekat masuk sekolah mengenakan rok karena tidak diperbolehkan memakai celana pendek ketika cuaca di sana sedang panas-panasnya. Pihak sekolah bersikeras menegakkan peraturan untuk mengenakan celana panjang bagi siswa dan hanya akan mengubahnya setelah berkonsultasi dengan siswa-siswa lain dan wali mereka.
Aksi tersebut dilakukan olah para siswa sebagai wujud protes. Sebelumnya, Claire Reeves, salah satu orangtua siswa, telah menyarankan sekolah untuk memberi kelonggaran bagi para siswa untuk memakai celana pendek khusus pada hari-hari bercuaca panas seperti pekan itu. Namun, suara Reeves hanya dianggap angin lalu hingga akhirnya siswa-siswa sendirilah yang berinisiatif datang ke sekolah memakai rok.
Aksi mengenakan pakaian tidak sesuai jenis kelamin bawaan dari lahir seperti ini memang bukan yang pertama terjadi. Sejak ratusan tahun silam, perilaku bertukar penampilan telah dilakukan di berbagai negara. Sebagian merupakan aksi-aksi individu, sementara lainnya adalah bagian dari kebudayaan setempat. Perilaku ini dikenal dengan sebutan trasvestisisme atau cross-dressing. Cross-dressing kerap dianggap sebagai suatu penyimpangan dan mesti dilarang, karena kuatnya konstruksi gender di berbagai aspek kehidupan. Dalam dunia psikiatri, cross-dressing bisa dikategorikan sebagai parafilia setara fetisisme yang bila tak terpenuhi, seseorang akan merasa kekurangan.
Namun, benarkah motivasi bertukar penampilan semata-mata merupakan pemenuhan hasrat seksual?
Dalam satu kasus seperti di Inggris antara tahun 1450-1553—yang kebudayaannya masih menjunjung tinggi heteronormativitas—, 13 perempuan dituntut hukuman karena melakukan cross-dressing. Sebagian mengenakan topi laki-laki atau jubah pastor dan memangkas pendek rambutnya. Dua dari antara mereka melakukannya dalam jangka panjang, sementara lainnya berpenampilan seperti laki-laki hanya untuk tujuan membangkitkan suasana erotis.
Lain cerita dengan di Jepang. Sejak zaman Edo, dikenal seni pertunjukan kabuki.Dalam kesenian ini, para aktor berpenampilan dan mengambil peran-peran perempuan. Di samping noh dan bunraku, kabuki disebut-sebut sebagai salah satu dari tiga bentuk teater klasik Jepang. UNESCO pun menyatakannya sebagai warisan budaya nonbendawi.
Pada era modern, perilaku bertukar penampilan masih dijalankan segelintir masyarakat Jepang yang notabene pengaruh patriarkinya begitu kuat. Di sana, berkembang sesuatu yang dinamakan otokonokoyang diterjemahkan “male daughter”. Laki-laki menggunakan lipstik, berambut panjang, dan memakai gaun-gaun cantik. Otokonoko dikatakan sebagai inkarnasi kebudayaan Jepang lawas dalam bertukar peran atau penampilan. Otokonoko juga dapat dilihat sebagai wujud tradisi cosplayyang memang dirayakan di sana. Laki-laki yang melakukan cross-dressing di Jepang ini tak melulu merupakan gay atau biseksual. Bisa saja mereka adalah orang-orang heteroseksual atau bahkan aseksual yang senang mengekspresikan diri dengan pakaian-pakaian feminin.
Motivasi bertukar penampilan sebagai ekspresi seni juga ditemukan dalam kebudayaan lain. Di Turki, sejak zaman Kekaisaran Ottoman, tarian merupakan bentuk hiburan yang sangat digemari, baik di tataran kerajaan maupun rakyat jelata. Mereka mengenal çengi; sebutan bagi penari-penari yang mulanya mencakup laki-laki dan perempuan. Pada perkembangannya, çengihanya merujuk pada penari perempuan, sementara yang laki-laki dikenal dengan sebutan köçek. Para penari laki-laki ini biasa ditemukan memakai rok dan meniru penampilan serta perilaku peremuan. Sebaliknya, dalam beberapa kesempatan pun, çengibisa ditemukan mengenakan pakaian dan mengambil peran laki-laki.
Selain motivasi ekspresi seni, bertukar penampilan juga berelasi dengan pilihan hidup selibat sebagian perempuan. Carol Delaney (2004) memaparkan dalam buku Investigating Culture: An Experiential Introduction to Anthropology bahwa di Albania pun ditemukan perilaku cross-dressing. Ada perempuan-perempuan yang mengenakan baju dan melakukan peran-peran laki-laki dalam keseharian, kecuali untuk urusan seks. Mereka disebut sebagai "sworn virgins". Perempuan-perempuan ini memilih tetap perawan seumur hidup dengan alasan menghindari pernikahan yang tidak diinginkannya atau meneruskan patrimoni dalam keluarga yang tak memiliki anak laki-laki.
Tradisi bertukar penampilan lainnya ditemukan pada masyarakat asli Amerika. Di sana, mereka mengenal istilah "berdache". Jacobo Schifter (1999)yang menulis From Toads to Queens: Transvestism in a Latin American Settingmengungkapkan, berdache merupakan laki-laki asli Amerika yang melakukan cross-dressing dan berperan sebagai penyembuh atau pemimpin politik.
Dalam sebuah kesempatan, Tirto mewawancarai salah seorang milenial yang mengaku senang melakukan cross-dressing dalam acara-acara formal. Ignatius Aditya mengungkapkan alasan lain mengapa ia suka memakai pakaian-pakaian perempuan sejak SMA. Ia merasa bahwa cross-dressing yang dilakukannya hanya untuk menyenangkan dirinya sendiri. “Gue merasa lebih nyaman aja ketika tampil formal dalam pakaian perempuan. Di acara pernikahan, prom night, saat manggung band, atau acara-acara sejenisnya. Pas prom night gue pakai kebaya malah. Buat gue, pakai baju-baju perempuan yang formal lebih pas di badan dibanding baju-baju formal laki-laki.” Ia tak hanya berani mengenakan baju-baju perempuan saat tampil formal, tetapi juga menggunakan make up.
Dengan melakukan cross-dressing, Adit sebenarnya tidak serta merta mengubah orientasi seksualnya. Ia hanya senang berpenampilan androgini alias berada di tengah-tengah batasan laki-laki dan perempuan. “Gender is a drag, dan gue nyaman berada di luar itu,” ujarnya.
Laki-laki yang mengagumi sosok Brian Molko dan Shannyn Sossamon ini pun tak sendirian melakukan cross-dressing. Ia mengaku sempat bertukar penampilan dengan teman band perempuannya saat berada di atas panggung.
Selain berpenampilan perempuan, Adit juga menunjukkan dirinya sebagai sosok androgini lewat penggunaan nama panggung. Ia memilih sebuah namayang acap kali dilekatkan dengan perempuan.
Di tengah masyarakat heteronormatif seperti di Indonesia, tentu saja perilaku seperti Adit ini kerap mengundang sorotan orang-orang sekitar. Ia mengatakan tak jarang mendapat pandangan risi dari sekeliling saat memakai baju perempuan. “Tapi, banyak di antara mereka yang nganggap gue lagi bercanda aja, sih, walaupun sebenarnya gue sama sekali nggak pengin ngelucu dengan cross-dressing.”
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti