Menuju konten utama

COVID-19 Inggris Meroket karena Boris Johnson Lebih Peduli Cuan

Boris Johnson minta maaf. Pemerintahannya dinilai lebih peduli bisnis daripada keselamatan warga.

COVID-19 Inggris Meroket karena Boris Johnson Lebih Peduli Cuan
Boris Johnson berpidato di London, Rabu, 17 Juli 2019. AP / Frank Augstein

tirto.id - “Saya minta maaf sebesar-besarnya atas setiap nyawa yang melayang, dan tentu sebagai Perdana Menteri, saya bertanggung jawab penuh terhadap semua yang sudah pemerintah kerjakan selama ini,” ungkap Boris Johnson penuh penyesalan setelah mengumumkan lebih dari 100 ribu kasus kematian akibat COVID-19 di Inggris Raya (26/1/2021). Johnson tidak memberikan alasan di balik meroketnya angka kematian, namun menegaskan bahwa pemerintah “sudah melakukan semua yang bisa dilakukan” dan akan terus berusaha untuk menekan jumlah korban jiwa.

Sampai akhir Januari 2021, Inggris menjadi negara Eropa dengan kasus kematian tertinggi. Perancis yang populasinya hampir sama dengan Inggris (sekitar 67 juta jiwa) mencatat 75 ribu kematian, sementara Italia 87 ribu (dari 60 juta populasi jiwa).

Menurut situs pelacakan Johns Hopkins University, Inggris menduduki peringkat keempat dunia sebagai negara dengan angka positif COVID-19 tertinggi (3,8 juta kasus) dan peringkat kelima dengan kasus kematian di atas 100 ribu. Di atasnya, masih ada India dengan 154 ribu kasus kematian, Meksiko (156 ribu), Brazil (222 ribu), dan Amerika Serikat (437 ribu).

Separuh lebih dari keseluruhan kasus meninggal akibat COVID-19 di Inggris tercatat sejak November. Artinya, hanya dalam kurun waktu tiga bulan, angka kematian meningkat pesat. Padahal, berbagai pembatasan aktivitas publik sudah dicanangkan sejak akhir Maret atau 10 bulan sebelumnya. Menurut situs resmi pemerintah, rata-rata kematian per minggu pada Januari kemarin lebih tinggi daripada statistik April tahun lalu, atau saat gelombang pertama melanda.

Di sisi lain, penambahan kasus positif COVID-19 menunjukkan tren melandai sejak awal Januari. Namun demikian, rasio transmisi penyebaran virus di dalam masyarakat masih dinilai cukup tinggi. Sepanjang 6-22 Januari, Imperial College London dan Ipsos MORI melakukan tes untuk mendeteksi virus pada 167.600 sukarelawan di wilayah Inggris (negara bagian England). Hasilnya, 1 dari 64 orang terdeteksi positif COVID-19. Pada waktu yang sama, tenaga medis di seluruh penjuru negeri dilaporkan kewalahan menangani 37 ribu kasus opname karena infeksi COVID-19. Angka tersebut jauh lebih besar daripada jumlah opname pada puncak gelombang pertama. Selain itu, jumlah pengguna ventilator mencapai empat ribu orang, paling tinggi dalam sejarah penanganan pasien COVID-19 di rumah sakit selama ini.

Pada 5 Januari 2021, pemerintah pusat kembali menerapkan lockdown sampai waktu yang belum ditentukan. Keputusan tersebut menjadi perintah lockdown ketiga, setelah dilakukan tahun lalu pada akhir Maret dan awal November.

Para akademisi berusaha memberikan penjelasan tentang suramnya penanganan COVID-19 di dalam negeri. Menurut pakar ilmu kesehatan masyarakat dari University of Edinburgh, Prof. Linda Bauld, situasi Inggris hari ini merupakan “warisan dari keputusan-keputusan buruk“ yang diambil ketika berbagai pembatasan dikendorkan terutama terkait aturan perjalanan, dan kemudian diperparah dengan persebaran virus tipe anyar.

Prof. Calum Semple dari University of Liverpool menyampaikan pandangan senada. Selain mengakui “nasib sial” mereka karena kedapatan virus varian baru, Prof. Semple tidak menampik bahwa situasi parah yang dialami bangsanya sekarang juga didorong oleh kurangnya investasi untuk program layanan kesehatan publik (National Health Service) dalam beberapa dekade terakhir, serta karena terkikisnya otoritas kesehatan masyarakat.

Menelusuri Kebijakan Pemerintah Sejak 2020

Administrasi Johnson sejak awal pandemi sudah dikritik oleh sejumlah tokoh di parlemen karena dinilai kurang sigap dalam menerapkan kebijakan karantina dan pembatasan perjalanan.

Sejak kasus pertama COVID-19 ditemukan di Yorkshire pada 31 Januari 2020, pemerintah tidak menutup perbatasan negara. Pendatang tetap diizinkan masuk ke Inggris dengan catatan harus melakukan isolasi (bergejala maupun tidak), di antaranya yang berasal dari kawasan berisiko tinggi seperti Wuhan, Hubei (Cina), Iran, Italia, dan sejumlah kota di Korea Selatan. Namun, pada 12 Maret, aturan tersebut digantikan dengan guidance (pedoman) bagi semua pendatang dari mana pun asalnya untuk isolasi mandiri apabila merasakan gejala. Sepuluh hari kemudian, tepatnya tanggal 23 Maret, pemerintah mengumumkan lockdown, seiring memuncaknya kasus infeksi dan kematian.

Keterlambatan pemerintah memberlakukan lockdown juga disorot. Pada Juli, Prof. Neil Ferguson dari Imperial College London menyampaikan kepada jajaran di parlemen, “Kalau saja kita memulai langkah-langkah lockdown seminggu lebih awal, kita akan bisa mengurangi angka kematian sampai separuhnya.” Prof. John Edmunds, salah satu penasihat kesehatan pemerintah, juga mengungkapkan bahwa keterlambatan lockdown sudah memakan banyak korban jiwa. Namun, Prof. Edmunds menekankan betapa buruknya ketersediaan data pada awal Maret, sehingga situasinya teramat sulit kala itu untuk mengambil langkah.

Kebijakan terkait pembatasan perjalanan dan momentum lockdown ternyata memang berpengaruh terhadap kekacauan sepanjang puncak gelombang infeksi. Terungkap dalam penelitian berjudul “Establishment and lineage dynamics of the SARS-CoV-2 epidemic in the UK“ (2021) oleh tim periset dari kampus Oxford, Edinburgh dan Imperial College London, bahwa rantai-rantai penularan infeksi di Inggris sejak awal tahun 2020 rupanya berasal dari kawasan Eropa (Spanyol 33%, Perancis 29%, Italia 12%), sementara dari Cina hanya 0,4%. Hasil studi menyimpulkan bahwa masa-masa sebelum lockdown Maret, tingginya angka perjalanan dan sedikitnya pembatasan untuk kedatangan internasional, telah mendorong pembentukan dan sirkulasi bersama lebih dari 1.000 turunan transmisi virus, yang ikut mempercepat kasus penyebaran infeksi di dalam negeri.

Dengan melakukan rekonstruksi di mana dan kapan COVID-19 dibawa masuk ke dalam Inggris Raya, bisa kita lihat bahwa intervensi perjalanan dan karantina lebih awal seharusnya dapat membantu untuk mengurangi percepatan dan intensitas gelombang pertama kasus,” ujar salah satu pemimpin tim riset, Prof. Oliver Pybus dari kampus Oxford.

Sampai hari ini, pemerintah Inggris tidak pernah menutup seutuhnya gerbang internasionalnya, meskipun pada Juni mereka mulai meregulasikan aturan isolasi bagi semua pendatang. Kemudian, pemerintah juga mencanangkan travel ban atau larangan kunjungan bagi pendatang dari negara-negara tertentu yang berpotensi sebagai sumber penyebaran virus, dan daftarnya senantiasa diperbarui. Berdasarkan aturan pemerintah per Januari 2021, seluruh setiap kedatangan diwajibkan menunjukkan sertifikat bebas COVID-19, kemudian mengisolasi diri 10 hari setibanya di sana. Mereka yang tidak punya bukti bebas COVID-19, akan dijatuhi sanksi denda sebesar 500 poundsterling (sekitar Rp9,6 juta).

Selain itu, strategi pemerintah untuk menangani pandemi melalui program Test and Trace (Tes dan Pelacakan) baru digencarkan oleh otoritas kesehatan NHS pada 28 Mei 2020, atau nyaris empat bulan setelah kasus infeksi pertama ditemukan di Inggris. Sampai September, sistem pelacakan ini masih dinilai kurang optimal karena baru bisa menjangkau 50-60% kontak kasus (di bawah batas target 80%), meskipun setelah itu persentase jangkauannya mulai menunjukkan tren kenaikan.

Sepanjang musim panas Juni-Agustus 2020, angka infeksi dan kematian berhasil ditekan. Memasuki September mulai nampak lagi kecenderungan naik. Salah satu sebabnya diduga berkaitan dengan kebijakan pemerintah bertajuk “Eat Out to Help Out”untuk mendorong kebangkitan bisnis kuliner setelah berakhirnya lockdown pertama.

Sepanjang 3-31 Agustus, pemerintah menyokong industri kuliner dengan 50% potongan harga makanan atau minuman non-alkohol. Mengutip studi oleh tim peneliti dari University of Warwick pada Oktober, terungkap bahwa bisnis kuliner mengalami peningkatan kunjungan antara 10-200% dibandingkan tahun 2019. Namun, kenaikan omzet tersebut harus dibayar dengan lahirnya kluster infeksi COVID-19 yang persentasenya berkisar antara 8-17% kasus.

Infografik Krisis Covid-19 di Inggris

Infografik Krisis Covid-19 di Inggris. tirto.id/Quita

Karakter Penduduk dan Geografis Inggris

Di balik berbagai kritik terhadap kebijakan pemerintah untuk penanganan pandemi, tidak bisa dipungkiri bahwa situasi pandemi di Inggris Raya juga dipengaruhi oleh karakter masyarakat setempat dan geopolitik Inggris yang unik. Analisis terbaru oleh BBC menyinggung kondisi geografis, kepadatan populasi, jumlah lansia, dan tingginya angka obesitas di Inggris.

Inggris memang diuntungkan oleh posisi geografisnya: kepulauan yang dikelilingi perairan. Artinya, akses keluar-masuk Inggris cenderung lebih mudah dikontrol dibandingkan negara-negara yang wilayahnya berbatasan langsung satu sama lain. Namun, ia tidak bisa disamakan, misalnya, dengan negara-negara kepulauan lain di kawasan Asia-Pasifik seperti Selandia Baru, Australia, atau Taiwan yang relatif sukses mengontrol penyebaran pandemi di masing-masing wilayahnya.

Selama berabad-abad, Inggris, khususnya ibukota London, tumbuh menjadi pusat bisnis, keuangan, dan industri. Ia menjadi salah satu titik lokasi penghubung antarbangsa, terutama dengan kawasan Eropa. Terbukti bahwa jenis COVID-19 yang tersebar di Inggris awalnya dibawa masuk oleh transmisi virus asal Spanyol, Perancis dan Italia.

Setahun yang lalu, Komite Departemen Dalam Negeri mengerahkan penyelidikan terhadap tingginya kasus COVID-19 di Inggris. Mereka meminta pertanggungjawaban ilmiah pemerintah pusat soal alasan pencabutan aturan karantina bagi pendatang internasional (yang digantikan dengan pedoman isolasi bagi siapapun yang merasakan gejala sakit) pada pertengahan Maret. Sebagai respons, pemerintah menegaskan bahwa mereka sudah berpedoman dengan arahan dari badan penasihat ilmiah pemerintah (SAGE). Menurut riset mereka, ketika terjadi penularan yang tinggi pada lingkup domestik pada Maret, kasus infeksi yang diimpor dari luar negeri persentasenya jauh lebih rendah sehingga “tidak menimbulkan perbedaan signifikan terhadap penyebaran penyakit”. Di sisi lain, mereka beralasan bahwa gerbang negara tetap dibuka demi “menjaga koneksi internasional untuk bisnis, meletakkan dasar-dasar untuk pemulihan ekonomi, dan menyediakan lifeline (tali pertolongan) penting bagi mereka yang sangat perlu melakukan perjalanan”, merujuk pada mayoritas warga negara Inggris Raya dari luar negeri yang ingin pulang.

Pada waktu yang sama, Inggris Raya tergolong negara padat penduduk dengan koneksi antarkota yang kuat, sehingga sangat mungkin penularan virus berlangsung lebih cepat dan masif. Dilansir dari situs Statista, kepadatan populasi di sana mencapai 275/per km. Khusus di negara bagian England, bisa mencapai 432 orang/km. Dikutip dari laman resmi badan statistik nasional tahun 2020, kepadatan tinggi ditemukan di kota-kota di kawasan besar London (Borough London). Contohnya, Tower Hamlets dan Islington (masing-masing 16 ribu orang/km). Rasio di area tersebut sangatlah tinggi, apabila dibandingkan dengan kawasan dan negara mini seperti Hongkong atau Singapura yang kepadatan penduduknya berkisar 7-8 ribuan orang/km.

Kasus positif COVID-19 di Inggris Raya kebanyakan berasal dari mereka yang berdomisili di England. Sebagai contoh, pada 8 Januari silam, tercatat 61 ribu lebih kasus positif di sana, diikuti 2.400 kasus di Wales, 2.300 di Skotlandia dan 1.500 di Irlandia Utara.

Dampak COVID-19 juga berhubungan dengan demografi masyarakat Inggris Raya. Persentase lansia di sana nyaris seperlima dari total populasi. Pada 2019, sekitar 18,5% penduduk adalah lansia di atas 65 tahun. Dua dekade ke depan, rasionya diproyeksikan menjadi 1 dari 4 orang (nyaris 24% dari total populasi).

Selama ini, korban jiwa dari COVID-19 didominasi oleh lansia. Menurut Office for National Statistics, sampai 15 Januari kemarin, sekitar 75% dari 94.971 kematian terkait COVID-19 di England dan Wales, berasal dari kalangan lansia 75 tahun ke atas.

Selain itu, rakyat Inggris secara umum dinilai kurang fit sehingga berisiko terinfeksi COVID-19. Sebelum pandemi terjadi, Inggris sudah mencatat angka obesitas tinggi di masyarakatnya. Pada 2018, National Health Service mengungkapkan bahwa sedikitnya 63% orang dewasa di England mempunyai berat badan berlebih. Infeksi COVID-19 jauh lebih berisiko bagi orang yang obesitas. Alasannya, mereka punya peluang lebih tinggi untuk terkena penyakit lain, seperti masalah jantung, paru-paru, gula atau diabetes, yang bisa makin parah apabila pengidapnya terinfeksi COVID-19.

Studi yang dilakukan di area England sepanjang Maret-Mei 2020 menunjukkan bahwa diabetes tipe 1 dan 2 diasosiasikan dengan peningkatan signifikan kasus kematian terkait COVID-19 di rumah sakit, terbukti dari sepertiga kematian karena COVID-19 terjadi di kalangan yang mempunyai diabetes. Sampai Mei 2020, tercatat nyaris seperlima orang yang meninggal karena COVID-19 di rumah sakit negara bagian Skotlandia merupakan penderita diabetes.

Baca juga artikel terkait CORONA DI INGGRIS atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf