tirto.id - Peneliti fiskal Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy menilai melambatnya penerimaan negara dari pajak pertambahan nilai (PPN) belum tentu disebabkan karena restitusi.
Menurutnya, indikator konsumsi pada pertumbuhan ekonomi di kuartal 1 (Q1) lalu justru menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi dalam negeri dalam keadaan baik. Bahkan selaras dengan pertumbuhan PPn-nya.
“Kata pemerintah PPn turun karena restitusi. PPN kok minus padahal daya beli masih oke. Ini jadi misteri data penerimaan pajak PPn dalam negeri,” ucap Yusuf saat dihubungi reporter Tirto pada Jumat (18/5/2019).
Restitusi merupakan mekanisme pengembalian atas kelebihan nilai pajak yang dibayarkan masyarakat. Yusuf mengatakan pada tahun ini memang sudah ada aturan baru yang intinya mempermudah proses restitusi.
Misalnya semula proses pengembaliannya membutuhkan 1 tahun, kini menjadi 1 bulan. Lalu batas nominal yang restitusi yang diizinkan juga dinaikkan menjadi lebih dari Rp500 miliar.
“Mungkin karena ini, orang jadi ramai-ramai mengajukan restitusi,” ucap Yusuf.
Menurut Yusuf, hal ini perlu dipertanyakan. Sebab pada tahun 2017 lalu, meskipun daya beli masyarakat melemah pun, realisasi penerimaan PPn justru naik.
Menurutnya, pengaruh restitusi ini seharusnya tidak sebesar yang diklaim Kemenkeu. Meskipun demikian, di satu sisi ia memang membenarkan bilamana pertumbuhan PPn melambat maka penerimaan negara dengan sendirinya akan terpengaruh.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat mengaitkan melambatnya pertumbuhan penerimaan pajak dengan efek samping dari restitusi. Pada konferensi pers Kamis kemarin, ia mengatakan ada realisasi restitusi yang tumbuh 34 persen atau sebesar Rp62 triliun selama April 2019.
“Kami memberikan pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha yang punya reputasi yang baik akibatnya penerimaan PPN ada pertumbuhan yang negatif,’ ucap Sri Mulyani pada Kamis (17/5/2019) lalu seperti dikutip dalam Antara.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri