Menuju konten utama

Contoh Relativisme Budaya di Indonesia dalam Ilmu Antropologi

Contoh relativisme budaya di Indonesia bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut penjelasan lengkapnya dalam ilmu antropologi.

Contoh Relativisme Budaya di Indonesia dalam Ilmu Antropologi
Abdi Pura Mangkunegaran membawa pusaka mengikuti upacara Kirab Pusaka Satu Suro di Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, Selasa (18/7/2023). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/foc.

tirto.id - Contoh relativisme budaya di Indonesia bisa dilihat di kehidupan sehari-hari atau dalam kajian antropologi secara spesifik. Lantas, apa yang dimaksud dengan konsep relativisme budaya?

Relativisme adalah pendapat bahwa perbedaan manusia, norma, budaya, istiadat, etika, moral, dan agama bukanlah suatu hakikat mutlak, melainkan tergantung pada konteks sosialnya sendiri.

Kemunculan relativisme budaya disebabkan maraknya sikap etnosentrime, yakni sikap memandang budayanya lebih baik daripada budaya lain. Sikap ini berpotensi mendorong konflik sosial di masyarakat. Karenanya, relativisme budaya bisa menjadi salah satu cara untuk menghadapi sikap etnosentrisme.

Dalam buku What Is Anthropology (2004), Thomas Hylland Erikson menjelaskan, relativisme budaya merupakan suatu pandangan bahwa setiap masyarakat, nilai, kebudayaan kebiasaan, kepercayaan, dan aktivitas harus dipahami dari cara atau sudut pandang budaya itu sendiri.

James M Henslin, dalam Sosiologi dengan Pendekatan Membumi (2006), menyatakan bahwa relativisme dapat mengimbangi kecenderungan yang menggunakan kebudayaan sendiri sebagai standar untuk menilai kebudayaan lain.

Relativisme budaya bertujuan melihat dunia secara luas, dengan sudut pandang informan atau penduduk asli. Artinya, pihak yang melihat tidak langsung menghakimi atau menilai secara moral. Di sisi lain, relativisme budaya membantu prasangka peneliti serta mengembangkan sikap jujur dalam menggambarkan beragam budaya.

Contoh Relativisme Budaya di Indonesia

Contoh relativisme budaya di Indonesia bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, Indonesia memiliki keberagaman budaya dalam masyarakat.

Contoh relativisme budaya di Indonesia di antaranya adalah:

1. Simbol Tau-Tau Toraja

Suku Toraja memiliki upacara adat kematian yang dikenal dengan nama Aluk Rambu Solo. Dalam acara kematian ini, Suku Toraja memiliki simbol ritual yakni Tau-Tau, patung yang dipahat dari kayu sebagai personifikasi orang yang telah meninggal.

Suku-suku lain di Indonesia memiliki ritual upacara kematian berbeda: ada yang sekadar dikubur, ada yang memperingati dengan cara syukuran, dan lain sebagainya. Namun, dengan konsep relativisme budaya, bukan berarti ada satu budaya yang benar dan yang lainnya salah.

2. Kebiasaan serdawa

Di Indonesia, beserdawa setelah makan di depan orang merupakan tindakan yang dianggap kurang sopan. Namun, negara lain, misalnya, di Korea Selatan, melakukan serdawa setelah makan adalah sesuatu yang lazim, kendati di hadapan orang banyak.

3. Ritual Suku Maya Kuno

Salah satu ritual Suku Maya Kuno adalah melukai diri sendiri. Dalam Journal of Anthropological Archaeology, James Stemp dari Keene State College di New Hampshire, AS, menjelaskan terkait hal ini. Bahwa, orang-orang Suku Maya melukai diri sendiri, dalam bentuk apapun, untuk menenangkan para dewa dan meminta bantuan.

Di sejumlah daerah lain, melukai diri sendiri dianggap tidak lazim. Melukai diri sendiri juga bisa menjadi tanda masalah psikologis. Namun, dalam konsep relativisme, kedua hal tersebut tidak dapat disamakan.

4. Ritual Sedekah Bumi

Di beberapa wilayah Jawa, melakukan sedekah bumi merupakan tradisi yang dilakukan setiap kali pasca-panen. Bagi beberapa orang di daerah lain, sedekah bumi mungkin dianggap hal yang tidak baik, misalnya, muspra. Namun, dalam konsep relativisme budaya, kedua hal tersebut tidak dapat disamakan lantaran memiliki alasan masing-masing.

5. Tradisi Larung Sesaji

Di beberapa wilayah selatan di Indonesia, terkhusus daerah pantai, masyarakat memiliki tradisi Larung Sesaji. Tradisi ini dilakukan dengan cara memberikan persembahan berupa makanan atau yang lainnya, kemudian dialirkan ke laut. Itu adalah bentuk rasa syukur masyarakat setempat kepada tuhan atau dewa.

Bagi beberapa daerah lain, tradisi Larung Sesaji mungkin dianggap sesat atau merusak lingkungan. Kendati demikian, kedua pandangan tersebut tidak dapat disamakan karena memiliki perbedaan budaya.

Baca juga artikel terkait ANTROPOLOGI atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fadli Nasrudin