tirto.id - April 1995
Scott Norton duduk di kamar hotelnya malam itu dengan tegang. Jantungnya berdegup luar biasa kencang. Peluh menetes deras di pelipisnya. Dia bersyukur masih bisa hidup.
Hanya beberapa menit yang lalu Norton duduk di kursi interogasi. Di ruangan yang sempit dan pengap itu dia dimaki-maki oleh sekawanan pria bersenjata. Tubuh Norton memang besar dan kekar, tapi di hadapan gerombolan pria bersenjata, sulit baginya untuk tidak memikirkan kemungkinan terburuk.
Norton sebetulnya sudah amat hati-hati. Akan tetapi, begitulah hidup. Sewaspada apa pun kita mengontrol hal-hal di sekitar, selalu saja ada sesuatu yang tak bisa kita kendalikan. Untuk Norton, sesuatu yang tak bisa dia kendalikan itu adalah amarah istrinya, Tammy.
Norton sudah berpamitan. Dia sudah memberi tahu istrinya ke mana dia akan pergi selama beberapa hari. Namun, Tammy menolak percaya. Sudah beberapa hari ini dia kesulitan menghubungi Norton. Dia pun menuduh Norton macam-macam, mulai dari berpesta dengan kawan-kawannya sampai main perempuan.
Mendengar tuduhan tak berdasar itu, Norton yang sebelumnya juga sudah dicekam ketakutan pun meledak. Lewat sambungan telepon, dia membentak istrinya, "Kau tidak tahu betapa menyedihkannya tempatku berada sekarang!"
Dan seketika, sambungan telepon itu putus. Norton pun semakin kesal. "Sialan, dia malah menutup telepon," pikir Norton.
Namun, yang sebenarnya terjadi bukan begitu. Tak lama kemudian Norton menemukan jawaban lewat cara yang sama sekali tidak menyenangkan. Pintu kamarnya digedor dan, ketika dibuka, Norton mendapati sejumlah pria bersenjata tengah berdiri di sana. Norton dicokok, lalu digelandang ke sebuah ruang bawah tanah untuk diinterogasi.
"Kau tidak boleh bicara hal buruk tentang Korea Utara," kata seorang agen rahasia.
Norton pun bertanya, "Kau menyadap teleponku?"
"Tidak. Kami tidak menyadap teleponmu."
"Dengar, kawan. Aku tadi cuma sedang bertengkar dengan istriku."
"Di negara ini kami tidak pernah bertengkar dengan istri kami."
Norton tambah kebingungan, juga ketakutan. Dia benar-benar berpikir ajalnya sudah dekat. Sampai akhirnya, dia mendengar langkah kaki menuruni tangga, masuk ke ruang bawah tanah itu. Seorang pria yang terlihat penting berbicara dengan kawanan yang mencokok Norton dari kamarnya tadi.
Mereka bicara selama beberapa menit lalu pria yang terlihat penting tadi pergi. Setelah itu, salah satu pria yang mencokok Norton berkata, "Cukup. Tidak boleh lagi ada kata-kata buruk tentang Korea Utara."
Dan Norton pun dilepaskan. Dia dibawa kembali ke kamarnya.
Maret 1994
Antonio Inoki berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya dengan tatapan nanar. Karier politiknya tengah terancam. Koneksinya dengan dunia bawah tanah terekspos oleh media dan dia butuh sesuatu untuk memulihkan nama baiknya.
Inoki terjun ke dunia politik pada 1989 lewat partai yang didirikannya sendiri, Supōtsu Heiwa Tō atau Partai Olahraga dan Perdamaian. Bagi Inoki, dunia politik bukan tempat asing karena ayahnya, Sajiro, ketika masih hidup dulu juga merupakan seorang politisi. Sajiro, yang meninggal dunia ketika Inoki baru berusia lima tahun, adalah seorang senator di Dewan Penasihat Jepang. Pada 1989, Inoki resmi mengikuti jejak ayahnya.
Meski sudah menjadi politisi, Inoki tak pernah betul-betul meninggalkan dunia yang telah membesarkan namanya: gulat profesional. Dia masih menjalankan promosi gulat New Japan Pro-Wrestling (NJPW) yang didirikannya pada 1972. Dia juga masih sesekali naik ke atas ring untuk bergulat.
Di dunia politik, Inoki pun menggunakan citra sebagai sosok tangguh, persis dengan persona yang biasa ditampilkannya di atas ring gulat. Pada 1990, misalnya, dia mengajukan diri jadi negosiator dalam upaya pembebasan ratusan serdadu Jepang yang ditawan di Irak pasca-Perang Teluk. Inoki tahu bahwa pemimpin Irak, Saddam Hussein, adalah penggemar gulat profesional dan dia memanfaatkan itu dengan baik. Upaya Inoki itu berhasil dan dia pulang ke Jepang sebagai pahlawan.
Akan tetapi, pada 1994, rahasia Inoki (dan juga rahasia gulat profesional di Jepang) terbongkar.
Publik menemukan koneksi kuat antara Inoki dan organisasi kriminal yakuza. Keterlibatan yakuza di gulat profesional memang sangat kuat. Bahkan, pegulat sepopuler Chris Jericho saja pernah dibuat ketakutan oleh yakuza usai memecahkan pot tanaman ketika sedang beraksi di Jepang.
Inoki sendiri dituduh menerima banyak keuntungan finansial dari yakuza. Dia juga dituduh bisa menjalankan NJPW dan terpilih sebagai senator, karena yakuza. Tuduhan-tuduhan ini tidak bisa dijawab oleh Inoki. Oleh karena itu, dia butuh sesuatu yang spektakuler untuk mengereknya keluar dari pasir hisap tersebut. Dia butuh sesuatu yang akan dikenang publik dalam jangka waktu lama.
Setelah beberapa lama, terpikirlah ide tersebut. Inoki sadar bahwa dia tidak perlu menjadi orang lain untuk kembali populer. Dia hanya cukup menjadi dirinya sendiri, seorang pegulat tangguh yang dicintai rakyat Jepang. Namun, untuk menampilkan semua itu, dia membutuhkan panggung yang luar biasa besar.
Inoki lalu menelepon koleganya di Amerika Serikat. Namanya Eric Bischoff dan waktu itu dia sedang memimpin promosi gulat terbesar kedua Negeri Paman Sam, World Championship Wrestling (WCW).
Inoki memilih WCW sebagai mitra karena dua alasan. Pertama, pada 1992, NJPW dan WCW sudah pernah berkolaborasi untuk menggelar event Super Warrior yang kini dikenal dengan nama Wrestle Kingdom. Acara tahunan yang digelar pada 4 Januari saban tahun ini merupakan ajang setara WrestleMania milik World Wrestling Entertainment (WWE). Kedua, karena seperti halnya Inoki, WCW juga butuh sesuatu yang spektakuler. Bedanya, WCW membutuhkan itu untuk jadi promosi gulat nomor satu di Amerika.
Bischoff menyambut usulan Inoki itu dengan tangan terbuka. WCW punya hubungan baik dengan NJPW dan sudah saatnya promosi yang dibekingi mogul media Ted Turner itu jadi yang nomor satu. Bischoff pun langsung membayangkan main event dari gelaran tersebut: Hulk Hogan vs Antonio Inoki.
Yang kini jadi permasalahan adalah di mana gelaran akbar itu bakal dilangsungkan. Inoki punya ide gila untuk menggelar acara di Korea Utara. Akan tetapi, apa mungkin? Apakah Korea Utara bakal mengizinkan orang-orang dari Jepang dan Amerika Serikat, dua negara yang paling mereka benci, masuk ke wilayah mereka?
Jika Korea Utara masih berada di bawah pimpinan Kim Il-sung, jawabannya sudah jelas tidak akan mungkin. Namun, pada 8 Juli 1994, Kim Il-sung mangkat. Korea Utara kini berada di bawah kendali sang putra, Kim Jong-il. Rupanya, sama halnya dengan Inoki dan Bischoff, Kim Jong-il juga punya kepentingan. Dia ingin membuat sebuah terobosan di masa awal kepemimpinannya.
Dengan bantuan koneksi diplomatiknya, Inoki menghubungi Kim Jong-il. Dia menceritakan rencananya sampai detail terkecil. Inoki bermaksud untuk membungkus acara gulat profesional di Korea Utara itu dengan kemasan acara perdamaian seperti yang dia lakukan di Irak. Kebetulan, dia berasal dari partai yang memiliki "ideologi" mengolahragakan masyarakat demi terciptanya perdamaian.
Kim Jong-il, secara mengejutkan, tak butuh waktu lama untuk menyetujui usulan Inoki. Setelah konfirmasi didapatkan dari pihak Pyongyang, Inoki dan Bischoff pun langsung bergerak untuk mempersiapkan acara.
***
April 1995
Semua sudah dipersiapkan. Inoki sudah menunjuk pegulat mana saja yang akan dibawanya ke Korea Utara, begitu pula dengan Bischoff. Sayangnya, pegulat yang paling ingin dibawa Bischoff ke Korea Utara, Hulk Hogan, menolak tawaran tersebut. Sebagai gantinya, Bischoff membawa sosok yang pamornya cuma sedikit di bawah Hogan. Dia adalah "The Nature Boy" Ric Flair.
Tidak ada penerbangan langsung dari Amerika Serikat ke Korea Utara sehingga rombongan WCW harus transit terlebih dahulu di Nagoya, sebuah kota pesisir di Jepang bagian tengah. Dari sana, mereka diangkut menggunakan pesawat militer milik Korea Utara ke Pyongyang. Sebelum itu, pemerintah Jepang sudah menjalin kerja sama dengan pemerintah Korea Utara untuk menyukseskan hajatan akbar milik Kim Jong-il ini.
Dalam lawatan ke Korea Utara itu, Inoki membawa Yuji Nagata, Tokimitsu Ishizawa, Akira Hokuto, Bull Nakano, Manami Toyota, Mariko Yoshida, Hiroshi Hase, Hiro Saito, Masahiro Chono, El Samurai, Tadao Yosuda, Shinjiro Otani, Kensuke Sasaki, Masa Saito, Shinya Hashimoto, Akira Nogami, Takayuki Iizuka, Black Cat dan Scott Norton.
Sementara itu, selain Flair, pegulat-pegulat yang dibawa Bischoff ke Korea Utara adalah 2 Cold Scorpio, Chris Benoit, Hawk Warrior, serta Scott dan Rick Steiner. Memang, kontingen WCW jauh lebih kecil ketimbang kontingen NJPW waktu itu. Namun, dalam kontingen WCW, terdapat satu nama yang pamornya sudah menembus batas dan zaman: Muhammad Ali.
Ini bukan keterlibatan pertama Ali dengan Inoki. Pada 1976, bertempat di Nippon Budokan, Tokyo, dua petarung dari dua disiplin berbeda itu bentrok di atas ring dalam kontes yang disebut-sebut sebagai pertarungan bela diri campuran pertama. Pertarungan itu sendiri berakhir imbang meski Ali harus mendapatkan cedera parah di bagian kaki.
Kali ini, Ali dan Inoki kembali bertemu dalam situasi yang berbeda. Ali tidak akan ikut naik ke atas ring. Dia dibawa untuk menjadi duta perdamaian. Atau, lebih tepatnya, Ali dibawa sebagai jaminan. Korea Utara tidak akan berani berbuat apa-apa jika ada figur sepopuler Ali dalam rombongan WCW yang mewakili Amerika.
Belum juga sampai ke Pyongyang, para pegulat WCW sudah mendapatkan perlakukan khas Korea Utara. Di dalam pesawat, mereka diperingatkan bahwa pesawat sudah dipasangi alat penyadap sehingga, apabila mereka berbuat atau berkata macam-macam, pihak Korea Utara akan tahu.
Sesampainya di Pyongyang, perlakuan khas Korea Utara itu semakin menjadi. Paspor para pegulat itu disita dan setiap anggota rombongan mesti didampingi seorang agen rahasia, atau lebih tepatnya dibuntuti oleh seorang agen rahasia.
(Bersambung ke bagian 2).
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Nuran Wibisono