tirto.id - Pada awal Oktober lalu, Gallup merilis hasil survei terkait pandangan masyarakat internasional terhadap Pilpres AS. Hasil survei pada 45 negara menemukan hampir 75 persen masyarakat dunia menghendaki Hillary Clinton yang menjadi presiden. Mayoritas masyarakat dari 44 negara mendukung Hillary. Hanya satu negara menghendaki Donald Trump. Mudah ditebak jawabannya: Rusia.
"Saya mencintai Trump."
"Saya akan memilih Donald Trump."
"Saya mendukung Donald Trump."
"Dalam perspektif masyarakat Rusia, saya akan memilih Trump karena jelas ini berarti hubungan yang lebih baik antara Amerika dan Rusia."
"Jika Trump jadi presiden semuanya akan jadi lebih baik karena dia pengusaha dan paham bahwa butuh hubungan yang baik dengan Rusia,"
"Jika Clinton yang terpilih itu akan merusak hubungan kami dengan Amerika, karena Clinton membenci Putin dengan sangat"
"Clinton adalah pilihan terburuk bagi Rusia. Dia akan menentang semua kebijakan Rusia,"
Jawaban-jawaban di atas adalah reaksi sebagian masyarakat Rusia di Kota Moskow saat ditanyai CNN terkait Pilpres di Amerika Serikat. Di Rusia, tampaknya semua orang begitu mencintai Donald Trump, berharap sangat si rambut pirang akan menjadi orang nomer satu di AS.
Di Rusia hanya 10 persen yang memberi suara bagi Hillary, paling kecil dibandingkan 44 negara lainnya. Sedangkan suara bagi Trump mencapai 33 persen. 57 persen sisanya memilih tidak tahu alias bungkam.
Dukungan kepada Trump dan Kebencian pada Hillary juga tergambar dari sikap-sikap media Rusia dalam Pilpres AS.
"Trump akan fokus pada memerangi ISIS, dan mengubah rezim AS,” tegas majalah terbesar di Rusia, LifeNews. "Kebijakan yang dilakukan rival Trump, Hillary Clinton, adalah bencana,” tulis Lifenews dalam paragraf lainnya.
“Ideologi Trump adalah penolakan terhadap globalisasi yang merusak beberapa tahun terakhir dan mendukung isolasionisme Amerika agar jadi lebih sehat,” ucap presenter Mikhail Leontyev dalam acara berita Odnako .
“Trump akan membela kepentingan AS tapi juga mempertahankan hubungan baik dengan kita - dan akan ada negosiasi. Mungkin sulit, tapi mungkin,“ tulis Mikhail Delyagin dalam kolomnya di Komsomolskaya Pravda, tabloid pro-pemerintah.
“Hillary Clinton di kursi presiden adalah kegilaan, bahaya mematikan bagi semua umat manusia dan bisa mengancam keberadaan peradaban kita."
Max Boot, seorang politisi Republikan tulen dalam kolomnya di Los Angeles Times mengakui Trump telah mencari dan menerima dana dari investor Rusia untuk kepentingan bisnisnya, terutama setelah sebagian besar bank Amerika menghentikan pinjaman kepadanya. Max pun mengungkap bahwa secara de facto manajer kampanye Trump, Paul Manafort, adalah konsultan Viktor Yanukovich, Presiden Ukraina yang didukung Rusia lalu digulingkan pada 2014. Kata Max, Manafort juga telah melakukan kesepakatan bisnis bernilai jutaan dolar dengan oligarki Rusia.
The New York Times kemudian mengungkapkan bahwa Manafort memang menerima $12,7 juta dari dari Yanukovych. Meskipun dibantah, Manafort akhirnya mengundurkan diri dari tim kampanye Trump pada Agustus lalu.
Trump memang dikelilingi orang-orang yang dekat dengan Kremlin. Penasihat Kebijakan luar negeri Trump, Carter Page, adalah pendiri Global Energy Capital, yang punya pengalaman bertahun-tahun investasi di sektor energi di Rusia. Page punya hubungan erat dengan Gazprom, perusahaan gas alam terbesar dari Rusia.
Dikabarkan Page saat ini sedang diselidiki FBI karena diduga bertemu Igor Sechin dan Sergei Ivanov, kepala Staf Putin pada Juli lalu. Kala itu diketahui Page memang berada di Moskow untuk sebuah acara. Dalam acara itu dia memang dikecam karena memuji kebijakan luar negeri Rusia dan China yang katanya dibangun di atas "non-interferensi", "toleransi", dan "penghormatan" -- berbeda jauh dengan kebijakan luar negeri AS yang dinilainya terlalu senang mengintervensi negara-negara lain.
Selain Page, ada juga pensiunan Angkatan Darat, Letjen Michael Flynn. Dia sering terlihat pergi ke Moskow lantaran Flynn adalah tamu reguler di saluran televisi Rusia Today – saluran propaganda Kremlin. Selain Page, Flyyn dan Manafort, ada juga Michael Caputo dan Richard Burt. Intelijen Barat juga mendapat laporan bahwa rekan Trump baru-baru ini bertemu dengan anggota parlemen Rusia yang pro Putin pada sebuah bangunan di Eropa Timur yang dikelola Rossotrudnichestvo, sebuah badan di bawah Departemen Luar Negeri Rusia.
Jadi memang sudah diketahui banyak orang kalau penasihat dan orang terdekat Trump condong ke Rusia. Kondisi ini membikin kampanye kaum republikan yang dengan gigih mempersenjatai Ukraina demi melawan agresi Rusia menjadi kurang legitimate. Bagi Rusia, naiknya Trump menjadi presiden tentu anugerah. Banyak hal yang menjadi kepentingan Rusia diduga akan dipraktikkan dengan lebih mulus.
Nikolai Petrov, seorang analis politik di European Council on Foreign Relations kepada The Globe and Mail menuturkan Kremlin tidak berharap banyak Trump mengajak negara-negara Barat mencabut sanksi ekonomi bagi Rusia. Tapi kemenangan Trump diharapkan bisa menghancurkan persatuan di dunia Barat dan memaksa pemerintah Eropa mencari induk kepemimpinan baru selain Amerika.
"Mereka suka berpikir bahwa jika Trump menang, maka tidak ada harapan bagi persatuan di Barat, dan jika ada sesuatu yang buruk bagi Barat, maka itu adalah baik untuk Rusia," kata Nikolai.
Trump memang sering sekali mengkritik NATO yang menjadi hambatan terbesar Rusia di Eropa. Trump menyebut ide itu usang. Dia mengatakan jika jadi presiden dirinya tidak akan mengirim bantuan jika ada anggota NATO yang diserang Rusia. Trump juga bersorak saat Inggris keluar dari Uni Eropa. Sikap semacam itu, jika benar-benar direalisasikan, niscaya menjadi jalan mulus Kremlin agar berjaya di Benua Biru.
Nikolai menyebut orientasi kebijakan luar negeri Amerika ala Trump yang mendukung Rusia akan memberi peluang bagus bagi Putin untuk mencapai impiannya mempersatukan kembali negara-negara bekas Uni Soviet, seperti Estonia, Gergia, Lithuania, Latbia, Armenia, Belarus, Ukraina dll.
Saat menulis keterikatan Rusia dan Trump, redaksi majalah Newsweek bahkan menulis kalimat yang cukup mengerikan. “Dan, mungkin untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II, negara-negara di Eropa Barat akan merasa khawatir bahwa jika pada pemilu Amerika Trump menang, ini bisa memicu peristiwa yang membahayakan keamanan nasional dan berpotensi merusak aliansi yang telah menjaga keamanan Eropa dalam beberapa dekade.”
Keterlibatan Rusia di Pilpres AS memang tidak hanya soal urusan mendukung Trump semata, namun juga direalisasikan lewat aksi menjatuhkan pamor Hillary. Kasus peretasan email Komite Nasional Demokrat (DNC) yang mengungkapkan konsipirasi menyingkirkan Bernie Sanders dan memuluskan langkah Hillary membuat geger Amerika.
Dokumen email DNC itu dibocorkan di situs anti-kerahasiaan WikiLeaks. Bocoran dokumen ketua DNC mundur dan menyebabkan perpecahan di tubuh Partai Demokrat. Badan intelijen AS menduga peretas berasal dari Rusia. Hal ini diamini Andrei Soldatov, wartawan Rusia yang dianggap sebagai ahli cyberwarfare, kepada The Globe and Mail. Namun tentu saja Kremlin menyangkal keterlibatan ini.
“Bagaimana tuduhan ini bisa dicerna? Pertama, mereka memusuhi kami, dan kemudian mereka mengatakan bahwa Trump adalah kandidat pilihan kami. Ini adalah omong kosong dan benar-benar tidak masuk akal, “ kata Putin akhir Oktober.
Keterlibatan Kremlin dalam Pilpres AS membuat dunia menjadi terbalik. Mirip seperti apa yang dikatakan Anissa Naouai, pembawa acara Rusia Today, saluran berita yang dikontrol Kremlin.
Kata Anissa: "Ini adalah tahun di mana hal-hal ironis beralih. Ketika Rusia dituduh ikut campur tangan dalam pemilihan negara lain. Padahal biasanya, Rusia-lah yang menuduh Barat ikut campur dalam pemilihan mereka.“
Ucapan Anissa ini merujuk pada kecaman Hillary saat menjabat sebagai Menteri Luar Negeri 2011 silam. Kala itu Hillary secara terang-terangan menyebut Pilpres Rusia yang memenangkan Putin amatlah tidak adil dan tidak jujur. Ucapan Hillary ini membikin Putin geram dan memintanya tidak ikut campur urusan dalam negeri Moskow.
Sebagai dua rival abadi, tentu AS senang jika rivalnya itu hancur dari dalam. Begitupun Rusia saat ini dalam menyikapi Pilpres AS.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Maulida Sri Handayani