tirto.id - Nyaris semua hal dalam Child’s Play mudah ditebak, meski sutradara Lars Klevberg sebetulnya merombak banyak hal dari sang boneka pembunuh legendaris: Chucky.
Yang paling kentara adalah desain muka Chucky yang dibikin lebih seram. Sebagian fitur dipertahankan: rambut merah, hidung kecil, dan mata biru-bulat, tapi bentuk mukanya lebih persegi—yang bikin tampang Chucky-baru kelihatan kelelahan. Pipinya lebih terlihat seperti tulang pipi yang tinggi, ketimbang gumpalan pipi-gemuk-ala-bayi seperti desain lamanya.
Melihatnya saja, mungkin sudah mengundang mimpi buruk bagi mereka yang punya pediophobia atau automatonophobia.
Chucky juga bukan lagi boneka yang kerasukan arwah pembunuh berantai, yang kabur dari kejaran polisi. Dalam film remake ini, Klevberg mengadopsi teror teknologi kecerdasan buatan a la Black Mirror dengan menjadikan Chucky robot serbaguna macam Alexa atau Siri. Walhasil, sejak awal film kita tahu pada satu titik kecerdasan buatan itu akan berubah jadi monster dan memanfaatkan ketergantungan manusia di sekitarnya pada teknologi sebagai senjata pembunuh.
Tapi, ada yang menyegarkan dari Child’s Play rombakan Klevberg ini.
Ini jenis film yang ditonton tanpa perlu berpikir sama sekali. Teror Chucky memang dipicu konflik serupa seperti kebanyakan episode-episode Black Mirror, tapi jangan harap ketegangan yang dihasilkan sama. Yang dijual Klevberg adalah unsur nostalgia: kebodohan-kebodohan ala horror-thriller-slasher khas tahun '80-an akhir dan '90-an awal.
Misalnya adegan Shane (David Lewis) yang tulang kakinya patah dan merobek otot betisnya karena jatuh dari tangga. Seharusnya potongan adegan itu bikin bergidik, tapi kekonyolan visualnya bisa jadi malah bikin penonton tertawa.
Memang akan ada banyak muncratan darah, otak yang terburai, dan tikaman pisau dari Chucky. Adegan-adegan yang sebetulnya berpotensi bikin bergidik, tapi dikemas Klevberg dengan tidak terlalu serius dan misterius. Akibatnya, efek teror tak akan terlalu besar. Ini bukan jenis horor yang bikin ngilu bahkan setelah berjam-jam selesai menonton, misalnya, adegan kepala terbentur tiang listrik di Hereditary (2018).
Yang bikin Child’s Play jadi tontonan segar adalah fakta bahwa film ini memang sekonyol dan seringan gagasan tentang boneka kerdil yang membunuh orang di sana-sini.
Referensi-Referensi Klise
Meski membuat filmnya ringan ditonton, konyol, dan penuh dengan karakter-karakter datar, Klevberg tak lupa menyisipkan banyak sekali referensi-referensi budaya populer ke dalam Child’s Play versinya. Menjadikan film ini lebih… klise—nyaris tak ada makna.
Misalnya sebaris kalimat yang dikutip dari film Robocop (1987), dipakai saat Chucky membunuh salah satu mangsanya dalam sebuah mobil pintar. Ia juga sengaja membuat jari telunjuk Chucky bersinar saat mengontrol peralatan elektronik yang tersambung dengan cloud-nya, karena terinspirasi dari E.T. (1982).
Satu-satunya pesan sosial yang kencang digambarkan sejak awal oleh Klevberg adalah kesenjangan kelas. Chucky versinya diciptakan oleh seorang buruh upah minim di Vietnam yang sakit hati karena dipecat bosnya yang kasar dan suka main tangan. Pabrik Chucky yang dikisahkan terletak di negara Dunia Ketiga juga jadi simbol kesenjangan sosial yang sengaja dimasukan Klevberg di awal film.
Ia juga mendesain Karen Barclay (Aubrey Plaza) dan Andy Barclay (Gabriel Bateman) sebagai kelas menengah yang sebetulnya tak mampu membeli robot AI (Artificial Inteligence) macam Chucky sebagai tokoh utama. Fungsinya, untuk memotret kesenjangan kelas yang diciptakan kapitalisme.
Keluarga Barclay dan lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka jadi contoh korban elite macam Henry Kaslan (Tim Matheson)—pemilik Kaslan, perusahaan yang memproduksi robot dan perabot AI. Chucky sendiri bisa diartikan sebagai metafora teror yang diciptakan orang-orang kaya buat orang-orang kecil macam keluarga Barclay.
Di ujung film bahkan Klevberg menyelipkan satu adegan Andy dan kawan-kawannya memukuli boneka Chucky menggunakan palu raksasa secara bergantian—mirip buruh pematri besi yang sedang bekerja.
Chucky dengan kecerdasan buatan memang jadi simbol teror yang tepat untuk kritik kesenjangan kelas. Tapi, buat reputasi Chucky sendiri—yang sudah berumur lebih 30 tahun—bisa jadi ide mengganti roh Charles Lee Roy yang misterius dan sadis menjadi kecerdasan artifisial adalah keputusan salah.
Sebab, Chucky yang baru kehilangan jiwanya. Ia memang sadis, bengis, dan brutal, tapi kita akan sulit melihatnya sebagai pribadi yang berdosa dan mengerikan seperti Charles Lee Roy. Dalam Child’s Play versi Klevberg, Chucky adalah korban dari manusia-manusia di sekitarnya.
Editor: Windu Jusuf