Menuju konten utama

Film Hereditary: Horor Mencekam Tanpa Penampakan Hantu Seram

Alih-alih mengikuti jurus lawas menebar ranjau jumpscare, Hereditary justru menggali horor sebenarnya dalam alam pikir manusia, tempat tergelap seseorang bisa tenggelam ketakutan.

Film Hereditary: Horor Mencekam Tanpa Penampakan Hantu Seram
Toni Collette dalam Hereditary. FOTO/A24

tirto.id - Kenangan paling lengket di kepala saya tentang masa kecil adalah: dongeng dan Ibu. Ia punya caranya sendiri dalam bercerita, tak begitu ekspresif, tetapi pintar memainkan suaranya, dan terampil dalam bermajas. Kosakatanya juga banyak dan unik. Membikin dongeng-dongengnya selalu menarik.

Hereditary, film panjang pertama sutradara Ari Aster mengingatkan saya dengan dongeng-dongengnya. Aster, lewat film ini, membuktikan bahwa Ari Aster juga punya caranya sendiri dalam membuat film horor.

Ada banyak elemen tak lazim yang Aster sajikan dalam film ini. Salah satunya adalah jebakan jumpscare yang sangat minim. Jumpscare adalah teknik paling sering kita jumpai dalam film-film horor dewasa ini. Biasanya dirakit dari gambar-gambar mengerikan dan suara latar musik keras yang muncul tiba-tiba. Fungsinya, tak cuma bikin takut, tapi juga memelihara tingkat stres.

Rumusnya: ketidaktahuan membawa rasa takut, lalu gambar seram berfungsi sebagai gong yang bikin kaget. Pasca-adegan jumpscare, penonton biasanya akan merasa lega karena sudah tahu wujud pemicu ketakutannya. Sehingga sutradara bisa merakit jumpscare lainnya, beberapa menit kemudian.

Belakangan karena terlalu sering dipakai, kedatangan sebuah adegan jumpscare akan sangat mudah dikenali. Ia selalu muncul setelah latar musik sunyi, dan gestur aktor yang celingak-celinguk, seolah-olah akan melihat sesuatu. Namun, horor Film Hereditary tak pakai rumus itu.

Dalam Hereditary nyaris tak ada gambar-gambar brutal dan sadis. Namun, Aster mampu menciptakan situasi mencekam sepanjang waktu. Ia cuma bermain dengan musik latar dan kedalaman naskah. Lewat scoring gubahan pemain saksofon Colin Stetson, Aster memelihara suasana seram dan menegangkan itu.

Latar musiknya disetel rapi. Kadang bising sekali, kadang justru senyap belaka. Tak ada dar-dor-der dadakan, yang dihidangkan bersamaan dengan gambar seram. Aster sama sekali tak menjahit jumpscare di ujung-ujung latar musik tersebut. Itu bukan caranya menakut-nakuti.

Ia justru terlihat lebih senang meneror penonton lewat pikiran mereka sendiri. Caranya? Pertama, Aster bermain-main dengan cahaya. Sebagian besar setting Hereditary memang gelap sekali—memang bukan hal baru dalam film horor arus utama. Hanya saja, dalam banyak sekali adegan, layar benar-benar gelap. Kadang terlalu gelap, sampai kita pikir kita cuma melihat satu orang aktor di sana. Saat mata mulai terbiasa, kita mulai menyadari ada sesuatu di sudut layar. Sayangnya, layar terlalu gelap untuk bikin yakin memang ada sesuatu. Sampai… shit, ternyata memang ada sesuatu!

Ada banyak sekali adegan begitu. Sampai-sampai penonton akan berharap Aster benar-benar menyiapkan setidaknya satu-dua jumpscare, yang bisa membebaskan kita dari kegelisahan dan stres yang sedang dibangun adegan itu. Sayangnya, tidak. Kamera cuma akan bertransisi ke adegan yang lebih… depresif.

Infografik Misbar HEREDITARY

Semua adegan mencekam itu disusun oleh naskah yang rapi dan unik. Dan nyaris tak tertebak ujungnya.

Hereditary memang bercerita tentang kerasukan, pemujaan setan, dan kekuatan supranatural yang sering hadir sebagai pokok film horor pada umumnya. Namun, alih-alih menggunakan aspek-aspek itu sebagai inti cerita, Aster justru menjadikannya sisipan pelengkap film belaka. Ia lebih fokus menonjolkan masalah keluarga Graham (tokoh utama naskah ini) sebagai sebuah keluarga, sekaligus sebagai individu masing-masing.

Tentu hal ini bukan keputusan asal-asalan: misinya tetap sama, masih ingin menakuti penonton lewat pikiran mereka sendiri. Maka, Aster menciptakan karakter-karakter dengan latar belakang masalah kejiwaan yang kental.

Alur maju, Hereditary bercerita tentang keluarga Annie Graham (Toni Collete), seorang seniman miniatur, istri, dan ibu dari dua anak. Ia baru ditinggal mati ibunya, Ellen, yang digambarkan Annie sebagai sosok tertutup, keras kepala, dan punya ritual-ritual pribadi yang bikin dahi mengernyit. Dalam pidato singkat Annie di pemakaman ibunya, kita akan tahu kalau hubungan mereka tak begitu harmonis.

Sepulang dari pemakaman saja, Annie bertanya pada suaminya, Steve (Gabriel Byrne): “Apa aku harusnya kelihatan lebih sedih, ya?” sebab ia tak yakin harus merasakan apa atas kepergian Ellen.

Masalah Annie-Ellen cuma konflik pembuka. Sepanjang film diputar, masalah lain yang mencekik keluarga itu satu per satu menganga. Annie ternyata tak akur dengan Peter (Alex Wolff), putra sulungnya. Mereka berdua punya dialog kaku yang cukup intens tentang hal sepele.

Sementara Charlie (Milly Shapiro), putri bontot keluarga Graham lebih sayang dan menurut pada mendiang neneknya, ketimbang pada Annie. Tak heran, sebab kata Annie, Charlie selalu jadi cucu kesayangan Ellen, yang bahkan pernah jadi ibu susunya.

Sepanjang film, penonton tak akan disuguhkan satu pun adegan Ellen saat masih bernapas dan bergerak. Ia cuma hadir sesaat sebagai sebujur bangkai kaku dalam peti mati, dan beberapa potong dialog serta foto yang dipegang karakter lain. Namun, eksistensi Ellen justru terasa kental sepanjang film diputar, membuat suasana mencekam di rumah keluarga Graham makin anyir.

Sampai nyaris ujung babak pertama ini, konflik utama Hereditary masih belum diketahui, selain konflik batin Annie. Penonton bisa jadi mulai berpikir kalau Ellen-lah setan utama yang disiapkan Aster. Sebab Annie sempat merasa melihat sosok ibunya di salah satu sudut ruangan gelap, meski sebenarnya tak ada apa-apa ketika lampu ia nyalakan.

Sekuens ini terasa lambat. Dan ini bukan hal biasa bila dibanding film horor umumnya. Lebih dari 20 menit pertama, masih tak ada setan yang muncul, kecuali penampakan Ellen yang juga dirakit seperti halusinasi belaka. Kita seolah-olah cuma dibawa berputar-putar oleh Aster untuk mengenal karakter-karakter dalam filmnya.

Annie, di titik itu terasa seperti karakter utama, karena ia adalah tokoh yang paling sering diikuti kamera. Karakter lain yang juga diberikan porsi lebih dalam babak pertama adalah Charlie, yang kikuk, dan aneh. Ia cenderung pendiam, keras kepala, dan misterius. Charlie juga sempat mengikuti jejak kaki entah-siapa ke arah hutan di samping rumahnya, dan melihat penampakan sang nenek.

Melihat poster dan trailernya, Annie dan Charlie mungkin memang karakter utama yang disiapkan Aster. Namun, penutup babak pertama Hereditary justru berkata lain: Kamera perlahan-lahan mulai beralih fokus pada Alex, dan Aster justru membunuh salah satu karakter yang semula kita pikir adalah karakter utama.

Ia dan studio A24, rumah produksi film ini, ternyata memang sengaja bikin poster dan trailer yang menggiring asumsi penonton tentang siapa tokoh utama. Semua itu demi kejutan dadakan yang di siapkan di ujung babak pertama. Untuk film berdurasi dua jam lebih tujuh menit, kematian tiba-tiba itu memang mengejutkan.

Aster juga mempresentasikannya secara tak biasa. Alih-alih diterkam setan, atau dibantai pembunuh berdarah dingin—yang harusnya memang sudah muncul di menit-menit tersebut—kematian itu justru ditulis karena sebuah kecelakaan. Adegannya begitu intens dan traumatik, terutama buat mereka yang klaustrofobik—dan lebih baik tidak dibeberkan dalam ulasan ini. Ia jadi teror grafis pertama yang menampilkan bukan cuma situasi mencekam, tapi juga gambar sadis.

Adegan-adegan berikutnya, lebih intens dan bikin frustrasi. Pasca kematian tokoh tersebut, rumah keluarga Graham makin mencekam. Kecuali karakter Steve, yang memang dibangun Aster sebagai karakter sekunder, masing-masing dari mereka mulai dirajam teror bertubi-tubi. Alex, misalnya, juga mulai ‘berhalusinasi’ seperti Annie di awal film. Dan Aster masih menyajikan adegan-adegan itu sambil mengelabui penglihatan—tak cuma karakter-karakter dalam film, tapi juga—sebagai penonton.

Hebatnya, saat menyuguhkan horor dengan estetikanya sendiri, Aster tetap tak lupa membangun sebuah twist di ujung naskahnya. Sebuah kejutan yang akhirnya mengikat benang merah semua petunjuk yang dicecerkan Aster dalam tiap babak.

Selain naskah yang rapih dan segar, Aster beruntung didukung deretan aktor luar biasa. Performa Collette, Wolff, dan Byrne di atas meja saat makan malam adalah satu adegan pencuri perhatian. Drama keluarga berantakan yang mereka sajikan benar-benar meyakinkan. Bibir gemetar Steve, tatapan nanar Alex, dan teriakan “I’m your mother!” Collette sukses bikin bergidik. Emosi yang mereka keluarkan menjalar ke luar layar. Lewat adegan itu, Aster berhasil menunjukkan cara lain melempar horor pada penonton tanpa perlu setan seram dengan dempulan mekap tebal.

Performa Milly Shapiro, yang ternyata baru sekali main film ini, juga membius. Charlie hadir amat kuat dibikinnya, tanpa harus ditambal banyak-banyak dialog.

Tak salah, kalau banyak kritikus merespons baik film pertama Aster ini. Bahkan sejumlah media menyebutnya sebagai film horor paling mengerikan tahun ini. Bukan cuma karena menyajikan presentasi horor yang segar, ia juga penulis naskah yang cermat dan teliti. Lebih dari itu, sebagai sutradara, Aster jelas seorang pendongeng berbakat. Ia berhasil menerjemahkan naskah Hereditary yang kompleks menjadi pengalaman sinematik yang mencekam namun tetap estetis.

Entah itu nanti film horor lagi, atau genre lain, karya selanjutnya Aster perlu dinanti.

Baca juga artikel terkait FILM HEREDITARY atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra