tirto.id - Liverpool sukses meraih gelar Piala Super Eropa keempat setelah menang adu penalti 5-4 atas Chelsea pada laga yang dihelat di Vodafone Arena, Istanbul, Turki, Kamis (15/8/2019) dini hari waktu Indonesia. Kemenangan ini tak mudah diraih Liverpool lantaran dalam kurun 120 menit waktu normal dan extra time, mereka hanya bisa bermain imbang 2-2.
Dwigol The Reds diborong Sadio Mane, sementara angka balasan Chelsea tercipta lewat sontekan Olivier Giroud dan eksekusi penalti Jorginho.
"Pertandingan tadi adalah laga yang bagus dan pasti menarik, khususnya bagi mereka fans netral. Pertandingan yang sulit untuk kedua kesebelasan," tutur bek Liverpool, Virgil van Dijk setelah laga.
Perkataan van Dijk ada benarnya. Sepanjang pertandingan, kedua tim sama-sama tampil agresif. Menurut hitung-hitungan Whoscored, Liverpool menciptakan 21 tembakan, sedangkan Chelsea mengkreasikan 20 tembakan. Pada aspek penguasaan bola, efektivitas tembakan, jumlah serta akurasi umpan, kedua tim punya catatan yang relatif imbang.
Pada sisi lain, meski kalah, pelatih Chelsea Frank Lampard mengaku sedikit lega.
"Jelas kalau kami tadi tampil sangat bagus. Kami menunjukkan perlawanan bagus melawan tim yang telah dibangun bertahun-tahun. Aku sendiri, baru berada di sini enam pekan," tutur Lampard.
Belajar dari Kesalahan, tapi Belum Cukup
Performa Chelsea pada laga dini hari tadi memang meningkat pesat dibanding saat melawan Manchester United, Ahad (11/8/2019) lalu. Dalam laga pekan pembuka EPL tersebut, Chelsea mendapat hujan kritik karena jarak antara lini depan dan belakang yang terlalu renggang. Jarak tersebut saat itu dieksploitasi para pemain United untuk empat kali membobol gawang The Blues.
Saat melawan Liverpool, Lampard membenahi kesalahan itu dengan beberapa keputusan penting.
Pertama, pelatih asal Inggris itu mengubah skema dasar Chelsea. Saat menyerang dia mengganti formasi dari 4-2-3-1 jadi 4-3-2-1. Dalam struktur ini, ketika menyerang, secara bergantian dua dari tiga gelandang Chelsea akan tetap berada di tengah. Hanya satu gelandang--bergantian, antara Kante, Kovacic, atau Jorginho--yang ditugaskan naik sampai sepertiga area lawan.
Ketika bertahan, The Blues mengandalkan skema 4-3-3 untuk mem-pressing lawan. Saat mem-pressing dalam skema ini, Chelsea bermain lebih tenang. Kendati gelandang ikut melakukan pressing, Chelsea akan selalu menyisakan satu dari tiga gelandang buat tetap berada di depan bek.
Pendekatan baru saat menyerang dan bertahan ini bikin empat bek Chelsea mendapat proteksi lebih. Alhasil, sepanjang babak pertama lini belakang The Blues mampu bertahan dari gempuran masif pemain Liverpool.
Penampilan apik di babak pertama ini semakin lengkap dengan kehadiran N’Golo Kante dan Cristian Pulisic, dua pemain yang tidak jadi starter saat laga kontra MU. Pulisic, yang diplot Lampard sebagai winger kiri, menawarkan penetrasi yang lebih berani ke kotak penalti lawan, sementara Kante menyuguhkan kelincahannya setiap melakukan penetrasi ke daerah lawan.
Hasilnya bisa ditebak, saat dua pemain ini mengkreasi serangan, Chelsea sukses mencetak satu gol, tepatnya pada menit 36. Dari umpan Kante kepada Pulisic, kemudian diteruskan Pulisic dengan sebuah umpan terobosan ke kotak penalti, striker Olivier Giroud yang lepas dari penjagaan sukses mengecoh kiper Liverpool, Adrian dengan sepakan akurat.
Pada babak kedua performa Kante, Pulisic, dan para penyerang Chelsea sebenarnya juga tidak kalah ciamik. Pulisic khususnya, sempat dua kali menggetarkan gawang Adrian, meski dianulir karena off-side.
Kalaupun ada hal yang perlu dibenahi Lampard untuk laga berikutnya, itu adalah penampilan beknya. Dalam pertandingan ini, empat bek Chelsea menunjukkan penampilan bagus ketika menyerang--ikut naik guna mengurangi gap antara lini tengah dan lini belakang--. Namun saat bertahan, para bek ini belum bisa membuktikan kecakapan mereka. Gol pertama Liverpool menjadi bukti, lantaran proses gol itu tak lepas dari miskomunikasi antara Cesar Azpilicueta (bek kiri) dan Kepa Arrizabalaga (kiper).
Jika saja keduanya bisa lebih berbagi peran dengan baik, bola yang diumpankan Fabinho ke kotak penalti untuk gol itu tentu akan mudah diantisipasi. Gol kedua Liverpool, yang tercipta pada menit 94 juga tidak lepas dari kurang antisipatifnya Kurt Zouma (bek tengah) dalam menutup ruang umpan Mohamed Salah.
Liverpol Menyadari Kesalahan dan Diselamatkan Nasib
Pada sisi lain, meski tampil tak kalah baik, Jurgen Klopp yang masih mengandalkan skema 4-3-3 melakukan beberapa miskalkulasi. Blunder pertama dilakukan Klopp dengan menempatkan Alex Oxlade-Chamberlain sebagai winger kiri, pos yang bukan tempat idealnya. Sepanjang babak pertama, Chamberlain, yang diharapkan mampu menjalani start bagus usai cedera panjang, justru gagal jadi pembeda.
Meski menolak disebut menyalahgunakan posisi Chamberlain, Klopp mengakui kalau penempatan posisi ini bikin timnya terhambat mencetak gol pada paruh pertama.
"Seharusnya dia bisa bermain lebih bagus dari pada malam ini. Tapi mungkin karena cedera dia perlu menemukan iramanya. Saat latihan sebenarnya dia sudah mendapatkan itu, hanya saja tadi memang tidak cukup," tutur Klopp seperti dilansir Liverpool Echo.
Keputusan berisiko lain juga diambil Klopp dengan menempatkan Joe Gomez sebagai bek kiri. Bermaksud memberi kesempatan istirahat kepada Andy Robertson, Klopp justru dibikin deg-degan. Sepanjang pertandingan, Gomez tercatat tiga kali kehilangan bola dari kakinya.
Gagal performnya Gomez dan Chamberlain, yang beroperasi pada sisi yang sama, bikin sayap kiri Liverpool timpang. Beruntung, Klopp langsung mengidentifikasi masalah ini pada paruh waktu.
Pada babak kedua, Klopp memasukkan Roberto Firmino (kemudian diplot sebagai striker) serta menggeser Sadio Mane ke winger kiri, pos yang sebelumnya dihuni Chamberlain. Dengan skema ini Liverpool mampu menyerang dengan lebih optimal. Kehadiran Mane yang lebih agresif mem-pressing juga bikin pemain-pemain di belakangnya, termasuk Joe Gomez lebih 'aman'. Sementara dampak kehadiran Firmino tak perlu diragukan lagi. Dua assist dia sumbangkan dalam laga ini, untuk kedua gol Mane.
Sialnya, reaksi itu belum cukup menyelamatkan TheReds. Hingga babak perpanjangan waktu berakhir skor masih menunjukkan 2-2.
Nasib lantas berpihak pada Liverpool karena mereka memiliki sosok Adrian, kiper veteran yang punya reputasi bagus dalam hal adu penalti. Pemain berusia 32 tahun itu sukses menghentikan satu dari lima tembakan pemain Chelsea (Tammy Abraham), ketika di saat bersamaan Kepa gagal menahan satu pun sepakan penggawa Liverpool.
Klopp, menyebut aksi terakhir Adrian ini sebagai momen penentu nasib timnya, layaknya adegan penentu kemenangan Rocky Balboa atas Apollo Creed dalam film Rocky.
"Benar-benar cerita yang luar biasa, Adrian," ucap Klopp.
Editor: Mufti Sholih