tirto.id - Pegawai PT Eufrat Med, Dina Hadicahyani (22) tak menyangka acara kantor yang diadakan di Mutiara Carita Cottages, Pandeglang, Banten, berakhir menjadi petaka karena tsunami. Namun, Dina mengaku sudah mendapat firasat karena sedang bulan purnama.
"Waktu sampai sini [hotel], kami ingat ini bulan purnama, saya pikir cuma gelombang pasang yang masih normal," ujarnya pada reporter Tirto, Minggu (23/12/2018) dini hari.
Singkat cerita, Dina dan pegawai lainnya tetap melangsungkan agenda. Pada Sabtu (22/12/2018) sore mereka mengadakan rapat di ruang pertemuan hotel yang terletak di lantai satu hingga malam. Belum tuntas, rapat terhenti sekitar pukul 21.30 WIB.
"Saya lagi di ruang meeting, terus dengar orang-orang teriak 'air... air... air...' Pas dilihat dari pintu, ternyata ada air tingginya satu meter lebih," ujarnya.
Dina panik, sebab jarak ruang rapat dengan posisi ombak, ditaksir tak lebih dari 50 meter. Hanya dibatasi oleh kolam renang dan lapangan kecil.
"[Setelah lihat ombak] langsung tutup pintu. Kabur lewat jendela belakang. Langsung ke lantai atas, untuk evakuasi. Ternyata belum ada tim yang mengatur untuk titik kumpul," ujarnya lagi.
Dina dan pegawai yang lain berinisiatif turun mencari lokasi yang aman sekaligus mengumpulkan anggota keluarga yang masih berada di ruang terpisah.
Dina mengaku, warga sekitar hotel tempat mereka mengadakan pertemuan sangat membantu. Setelah para pegawai memastikan keluarganya lengkap, mereka menuju ke kampung yang posisinya lebih tinggi.
"Diarahin sama warga naik [ke kampung], soalnya takut ada susulan. Karena awalnya kami pikir itu tsunami," ujarnya.
Namun ternyata rombongan mereka tidak lengkap. Dari 32 orang yang ikut serta, dua di antaranya masih ada yang belum ditemukan.
"Keponakan bos saya, dua orang masih hilang dan belum ketemu," ujarnya.
Dua anak berjenis kelamin laki-laki dengan usia masing-masing 12 dan 15 tahun tersebut, diketahui Dina terakhir dilihatnya sebelum rapat dimulai.
Sebelum tsunami, Dina mengaku mendengar suara seperti dentuman Gunung Merapi pada sore hari, suaranya tipis. Namun sekitar pukul 08.00 WIB hal yang sama terdengar lebih kencang dari sebelumnya.
Saat dihubungi wartawan Tirto pada Minggu (23/12/2018) pukul 03.12 WIB, Dina sedang berada di rumah salah satu warga bersama pegawai dan keluarga lainnya. Dengan kondisi diguyur hujan normal.
"Saya belum bisa tidur. Masih was-was," ujarnya. "Doain ya buat kami semua di sini. Semoga selamat."
Badan Meteorologi, Kilmatologi, dan Geofisika (BMKG) telah menyampaikan secara resmi tsunami terjadi dan menerjang beberapa wilayah pantai di Selat Sunda, di antaranya di pantai di Kabupaten Pandeglang, Serang, dan Lampung Selatan. Tsunami terjadi pada Sabtu (22/12/2018) sekitar pukul 21.27 WIB.
BMKG menyebut tsunami terjadi pada Sabtu (22/12/2018) sekitar pukul 21.27 WIB. Kemungkinan tsunami terjadi akibat longsor bawah laut karena pengaruh erupsi Gunung Anak Krakatau.
Pada saat bersamaan terjadi gelombang pasang akibat pengaruh bulan purnama, sehingga ada kombinasi antara fenomena alam yaitu tsunami dan gelombang pasang.
Data sementara hingga Minggu (23/12/2018) pukul 04.30 WIB tercatat 20 orang meninggal dunia, 165 orang luka-luka, 2 orang hilang dan puluhan bangunan rusak.
"Data korban kemungkinan masih akan terus bertambah mengingat belum semua daerah terdampak di data," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho melalui keterangan pers, Minggu (23/12/2018).
BNPB mengimbau masyarakat tetap tenang dan jangan terpancing isu yang menyesatkan. Masyarakat dihimbau tidak melakukan aktivitas di pantai Selat Sunda untuk sementara waktu. BMKG dan Badan Geologi masih melakukan penelitian lebih lanjut.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Dipna Videlia Putsanra