tirto.id - “Mbak, kan, lagi kesusahan uang nih, enggak bisa bayar utang sampai 10 aplikasi diutangin, ya, kan?”
“Saya kasih solusi, nanti saya anggap lunas. Mbak, mau langsung enggak usah bayar full. Mbak enggak usah ngeluarin duit. Mbak saya langsung anggap lunas, gimana?”
“Gini deh mbak, lugua beli aja deh, harga lu berapa sih? Lugua beli, lu telanjang, lu joget-joget, gue bayar utang lu, semuanya gua bayarin, gimana?”
“Kalau tawaran gua mau lu terima, kabari gua. Lu, kan, single parent tuh, enggak ada laki juga, kan? Kasian anak lu.”
Sejumlah ungkapan di atas keluar dari mulut penagih utang lewat sambungan telepon yang membuat FY (31 tahun) kesal dan sedih.
Namun, FY tak bisa berbuat banyak dan hanya bisa menolak secara perlahan dan berjanji akan melunasi utangnya kepada salah satu layanan Peer to Peer (P2P) Lending, perusahaan yang mempertemukan peminjam dan pemberi pinjaman.
“Saya enggak mau ingat-ingat lagi kejadian itu. Bahkan saya lupa tanggal persisnya. Seingat saya, itu antara bulan Februari atau Maret awal tahun [2018]” kata FY kepada reporter Tirto.
FY menjadi salah satu korban penagihan utang jasa P2P Lending dengan cara intimidatif dan meneror. Dalam kasus FY, bahkan bisa masuk dalam kategori pelecehan seksual.
****
Semua berawal pada Februari 2017. Saat itu, FY, wanita yang bekerja di salah satu perusahaan swasta ini berniat meminjam uang di salah satu aplikasi jasa P2P Lending berinisial UC. Ia hanya meminjam uang sebesar Rp500 ribu dengan jatuh tempo selama 14 hari.
“Awalnya saya pinjam hanya untuk uang transpor sehari-hari saja. Tanggung bulan. Karena syarat dan ketentuan mudah hanya menggunakan KTP, hitungan menit langsung ditransfer,” cerita FY kepada reporter Tirto, pada Selasa (6/11/2018).
FY tak butuh waktu lama dan tidak merasa kesulitan membayar utang itu. Namun, aplikasi UC memberikan penawaran menggiurkan untuk FY pada bulan berikutnya: utang limit menjadi Rp800 ribu dengan jatuh tempo 21 hari.
FY kembali berutang dan masih bisa membayar tepat waktu.
Pada April 2017, FY kembali mendapat tawaran menarik lagi. UC menaikkan limit peminjaman uang menjadi Rp1 juta dengan jatuh tempo 30 hari. Peminjaman itu disertai bunga sebesar 20 persen. Artinya, FY harus membayar utang tersebut sebesar Rp1,2 juta.
Dan lagi-lagi, FY kembali berutang dan masih bisa membayar.
“Sama seperti awal, syarat dan ketentuan mudah, dana cairnya cepat banget,” kata FY menceritakan kronologinya.
Pertengahan 2017, FY melihat betapa masifnya fenomena peminjaman uang online lewat jasa P2P Lending ini. FY sudah merasa data-data pribadinya--seperti nomor telepon dan alamat surat elektronik-- tersebar. Banyak tawaran datang lewat SMS dan surat elektronik.
“Jadi saya dapat kemudahan banget. Saya akui saya memang mudah tergiur, tapi saya kurang detail membaca syarat dan ketentuan lain-lainnya,” kata FY.
Hingga Juli 2017, FY mandeg tak bisa membayar utang karena satu dan lain hal. Namun, melihat ada tawaran utang yang lebih mudah ke jasa P2P Lending lainnya, ia ambil. Lingkaran seperti itu, ia lakukan demi 'gali lubang tutup lubang'.
"Hingga awal 2018, saya total punya 10 aplikasi. Empat terdaftar OJK, enam tidak. Nah, yang parah ini yang belum terdaftar OJK,” kata FY.
Singkat cerita, sekitar Februari-Maret 2018, FY kembali mengutang kepada UC. Namun, sialnya ia tak mampu membayar. Setiap hari ragam intimidasi dan teror datang ke gawainya sejak hari pertama telat membayar.
“Saya diam satu sampai empat hari pertama. Semua teman kantor saya dapat kiriman informasi utang saya. Semua kontak yang ada di hape saya dikirim semua. Penagih utang juga menelpon ke saya dengan orang yang berbeda-beda. Ya mau bagaimana lagi, saya tak ada uang mau membayar,” kata FY.
FY mengatakan dirinya memang memberi akses data kontak teman-temannya dan media sosial saat awal pendaftaran utang. Akses tersebut juga berlaku pada galeri foto dan dokumen-dokumen.
“Jika tidak disetujui, tidak cair uangnya,” kata FY.
Saat ia telat bayar selama satu bulan sebelas hari, FY selalu mendapat intimidasi. Dan puncaknya adalah percakapan di awal tulisan ini.
“Saya bertahan satu bulan diintimidasi. Dengan akhirnya saya bisa bayar total dengan bunga Rp2,8 juta, dari pinjaman awal hanya Rp1 juta,” kata dia.
“Hingga saat itu, saya kapok,” kata FY.
FY Tak Sendirian
FY ternyata bukan korban satu-satunya. Berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, setidaknya tercatat 283 kasus serupa, atau bahkan lebih parah dari apa yang dialami FY, selama tiga tahun terakhir.
“Selama tiga tahun terakhir setidaknya ada 283 kasus dan pelaporan yang terjadi. Meski mulai mengadu ke LBH Jakarta itu pada Mei lalu, tapi mereka sudah membangun kelompok pengaduan khusus sejak 2016, meski kelompok itu lebih ke curhat, sih,” kata Kepala Divisi Advokasi Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban (PMU) LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait kepada reporter Tirto, pada 5 November lalu.
Dalam eksekusi penagihan utang oleh P2P Lending, LBH Jakarta menemui kasus yang acapkali membikin para korban terintimidasi, seperti diminta menari telanjang, diancam dibunuh, dipecat perusahaan karena menagih utang ke atasan korban, menagih ke rekan kantor yang membuat malu, hingga upaya bunuh diri akibat bunga pinjaman yang sangat besar.
Tak hanya itu, kata Jeanny, data-data pribadi korban juga diambil. Menurut Jeanny, tindakan para penagih utang P2P Lending ini sudah melanggar hak atas privasi seseorang.
“Intimidasinya macam-macam. Ada tujuh bentuk modus pelanggaran, satu orang pun bisa bermacam-macam kenanya. Bahkan ada yang satu orang yang mengalami tujuh-tujuhnya. Teror, kehilangan pekerjaan, malu, dan lain-lain,” kata Jeanny.
Tujuh modus pelanggaran yang ditemui LBH Jakarta antara lain: seluruh data pribadi diambil dari gawai milik peminjam; penagihan tak hanya dilakukan kepada peminjam saja, tapi kepada seluruh kontak yang tercantum di dalam gawai milik peminjam; penagihan dilakukan dengan cara memaki dan mengancam; bunga pinjaman tidak terbatas; penagihan dilakukan tanpa kenal waktu; nomor kontak pihak pinjaman online tidak selalu tersedia; dan alamat perusahaan pinjaman online tidak jelas.
Upaya Pengadvokasian
LBH Jakarta melihat kasus yang dialami oleh FY dan ratusan korban lainnya memiliki tiga isu masalah besar. Pertama adalah pelanggaran terhadap hak atas privasi seseorang.
“Orang bisa diakses handphone-nya, data-datanya diambil dan disebar. Hak atas privasi itu melampaui dari rahasia seseorang. Itu menunjukkan hak atas privasi bukan hanya mengenai rahasia, tapi juga dikendalikan seseorang tersebut,” kata Jeanny.
Kedua, lanjut Jeanny, peraturan OJK yang ada tak cukup mumpuni untuk melindungi korban peminjaman online. Perusahaan P2P Lending juga hanya dikenakan sanksi administratif jika melakukan tindak pidana.
"Di OJK pun hanya 64 perusahaan yang terdaftar, bagaimana yang tidak terdaftar? Padahal sejak Agustus 2018 sudah ada 300 perusahaan peminjaman dana online," katanya.
Ketiga, adalah tindakan pidana yang dilakukan perusahaan kepada pelanggannya lewat para penagih. “Difitnah, [tindakan] pelecehan seksual, tindak kekerasaan verbal, dan intimidatif. Ini harus diperhatikan secara serius,” kata dia.
Karena itu, LBH Jakarta mendorong OJK untuk segera merevisi aturan yang diberlakukan, sehingga terdapat aturan yang bisa melindungi masyarakat yang menjadi korban, dan menindak tegas para perusahaan yang melakukan tindak pidana.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz