tirto.id - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia memberi tanggapan atas dugaan pelanggaran yang kerap dilakukan layanan Peer to Peer Lending, perusahaan yang mempertemukan peminjam dan pemberi pinjaman. Kasus pelanggaran mencuat awal pekan ini setelah LBH Jakarta menyebut ada 283 kasus yang menimpa konsumen dalam tiga tahun terakhir.
Dalam catatan LBH, pelanggaran itu berupa intimidasi dan penerabasan privasi baik langsung kepada konsumen maupun orang yang berhubungan dengan konsumen.
AFPI selaku organisasi yang mewadahi industri P2P Lending mengaku berkepentingan dalam kasus ini. Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widiatmoko mengakui penagihan utang memang kerap dikeluhkan banyak konsumen. Namun, AFPI tak mentolerir pelanggaran tersebut.
"Kami segera mengadakan sertifikasi penagihan. Asosiasi akan melakukan training dan sertifikasi kepada semua agen. Apabila terjadi kesalahan prosedur, apalagi sampai [level] berat sekali, kami bisa melakukan revoke keanggotaannya," kata pria yang juga menjabat CEO Dompetkilat ini saat jumpa pers, di Jakarta, Selasa (6/11/2018).
Sementara itu, Sekretaris AFPI Dino Martin menegaskan asosiasi juga sudah menyiapkan sanksi buat anggota yang melanggar. Jika kasusnya masih terbilang kecil, kata Dino, teguran diberikan lewat surat resmi. Selain itu, AFPI bakal memediasi konsumen dengan perusahaan P2P Lending tersebut.
Namun, apabila kasusnya sudah berskala nasional, Dino menyebut, asosiasi akan mengusut masalah tersebut lewat komite etik.
"Komite etik itu terdiri dari pihak eksternal yang independen di mana mereka akan melihat dampak dari sisi hukum, sosial, dan eksistensi industrinya," kata Dino.
OJK Tidak Tegas
Pada sisi lain, pelanggaran P2P Lending juga dilatari masalah ketidaktegasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Keluhan atas sikap OJK ini tak hanya disuarakan LBH Jakarta, tapi juga Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada September 2018.
YLKI meminta OJK memblokir perusahaan P2P Lending yang berbuat tidak sesuai prosedur standar operasional.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyatakan, jumlah aduan yang masuk terkait perusahaan P2P Lending terus bertambah setiap harinya. Selain perilakunya yang mengganggu konsumen, YLKI juga mendapatkan laporan ada juga perusahaan P2P Lending yang memberi denda harian sangat tinggi bagi peminjam.
"Ini menunjukkan OJK masih sangat lemah dan tidak serius dalam pengawasan. YLKI pun mendesak OJK untuk segera memblokir perusahaan fintech [P2P Lending] yang ilegal," ucap Tulus.
Selama ini, OJK memang terkesan enggan mengurusi perusahaan P2P Lending yang tidak terdaftar. Hingga saat ini, setidaknya baru 73 perusahaan P2P Lending yang sudah diakui OJK.
Tirto mencoba menghubungi Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi untuk meminta tanggapannya ihwal banyaknya laporan ke LBH Jakarta terkait pinjaman online. Akan tetapi, baik panggilan telepon maupun pesan singkat yang dikirimkan tidak direspons Hendrikus.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz