Menuju konten utama

Catatan JKRN soal Solusi Reformasi Kebijakan Narkotika di Revisi UU

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) memberikan sejumlah catatan terkait draf revisi UU Narkotika yang diusulkan pemerintah.

Catatan JKRN soal Solusi Reformasi Kebijakan Narkotika di Revisi UU
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengikuti Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi III DPR di komplek Parlemen, Jakarta, Kamis (31/3/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/tom.

tirto.id - 6 Desember 2021, pemerintah menyepakati revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika masuk dalam Daftar Prolegnas Prioritas 2022. Per 14 Januari 2022, pemerintah mengirimkan RUU Narkotika kepada DPR untuk dibahas.

Tindak lanjut hal tersebut, Kamis, 31 Maret 2022, Komisi III DPR menggelar rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tentang isi RUU tersebut. Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) pun memberikan catatan atas draf tersebut.

“Kesatu, pendekatan dalam reformasi kebijakan narkotika mesti sejalan dengan konstitusi negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, kesehatan publik dan pengurangan dampak buruk," kata peneliti ICJR Maidina Rahmawati, via keterangan tertulis, Sabtu, 2 April 2022.

Dengan pendekatan ini, intervensi bagi pengguna narkotika hanya dan hanya boleh dengan berbasis kesehatan dan ilmu pengetahuan, serta sama sekali tidak dengan pendekatan hukuman (bersifat punitif). Pemerintah telah tepat melihat masalah utama kebijakan karena memberi dampak pada kelebihan kapasitas rutan dan lapas.

Namun pemerintah memberikan solusi dengan rehabilitasi proses hukum yang merupakan rehabilitasi berbasis hukuman. "Kami ingatkan bahwa konsep ini hanya akan memindahkan kelebihan kapasitas rutan dan lapas ke tempat-tempat rehabilitasi," tutur Maidina.

Kedua, penggunaan narkotika harusnya dekriminalisasi, tidak semua membutuhkan rehabilitasi. Negara-negara yang berhasil mereformasi kebijakan narkotikanya tidak menghadirkan rehabilitasi wajib, tapi mengedepankan penilaian derajat keparahan yang bersifat komprehensif pada domain kesehatan, sosial, ekonomi untuk menentukan intervensi yang tepat.

Skema dekriminalisasi yang JRKN perkenalkan, mengatur rentang ambang batas untuk menentukan kepemilikan kepentingan pribadi. Dalam rentang tersebut, pengguna narkotika menjadi subjek penilaian panel asesmen yang berada di layanan kesehatan hingga ke tingkat puskesmas, dinilai oleh tenaga kesehatan dan konselor adiksi untuk menentukan intervensi yang tepat, tanpa adanya anggota tim dari aparat penegak hukum.

Ketiga, ketentuan pidana seharusnya diubah dan ancaman pidana penjara minimum khusus dan pidana mati harus dihapuskan. Pemerintah menyatakan tidak akan mengirimkan pengguna narkotika ke penjara, namun justru luput memperbaiki kontradiksi pasal-pasal UU Narkotika antara Pasal 111 tentang Penguasaan Narkotika Golongan I jenis tanaman, Pasal 112, Pasal 117 dan Pasal 122 tentang Penguasaan Narkotika, Pasal 114, Pasal 119, Pasal 124 tentang membeli Narkotika, dengan Pasal 127 tentang penyalahgunaan Narkotika.

Keempat, aturan tentang penggolongan narkotika. Pemerintah luput memperhatikan kebutuhan akan perlunya revisi aturan tentang larangan golongan Narkotika golongan I untuk kesehatan, yang seharusnya menjadi diperbolehkan.

Kelima, pengaturan Zat Psikotropika Baru (ZPB), dalam Pasal 148A RUU Narkotika usulan pemerintah, diperkenalkan pasal yang dapat mengkriminalisasi perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan ZPB, dengan ancaman pidana 2-10 tahun.

Hal ini bertentangan dengan asas legalitas, karena orang dapat dipidana atas kepemilikan suatu zat yang belum ditentukan sebagai narkotika, artinya orang dikriminalisasi atas ketentuan yang belum diatur, hal ini bertentangan dengan asas legalitas yang paling dasar dalam hukum pidana, sesuai dengan asas Pasal 1 KUHP.

“Memang masalah utama kebijakan narkotika membawa dampak kelebihan kapasitas, namun solusinya bukan dengan rehabilitasi berbasis hukuman. Yang perlu dikedepankan adalah perbaikan tata kelola narkotika yang tepat dengan berdasarkan penghormatan HAM, kesehatan masyarakat dan pengurangan dampak buruk," kata Maidina.

Sementara, Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly menegaskan pentingnya pencegahan dan keadilan restoratif dalam revisi UU Narkotika. “Revisi ini untuk mengoptimalkan penanganan peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia," kata dia, Kamis lalu.

Selain penguatan pencegahan, upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap serta prekursor narkotika juga perlu ditingkatkan.

Baca juga artikel terkait REVISI UU NARKOTIKA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz