tirto.id - Salah satu sikap yang penting untuk dimiliki anak adalah kemandirian. Kemandirian menjadi investasi jangka panjang hingga anak tumbuh menjadi orang dewasa. Namun, untuk menerapkannya diperlukan latihan sejak dini dan kesabaran yang ekstra.
Saat kecil, tidak akan ada masalah apabila para orang tua membantu mereka untuk mengerjakan pekerjaan atau menyelesaikan urusannya.
Namun, saat dewasa mereka haruslah berani menghadapi dan menyelesaikannya sendiri. Anak yang mandiri pada umumnya akan lebih kuat dalam menghadapi permasalahan kehidupan.
Dilansir dari laman Bulelengkab, ada tiga manfaat yang dapat diperoleh dari memiliki anak yang mandiri, antara lain.
1. Anak-anak akan siap menjalani hidup.
Kemandirian yang dimiliki anak akan menjadi bekal bagi mereka dalam menghadapi berbagai masalah yang akan terjadi.
2. Menjaga harga diri anak.
Sikap mandiri dan tidak menggantungkan diri kepada orang lain adalah sikap yang baik. Tentunya, hal ini akan meningkatkan harga diri dari orang yang bersangkutan.
3. Sikap mandiri yang dimiliki anak akan menjadi sikap dasar orang-orang sukses.
Sikap mandiri yang ditanamkan pada anak sejak dini memiliki arti bahwa para orang tua sedang menyiapkan anak-anak untuk sukses setelah dewasa. Pasalnya, tidak ada orang sukses yang selalu bergantung kepada orang lain untuk membantunya.
Lantas, bagaimana cara menanamkan sikap kemandirian pada anak?
Dilansir dari Very Well Family, ada lima jenis cara yang dapat digunakan untuk mendisiplinkan anak. Para orang tua dapat memilih cara yang tepat untuk mendisiplinkan anak dengan menyesuaikannya pada karakteristik anak. Berikut beberapa caranya,
1. Disiplin positif
Menanamkan sikap disiplin pada anak dengan tipe ini selalu didasarkan pada pujian dan dorongan. Para orang tua tidak berfokus pada hukuman yang akan diberikan, justru mengajarkan keterampilan memecahkan masalah. Lebih dari itu, para orang tua bekerja sama dengan anak untuk mengembangkan solusinya.
Sebagai contoh, seorang anak berusia 6 tahun tidak mau untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya. Para orang tua menggunakan disiplin positif akan duduk bersama anak itu dan berkata “Apa yang bisa kita lakukan untuk menyelesaikan tugasmu sehingga kamu bisa menunjukkannya ke gurumu tepat waktu?”
2. Disiplin lemah lembut
Berbeda dengan disiplin positif ynag berfokus pada pemecahan masalah, disiplin lemah lembut berfokus pada pencegahan masalah. Para orang tua sering kali melakukan pengalihan untuk menjauhkan anak-anak dari perilaku buruk.
Anak-anak akan diberi konsekuensi tetapi bukan dengan menanamkan rasa malu. Sebaliknya, orang tua sering kali menggunakan humor untuk mengelola emosi mereka sendiri sembari mengatasi perilaku anak.
Sebagai contoh, seorang anak berusia 6 tahun menolak untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya. Orang tua yang menggunakan disiplin lembut mungkin melemparkan respons dengan humor dan mengatakan, "Apakah kamu lebih suka menulis makalah panjang berisi alasan mengapa kamu tidak mengerjakan tugasmu? Ayolah, kita kerjakan bersama-sama!”
3. Disiplin dengan batasan
Disiplin dengan batasan memiliki fokus pada penetapan batas dan membuat aturan yang jelas di awal. Anak-anak akan diberikan pilihan dan konsekuensi yang jelas untuk perilaku buruk. Konsekuensi tersebut dapat berupa konsekuensi logis atau alami.
Sebagai contoh, seorang anak berusia 6 tahun menolak untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya. Orang tua yang menggunakan disiplin dengan batasan akan memperjelas konsekuensinya dengan mengatakan, "Kamu tidak boleh main handphone malam ini sampai tugasmu selesai."
4. Modifikasi perilaku
Modifikasi perilaku berfokus pada konsekuensi positif dan negatif. Perilaku yang baik diperkuat dengan pujian atau penghargaan. Perilaku buruk dihambat melalui penggunaan pengabaian dan konsekuensi negatif, seperti hilangnya hak istimewa.
Contohnya, seorang anak berusia 6 tahun menolak untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya. Orang tua yang menggunakan modifikasi perilaku mungkin mengingatkan anak tentang hadiah yang sudah diatur sebelumnya dan sudah ada dengan mengatakan, "Ingat, setelah kamu menyelesaikan tugasmu, kamu bisa menggunakan komputer selama 30 menit."
Pujian akan ditawarkan jika anak memilih untuk mematuhi. Orang tua akan mengabaikan protes.
5. Pelatihan emosi
Pelatihan emosi berfokus pada mengajar anak-anak tentang perasaan. Ketika anak-anak memahami perasaan mereka, mereka dapat mengucapkannya secara verbal daripada bertindak berdasarkan perasaan itu.
Anak-anak diajari bahwa perasaan mereka baik-baik saja dan orang tua membantu mengajari mereka cara yang tepat untuk menghadapi emosi mereka.
Contohnya, seorang anak berusia 6 tahun menolak untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya. Orang tua yang menggunakan cara ini kemungkinan akan mencoba membantu anak mengidentifikasi perasaan dengan mengatakan,
"Saya tahu bahwa mengerjakan tugas membuatmu sedikit kesal karena tidak ada waktu lagi untuk bermain. Apalagi ketika kamu tidak tahu bagaimana cara mengerjakannya. Luangkan waktu untuk bicara denganku ketika kamu mengalami kesusahan, aku akan membantumu,”
American Academy of Pediatric (AAP) dalam laman Healthy Children merekomendasikan strategi disiplin positif untuk diterapkan kepada anak.
Strategi tersebut dianggap sebagai cara yang paling efektif untuk mengajarkan anak-anak mengelola perilaku mereka dan menjaga mereka dari hal buruk sembari mempromosikan perkembangan yang sehat.
Beberapa tips melakukannya adalah sebagai berikut:
· Tunjukkan dan beritahu mana yang salah dan benar.
· Tetapkan batasan.
· Berikan konsekuensi.
· Dengarkan mereka.
· Beri mereka perhatian Anda.
· Berikan pujian terhadap hal baik yang mereka lakukan.
· Ketahui kapan tidak merespons anak pada hal-hal yang dia lakukan.
· Bersiaplah untuk masalah yang akan datang.
· Arahkan kembali perilaku buruk anak.
· Peringatkan anak akan perilaku buruk yang dilakukan.