Menuju konten utama

Cara Tangani Krisis di Dalam Pesawat, Ujian bagi Maskapai

Citra maskapai penerbangan ditentukan dengan cara mereka menangani ibu melahirkan. Atau cara mereka menangani kelebihan penumpang.

Cara Tangani Krisis di Dalam Pesawat, Ujian bagi Maskapai
Ilustrasi seorang ibu setelah melahirkan. GETTY IMAGES

tirto.id - Sebuah kejadian tak umum baru saja datang dari Bandara Hang Nadim, Batam. Yohana Ellu, salah seorang penumpang Lion Air rute Medan-Batam-Surabaya, dikabarkan melahirkan di dalam pesawat pada Sabtu (8/4) lalu. Ketika berangkat dari Medan, perempuan yang tengah hamil tua ini tidak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan, tetapi menjelang pesawat transit di Batam, Yohana mengalami kontraksi.

Awak pesawat pun dengan sigap memberi bantuan melahirkan bagi Yohanna seraya mengontak perawat bandara untuk mengantisipasi kejadian tak biasa ini. Namun, saat pesawat tiba di Hang Nadim, Yohana sudah keburu melahirkan dan beruntung bayinya lahir dengan selamat atas bantuan pramugari Lion Air. Ia pun segera dibawa ke RS Elizabeth Batam Center untuk mendapatkan perawatan intensif dan mau tak mau menunda perjalanannya yang semula bertujuan Kupang.

Kejadian melahirkan di pesawat tak hanya ditemukan di Indonesia dan bukan kali pertama ini. Dilansir CNN, pada 1990, tercatat sebuah kelahiran di dalam pesawat British Airways berute Ghana-Inggris. Debbie Owen melahirkan bayi perempuan yang dinamainya Shona Kirsty Yves—yang inisialnya dibaca SKYdengan bantuan seorang dokter Belanda yang kebetulan menumpangi pesawat yang sama.

Tahun 2015, peristiwa langka serupa kembali terjadi di maskapai dan lokasi yang berbeda. Pada bulan Mei, Ada Guan yang melakukan perjalanan dari Calgary, Kanada ke Tokyo, Jepang bersama pasangannya, Wesley Branch, melahirkan seorang bayi di pesawat Air Canada saat melintasi Samudra Pasifik.

Kelahiran Chloe—sang bayi—sungguh tak diduga oleh sejoli yang berencana berlibur tersebut. Pasalnya, saat hendak naik pesawat, Guan tak menyadari dirinya sedang hamil. Saat merasakan kenaikan berat badan, ia sempat berkonsultasi ke dokter dan melakukan tes kehamilan dan ternyata, hasilnya negatif.

Masih pada tahun yang sama, bulan Oktober, seorang warga Taiwan dilaporkan The Telegraph melahirkan bayi perempuan di atas pesawat China Airlines rute Bali-Los Angeles. Karena ia tak sanggup lagi menahan kelahiran sang bayi, pesawat terpaksa membuat pendaratan darurat di Alaska. Sang bayi lahir dengan selamat dan disambut kegembiraan, tak cuma dari perempuan yang melahirkannya, tetapi juga seluruh penumpang pesawat.

Meski demikian, kegembiraan ini tak berlangsung lama karena ia terpaksa dipisahkan dari bayinya dan dideportasi ke Taiwan karena tidak mengabari petugas pesawat perihal kehamilannya dan menyebabkan pesawat mendarat di tempat tak direncanakan. Bukan hanya itu, ia pun dituduh sengaja melahirkan bayi di tengah perjalanan udara supaya bayinya dapat memperoleh kewarganegaraan AS.

Saat seseorang melahirkan bayi masih di dalam batas suatu negara, perkara kewarganegaraan tentunya tak menjadi persoalan. Namun, beberapa warga yang terpaksa melahirkan di pesawat mesti menghadapi kasus klaim kewarganegaraan tak lazim yang senantiasa bergantung kepada kebijakan tiap negara.

Di Inggris, sekalipun seseorang lahir di sana, tidak serta merta dirinya mendapat kewarganegaraan dari Negeri Ratu Elizabeth tersebut. Sementara di AS, seseorang yang lahir dalam batas wilayahnya—baik perairan maupun udara—berhak mendapat kewarganegaraan karena AS menganut prinsip jus soli atau right of the soil.

Dua tahun setelah peristiwa-peristiwa ini, seorang ibu lain melahirkan di pesawat Turkish Airlines. Diwartakan The Guardian pada hari Minggu (9/4) lalu, Nafi Diaby tengah mengandung 28 minggu dan mengalami kontraksi saat pesawat telah mengudara dari Guinea menuju Burkina Faso. Awak pesawat pun membantunya melahirkan dan berita ini disebarkan melalui akun Twitter resmi Turkish Airlines.

Infografik Melahirkan Di Pesawat

Menerima atau Menolak ‘Kelebihan’ Penumpang?

Jika sejumlah maskapai dengan sigap menangani kasus-kasus melahirkan dan sukarela menerima ‘kelebihan’ penumpang di pesawatnya, lain cerita dengan kejadian yang melibatkan United Airlines. Walaupun tidak berkaitan langsung dengan peristiwa melahirkan, opini publik terhadap maskapai ini terbentuk dari cara mereka memperlakukan penumpang di pesawat.

Sebagaimana diberitakan LA Times pada 10 April kemarin, petugas United Airlines sempat mengusir penumpangnya dengan alasan kelebihan muatan. Maskapai tersebut menyadari adanya kelebihan muatan dan berharap ada penumpang yang dengan sukarela membatalkan perjalanannya supaya pesawat bisa terbang dengan optimal.

Iming-iming mulai dari $400 sampai dinaikkan hingga $800 plus penginapan sebagai ganti rugi bagi mereka yang mau mengorbankan kursinya dari United Airlines tak menggugah niat para penumpang.

Pihak maskapai pun mengambil tindakan sendiri dengan secara acak memilih penumpang untuk turun dari pesawat. Berdasarkan tayangan video yang diambil penumpang lain, terlihat seorang penumpang laki-laki yang dipaksa turun ini mengalami kekerasan saat petugas menyeretnya keluar.

Luka-luka di wajahnya pun sempat tersorot kamera dan menandakan dengan jelas perlakuan buruk petugas United Airlines terhadap penumpangnya. Menurut orang yang menyebarkan video tersebut, sang laki-laki diturunkan paksa lantaran ia seorang keturunan Cina. Kontan, protes dari penumpang lain serta publik luas merebak di media massa.

Hal ini menambah rekam jejak buruk United Airlines. Sebelumnya, diketahui bahwa maskapai ini meraup keuntungan dengan mengenakan biaya untuk hal-hal yang semestinya dapat diakses penumpang secara cuma-cuma termasuk bagasi, hiburan, dan makanan. Demi mendapat pemasukan lebih, United Airlines juga dilaporkan mengurangi ruang untuk kaki dan ukuran kursi sehingga pesawat dapat memuat penumpang lebih banyak.

Tak lama sebelum kejadian pengusiran penumpang ini, United Airlines juga mendapat hujatan dari publik lantaran melarang penumpang perempuan memakai legging untuk naik ke pesawat.

Sejumlah kejadian yang menuntut kesigapan para karyawan tak bisa dipandang sebelah mata saja. Dengan banyaknya saksi atas kejadian-kejadian tersebut ditambah peran teknologi komunikasi yang memfasilitasi penyebaran berita, penting bagi tiap awak di berbagai industri untuk bersikap responsif dan berhati-hati dalam menghadapi krisis atau peristiwa tak terduga.

Jika penanganannya baik dan mengutamakan keselamatan penumpang, citra baik perusahaan pun akan melambung. Sebaliknya bila yang diprioritaskan hanya keuntungan melulu tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain, perusahaan mesti siap masuk ke dalam daftar hitam banyak pelanggan.

Baca juga artikel terkait PESAWAT atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani