tirto.id - Kawasan Petak Sembilan, Glodok, Taman Sari, Jakarta Barat, Kamis pagi (15/2/2018) tampak ramai meskipun hujan mengguyur daerah itu. Sepanjang pasar yang terletak di Jalan Kemenangan itu tersedia aneka keperluan Imlek, mulai aneka sayur dan daging, kue khas Imlek, hingga peralatan beribadah, seperti dupa dan lilin.
Salah satu pedagang bernama A Mien atau Mien Sioe (67) tampak duduk menunggu pelanggan. Ia memakai kaos polo berwarna hijau toska dan celana panjang hitam. Pria keturunan Tionghoa yang lama tinggal di Petojo Utara, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat itu terlihat jarang beranjak dari tempat duduknya. Ia mempersilakan para pembeli bebas mengambil barang yang dibutuhkan, kemudian baru membayar kepadanya.
“Mereka sudah menjadi pelanggan, saya percaya kok,” kata A Mien saat saya berkunjung ke kios miliknya, Kamis pagi.
A Mien memiliki pandangan sendiri soal Hari Raya Imlek. Bagi pria yang belum berkeluarga ini perayaan Imlek hanya sebatas seremonial. Ia mengaku, dirinya tidak merayakan tahun baru Cina tersebut secara khusus.
“Kalau Imlek dari saya, dari kecil sampai sekarang biasa saja. Itu, kan, seremonial. Udah enggak ada istimewanya, enggak ada,” kata A Mien saat ditanya soal perayaan Imlek tahun ini.
A Mien adalah anak terakhir dari 7 bersaudara. Pada Imlek yang jatuh pada 16 Februari 2018 ini, ia berencana akan menemui A Nien, kakak pertamanya yang tinggal di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK). Ia hanya ingin berkumpul dengan saudara tertuanya itu tanpa ada perayaan khusus.
“Ya biasa saja, ketemu saja silaturahmi,” kata A Mien.
A Mien mengaku cukup realistis memaknai kehidupan sehari-hari. Ia berhenti sekolah sejak SMP kelas 2 dan memilih untuk melanjutkan usaha jual-beli beras milik ayahnya yang sudah meninggal. Lalu, Ia pindah ke Tanjung Priok untuk berdagang beras di Pasar Bahari hingga kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998.
“Habis kerusuhan, saya mulai berpikir untuk pindah ke Petak Sembilan buat dagang lilin dan dupa,” kata A Mien mengenang masa lalunya.
Saat kerusuhan pada Mei 1998, A Mien selamat dan ia membeli ruko dua lantai di kawasan Petak Sembilan. Di daerah baru ini, A Mien tak lagi berjualan beras. Keberadaan Kelenteng Jin De Yuan atau dikenal juga dengan Wihara Dharma Bhakti membuat A Mien memilih berjualan aneka dupa, lilin dan alat ibadah lainnya.
Menurut A Mien, perayaan Imlek tergantung dengan kondisi ekonomi sang pemilik rumah, sehingga tidak ada kewajiban untuk membuat Hari Raya Imlek begitu meriah, seperti menyediakan makanan yang banyak ataupun menghias rumah dengan lampion.
“Kita merayakan Imlek atau enggak, ya tergantung ekonomi. Bapak ekonominya hebat, ya mungkin bisa meriah. Tapi kalau orang itu pas-pasan, bisa? Jangan mikirin kita besok hari raya. Buat besok makan saja pusing. Jadi ala kadarnya saja,” kata A Mien.
Mengenang Perjuangan Keluarga
Tak jauh dari rumah A Mien, Sari Djaya (55) sedang sibuk mengurus persiapan Hari Raya Imlek. Terlihat aneka makanan mulai dari Kue Mangkok, Baso Ikan Ekor Kuning, Sate Babi, 1 Ekor Ayam Goreng Kecap dan Gado-gado penganten tersaji bersama lilin dan dupa. Di depan mereka tampak foto 4 orang, dan 2 di antaranya adalah Bapak Oey Kiong Hun dan Ibu Yap Siu Giok.
“Itu adalah kedua orangtua saya, mereka yang punya rumah ini,” ucap Djaya.
Djaya mengatakan, jika Hari Raya Imlek para saudaranya akan berkumpul di rumah ini untuk beribadah bersama dan bersilaturahmi, karena sebagai bentuk penghormatan terhadap kedua orangtuanya yang sudah tiada.
"Bapak saya sudah meninggal tahun 1972, baru berumur 41 tahun karena merokoknya kuat,” kata Djaya.
Ia mengenang momen-momen setelah ayahnya meninggal. Saat itu, Sari Djaya harus membantu keuangan keluarga dengan turut membantu ibunya berjualan selepas pulang sekolah, karena ia adalah anak laki-laki tertua.
“Saya anak laki, lepas sekolah saya bantu jualan roti, es krim demi mama saya,” kenang Djaya.
Menurut Djaya, ibunya meninggal pada 2004, kemudian rumah peninggalannya ditempati oleh Cilianti (57), kakak perempuan Djaya bersama suami dan anak mereka. Walaupun orangtua telah tiada, Djaya masih sering berkunjung untuk mengingat tentang perjuangan mereka dahulu.
“Intinya sederhana saja, kami mengenang perjuangan dulu,” kata Djaya.
Saat malam Imlek, kata Djaya, dirinya beserta keluarga dan saudaranya akan mengunjungi Viraha Dharma Bakti untuk beribadah bersama umat Kong Hu Chu lainnya untuk meminta keselamatan dan keberkahan di tahun Anjing Tanah ini.
“Seperti biasa, setiap tahun sembahyang. Kalau hari ini umumnya jam 12 malam. Menyambut imleknya 12 malam. Kalau kemaleman, ya besok pagi [Jumat]” kata Djaya.
Menurut Djaya, usai beribadah pada Jumat (16/2/2018), ia dan keluarganya akan mengucapkan selamat Tahun Baru di hadapan kedua orangtuanya yang sudah meninggal, sembari berharap agar dirinya beserta keluarga besarnya bisa lebih bijaksana di tahun depan.
“Semoga kami lebih bijaksana. Bagi saya orang yang bijaksana udah pasti baik. Kalau dari kecil sudah bijaksaja, maka lebih mandiri. Itu harapan saya,” kata Djaya sambil tersenyum.
Warga lainnya yang sedang sibuk menyiapkan perayaan Imlek adalah A Chung (50). Ia tampak sibuk menutup toko plastiknya, Kamis sore. “Saya jam 5 [sore] bakal tutup soalnya mau persiapan Imlek besok [Jumat]" kata A Chung, Kamis (15/2/2018).
A Chung adalah ayah dari 2 orang anak. Salah satu yang dilakukan A Chung menyambut Hari Raya Imlek adalah membersihkan rumahnya. “Biar lebih bersih saja di tahun baru. Apalagi kan besok [Jumat] saudara mau ke sini," ucap A Chung.
Selain membersihkan rumah, A Chung juga telah mempersiapkan makanan khas Hari Raya Imlek, seperti kue keranjang, manisan buah dan kue lapis legit, serta lampion di depan rumah sebagai bentuk rasa syukur atas apa yang dia capai pada tahun ini.
“Sesekali kami beli banyak makanan kan Imlek 1 tahun sekali,” kata dia.
A Chung rela mempersiapkan Hari Raya Imlek dengan cukup meriah karena Hari Raya Imlek adalah hari yang diharapkan menjadi awal baru bagi kehidupan dan keluarganya. "Besok tahun baru, maka harus ada perubahan bagi kami,"ucapnya.
Menurut A Chung, dirinya memiliki dua harapan di tahun Anjing Tanah ini. Pertama, ia berharap agar dirinya diberi kesehatan dan juga kemudahan rejeki serta keselamatan bagi kedua buah hatinya. “Saya berdoa biar semuanya sehat biar dan anak saya jadi anak baik semua. Jangan sampai nakal dan enggak benar," ucap A Chung.
Kedua, kata A Chung, dirinya berharap kawasan Pasar Petak Sembilan direnovasi. A Chung berkata, selama ini tidak ada keseriusan dari pihak Pemprov DKI dalam merenovasi pasar yang berada dekat dengan Vihara Dharma Bakti ini.
“Saya minta pedagang dikasih tenda, kasihan kalau hujan mereka kebasahan,” kata A Chung.
Gwat Lie (60), tetangga A Chung yang berprofesi sebagai produsen kue keranjang, beda lagi. Ia mengaku tahun ini dirinya tidak sempat mempersiapkan rumahnya untuk menyambut hari raya Imlek, karena sedang sibuk membuat dan berjualan kue.
“Saya sibuk ngurus kue, jadinya yang sederhana saja,” kata dia saat ditanya soal persiapan perayaan Imlek, pada Kamis (15/2/2018).
Ibu 3 anak dan nenek 3 cucu ini bercerita, ia sudah lebih dari 20 tahun menjadi pedagang kue keranjang. Bagi dia, kue keranjang bukan sekedar kue, tetapi merupakan lambang tali persaudaraan yang terus terjaga.
“Kaya kue sama keranjangnya kan terus merekat mereka,” ucapnya.
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Abdul Aziz