Menuju konten utama

Cara Menghindari Riba dalam Islam, Hukum, & Macamnya, Fadhl-Qardh

Bagaimana cara menghindari riba? Apa hukum riba dalam agama Islam? Berikut penjelasan selengkapnya.

Cara Menghindari Riba dalam Islam, Hukum, & Macamnya, Fadhl-Qardh
Ilustrasi uang. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/wsj.

tirto.id - Jual beli dan riba merupakan hal berbeda dalam Islam. Jual beli merupakan bentuk transaksi muamalah yang dibenarkan secara syariat. Namun, ketika transaksi tersebut telah mengandung unsur riba, maka status transaksi menjadi haram.

Riba menurut bahasa berarti tambahan atau kelebihan (ziyadah). Secara istilah, pengertian riba merupakan kelebihan atau tambahan pembayaran dalam transaksi utang piutang atau jual beli, yang disyaratkan sebelumnya untuk salah satu dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Pihak yang mendapat riba akan membayar nilai transaksi lebih tinggi dari nilai asal yang seharusnya.

Hukum Riba dalam Islam

Islam secara tegas mengharamkan riba. Larangan ini secara jelas difirmankan Allah dalam Al Quran. Selain itu, larangan riba juga ditemukan dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)

“Dari Jabir radhiyallahu anhu, dia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melaknat orang - orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja.” (HR. Muttafaq Alaih).

Jenis riba dan cara menghindarinya

Mengutip buku Buku Fikih kelas IX (2020), ada beberapa bentuk riba yaitu:

1. Riba fadhl

Riba fadhl merupakan transaksi tukar - menukar barang (barter) dua barang yang sama jenisnya, tapi tidak memiliki ukuran sama seperti disyaratkan oleh orang yang menukarnya. Pokok permasalah riba ini ada di perbedaan atau kelebihan dalam takaran/ukuran. Mengenai riba fadhl, Nabi Muhammad bersabda:

“Dari Ubaidah bin As-Samit ra, Nabi saw. telah bersabda: emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaknya sama banyaknya, tunai dan timbang terima, maka apabila berlainan jenisnya, maka boleh kamu menjual sekehendakmu, asalkan dengan tunai.” (HR. Muslim).

Cara untuk menghindari terjadinya riba fadhl, maka transaksi barter hendaknya menerapkan syarat berikut:

a. Tukar menukar barang tersebut harus sama

b. Timbangan atau takarannya harus sama

c. Serah terima pada saat itu juga

2. Riba qardh

Riba qard terjadi saat seseorang meminjamkan sesuatu memberi syarat untuk diberikan keuntungan atau tambahan dari orang yang dihutangi. Riba ini tampak jelas terlihat dari proses utang piutang zaman sekarang. Saat seseorang memberi utang pada pihak lain, dia meminta tambahan pembayaran sewaktu utang dicicil atau dilunasi oleh pihak yang berhutang, baik dengan sebutan bunga (interest) atau sejenisnya.

Larangan riba qard disebutkan dalam sebuah hadits dari Nabi Muhammad. Riba ini bisa dihindari dengan memberikan utang, tapi tanpa syarat tambahan apa pun.

“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba”. (HR. Al Baihaqi)

3. Riba yad

Riba yad yakni riba yang muncul dalam jual beli atau barter karena ada penundaan serah terima pada kedua barang yang ditukarkan, atau terdapat penundaan penerimaan di salah satu barang. Riba ini muncul pada barang-barang yang berpotensi ribawi seperti emas, perak, dan bahan pangan, atau barang lain yang bukan ribawi. Penundaan berisiko memiliki perbedaan nilai jika penyerahannya dilakukan kemudian hari.

Emas, misalnya, harga hari ini dengan besok ada kemungkinan beda. Nilai emas berfluktuasi sehingga jika dilakukan transaksi tidak bisa ditunda penyerahannya di kemudian hari.

Dalam riba yad, cara menghindarinya dengan melakukan transaksi secara kontan dan diserahkan pada saat itu juga. Kendati demikian, mengutip laman NU, cara menghindari dapat pula dengan cara berikut:

a. Dilakukan penetapan harga barang untuk masing-masing pihak yang berakad

b. Setelah harga ditetapkan masing-masing, satu pihak membeli barang pihak lain sesuai standar harga yang ditetapkan

c. Saat sudah ada ketetapan harga, maka dapat dilakukan penundaan penyerahan barang salah satu yang hendak dipertukarkan masing-masing pihak karena ada nilai uang yang menjadi jembatan dalam transaksi keduanya.

d. Jika terjadi penundaan penyerahan barang, pada dasarnya salah satu pihak yang bertransaksi adalah sama dengan hutang uang dan bukan hutang komoditas.

e. Jika ternyata ada kenaikan harga dari barang setelah transaksi, maka akad kembali pada akad awal. Uang yang menjadi alat ukur nilai komoditas berubah menjadi uang yang dihutang.

4. Riba nasi'ah

Riba nasi'ah adalah tukar menukar dua barang sejenis atau tidak sejenis, atau jual beli, yang pembayarannya disyaratkan lebih tinggi oleh penjual dengan tempo waktu tertentu. Praktik riba ini terlihat pada jual beli kredit yang menyaratkan adanya tambahan pembayaran tertentu saat orang yang berhutang mencicilnya.

Larangan riba nasi'ah ditemukan dalam hadits Nabi Muhammad berikut:

“Dari Samurah bin Jundub Ra. sesungguhnya Nabi Saw. telah melarang jual beli binatang yang pembayarannya diakhirkan” (HR. Lima Ahli Hadits)

Cara menghindari riba ini, penjual dapat menetapkan dua harga pada barang yang dijualnya, yakni harga tunai dan harga tempo. Jika pembeli memilih harga tempo, maka cicilannya sesuai dengan nilai dari harga tempo tanpa disertai tambahan apa pun dan sifatnya tetap.

Baca juga artikel terkait AGAMA ISLAM atau tulisan lainnya dari Ilham Choirul Anwar

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Ilham Choirul Anwar
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Yulaika Ramadhani