tirto.id - Suatu waktu pada 1986, Guru Besar Ilmu Sastra Timur Universitas Peking Profesor Liang Liji sedang bermuhibah ke Paris, Perancis. Di sana ia bertemu dengan sesama penekun kesusastraan Timur, Claudine Salmon. Dalam kesempatan itu, Salmon yang ahli sastra Melayu-Tionghoa itu lantas menyodorkan novel berkepala Drama di Boven Digoel kepada Liji.
Penulisnya tak asing, salah satu titan sastra Melayu-Tionghoa di Indonesia, Kwee Tek Hoay. Berasal dari kurun 1930-an, novel itu mengambil Pemberontakan PKI pada November 1926 sebagai latar. Keterangan itu saja membuat Liji berpikir ini novel istimewa. Tema begini tak akan masuk khayalan para pengarang yang dianggap pembawa panji Sastra Indonesia dari Balai Pustaka.
“Sekali membaca saya sudah tidak bisa melepaskannya lagi, dan dengan kemaruk saya langsung melahapnya sampai halaman terakhir,” kata Liji dalam kata pengantarnya untuk Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia jilid 3 (2001, hlm. xxii) yang memuat karya Kwee Tek Hoay itu.
Padahal, Drama di Boven Digoel bukanlah novel tipis. Edisi aslinya saja terbit dalam empat jilid. Jilid pertama dan kedua lebih dulu terbit pada 1938. Baru pada 1941 jilid ketiga dan keempatnya menyusul. Mulanya novel ini terbit sebagai cerita bersambung di majalah Panorama yang dikemudikan juga oleh sang penulisnya.Mulai tayang sejak Desember 1928 hingga berakhir pada awal 1932.
Plot utama novel ini mengisahkan romantika Moestari dan Noerani. Konflik bergulir dari latar keluarga dua muda-mudi itu yang sangat kontras. Moestari dikisahkan sebagai asisten wedana berayah Bupati Soekaboewana. Sementara Noerani seorang guru Kartini School, sekolah khusus perempuan, dan berbapak aktivis PKI.
Satu keluarga hidup dari tegaknya tatanan kolonial dan keluarga lainnya bersiap menggoyang pilar kemapanan itu. Benar sekali, jika pembaca membayangkan sebuah hubungan yang pelik.
Boekarim, ayah Noerani tak setuju anak gadisnya dekat-dekat dengan “parasit” kepanjangan tangan kolonial. Sementara itu, Bupati Soekaboewana sudah mempersiapkan perjodohan untuk Moestari. Lalu masih ada pula Radeko, komunis muda nan cerdas dan keras hati, menyusup di antara mereka.
Hingga pecahlah pemberontakan PKI pada 12 November 1926 di Batavia. Boekarim ditangkap dan dibuang ke Digul. Noerani, betapa pun tak sepakatnya dengan jalan politik sang ayah, memilih menemani ayahnya yang sakit-sakitan itu ke tanah pengasingan.
Tersebab cintanya yang demikian besar kepada Noerani, Moestari nekat minggat dari keluarganya. Jabatan asisten wedana dilepasnya dan kemudian menyusul Noerani ke Digul. Lagi-lagi Moestari mesti bersaing dengan Radeko yang ternyata juga menyusul Noerani ke Tanah Merah. Di Digul itulah kisah ujian cinta dua pencinta itu bergulir.
Cari Sensasi dari Judul
Profesor Liji memuji karya ini setinggi langit. Ia bahkan menyebutnya sebagai adikarya yang lebih unggul daripada novel Salah Asuhan karya Abdul Muis. Secara tematik keduanya memang mirip, memotret masyarakat Indonesia yang sedang bergolak.
“Kedua novel tersebut—Drama di Boven Digoel dan Salah Asuhan—betul-betul berani menyentuh masalah hakiki dan kontradiksi pokok masyarakat jajahan pada kurun 1920-an, dan secara terbuka mengaspirasikan semangat ke-Indonesiaan,” tulis Liji (hlm. xxi).
Kenyataannya, Drama di Boven Digoel memang karya yang laris pada masanya. Selaris novelnya yang berkepala Boenga Roos dari Tjikembang (1927). Plotnya yang tak terlalu rumit berbumbu drama-drama cinta, juga suspense di sana-sini, dituturkan dengan bahasa yang lincah dan mudah diikuti. Itulah memang kelebihan Kwee Tek Hoay sebagai pengarang.
Akan tetapi, jangan membayangkan novel ini sebagai novel politik yang berkalang dukungan terhadap revolusi. Novel Kwee ini berurusan dengan pemberontakan anti-kolonial dan Digul dengan cara yang dangkal saja, hanya sebagai latar. Kwee sendiri tak menampik hal itu, bahkan sudah diterangkannya sejak awal.
“Ini titel ‘Drama di Boven Digoel’ kita telah gunaken sakedar buat timbulken sensatie, sebab kutika ini cerita dimuat dalem weekblad Panorama, pemberontakan dari kaum Communist boleh dibilang ‘masih anget’, dan Boven Digul banyak disebut, sebab itu kutika pengiriman orang-orang buangan communist ka sana sedeng ramenya,” terang Kwee dalam pengantar jilid pertama novelnya.
Kwee sendiri mengakui bahwa judul yang tepat untuk novelnya itu yang lebih tepat adalah “Salah Mengarti”. Konflik-konflik dalam novel ini memang banyak bermula dari salah pengertian di antara tokoh-tokohnya, bukan masalah perjuangan proletar atau urusan politik lain.
Sederhananya, Kwee hanya menuturkan kisah cinta konvensional yang “kebetulan” terjadi dalam momen sejarah sekitar pemberontakan PKI 1926. Ia sendiri bukan Digulis dan bahkan belum pernah ke sana. Detail faktual tentang Papua ia dapatkan dari ngobrol-ngobrol dengan orang Papua yang beredar di Batavia dan buku-buku perpustakaan.
Mendiskreditkan Komunisme
Kwee bukanlah seorang simpatisan komunis. Latar belakangnya sebagai anggota Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) dan penghayat Konghucu membentuknya menjadi seorang yang agak konservatif. Ia lebih suka keteraturan dan ketertiban daripada revolusi ala PKI.
Dalam novel ini, sejak awal kisah bergulir Kwee telah menunjukkan pandangan negatifnya atas komunisme. Itu misalnya gamblang melalui suara Moestari, ketika Noerani bercerita tentang ayahnya yang sangat membenci pemerintah kolonial.
“Kalu begitu rupa-rupanya ayahmu sudah katularan racun penyakit dari Moskou yang membikin beberapa bagian penduduk dari ini dunia jadi seperti kalap dan ilang pikirannya,” kata Moestari menanggapi Noerani.
Sikap Kwee yang demikian sinis kepada komunisme, menurut Leo Suryadinata, adalah bawaan dari penghayatannya atas Konghucu. Jika pun memilih berpolitik, sebagai pencinta keteraturan simpati Kwee lebih dekat kepada nasionalisme yang kala itu diwakili oleh PNI-nya Sukarno.
Dalam bunga rampai Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia (2010, hlm. 42) Leo menunjukkan alasan pragmatis dari simpati Kwee pada nasionalisme. Ia menyitir salah satu artikel Kwee yang terbit di majalah Panorama edisi 30 Januari 1930.
“Sebagai kaum saudagar kita orang lebih suka lihat keamanan di negeri ini jangan terganggu, apalagi oleh pertumpahan darah yang tak berguna, yang bakal merugikan semua pihak,” tulis Kwee memertelakan pendapatnya.
Kwee mungkin memang tak memaksudkan novelnya ini sebagai testimoni politik. Namun, novel ini jelas memetelakan di mana tempat Kwee berpijak. Menurut Elizabeth Chandra dalam “From Sensation to Oblivion: Boven Digoel in Sino-Malay Novels” yang terbit di jurnal Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde (2013, hlm. 256) novel ini adalah cara Kwee meringkaskan perbedaan antara komunisme dan nasionalisme sebagai “revolusi” versus “evolusi”.
“Komunis seperti Boekarim percaya bahwa 'mereka yang tak mau menciptakan revolusi dan berjuang, jangan harap bergerak maju'. Mereka yang menentang pandangan ini, seperti Moestari dan Tat Mo, percaya bahwa kemajuan evolusi menciptakan fondasi yang lebih kuat, karena 'kemajuan yang dipaksakan melalui revolusi kadang-kadang dapat merusak negara dan menghancurkan bangsa daripada mencapai tujuan',” tulis dosen Universitas Keio, Jepang itu.
Tokoh yang digambarkan sebagai wajah nasionalisme dalam Drama di Boven Digoel adalah Soebaidah. Ia dikisahkan sebagai sepupu Moestari dan kawan dekat Noerani. Ia adalah gadis terpelajar dan berjiwa bebas, menyebut dirinya sebagai "Indonesier" dan seorang pemimpin gerakan perempuan.
Meski begitu, pemikiran Soebaidah tak seprogresif profilnya. Alih-alih bercita-cita mengenyahkan kolonialisme, Soebaidah justru lebih menyukai kerja sama di antara bumiputra dan orang Belanda untuk memajukan Hindia. Ia punya aspirasi Indonesia akan memiliki pemerintahan sendiri tentu saja, tapi ia mengangankannya sebagaimana negara-negara persemakmuran Inggris dibentuk.
Meskipun terasa ambivalen dan pragmatis, tak dipungkiri bahwa Kwee adalah seorang nasionalis. Tokoh-tokoh protagonis dalam novelnya sudah bicara banyak tentang itu. Dan untuk menunjukkan keunggulan karakter nasionalis, ia mendiskreditkan orang-orang komunis dalam novelnya.
Petunjuk pertama tentang itu dilontarkan melalui mulut Tjoe Tat Mo, seorang Tionghoa yang dikisahkan sebagai mentor Noerani dan ayah dari kawannya yang bernama Dolores. Elizabeth menyebut bahwa karakter ini kemungkinan besar adalah Kwee sendiri. Melalui Tat Mo inilah Kwee melontarkan pandangan pribadinya tentang komunisme.
Mulanya Tat Mo menunjukkan dengan tegas, bahwa komunisme memiliki fondasi yang baik dan cita-cita luhur. Tetapi para komunis di Hindia menurutnya memakai cara-cara yang salah dalam memperjuangkannya. Mereka digambarkan sebagai penghasut dan mengeksploitasi keterbelakangan masyarakat Hindia. Padahal, pemahaman mereka sendiri terhadap pemikiran Karl Marx sangat rendah (hlm. 253).
Cara Kwee mendiskreditkan orang-orang komunis yang paling gamblang adalah dengan memposisikan mereka sebagai antagonis dengan segala keburukan karakternya. Contohnya adalah Radeko, komunis muda yang diinginkan Boekarim menjadi suami Noerani dan karena itu jadi saingan terberat Moestari.
Radeko digambarkan berkulit gelap “seperti orang Afrika”, berambut keriting kasar, bermata liar, dengan ekspresi wajah yang kejam dan suara kasar. Ia pintar dan jago orasi, tapi arogan dan obsesif. Sangat tipikal antagonis yang dengan mudah tak disukai pembaca. Radeko hanya memiliki dua misi dalam hidupnya: untuk membebaskan Indonesia, di mana ia akan menjadi 'Presiden Republik Soviet Indonesia', dan menikahi Noerani.
“Jika Boekarim berfungsi membuat komunisme tampak meragukan, Radeko membuatnya menjadi sesuatu yang asing,” tulis Elizabeth (hlm. 254).
Setelah pemberontakan PKI di Batavia gagal, Radeko kabur ke Kalimantan Timur. Tetapi ia lalu menyerahkan diri kepada pemerintah dan membuat dirinya diasingkan ke Digul demi menyusul Noerani. Puncak dari kisah ini adalah duel antara Moestari dan Radeko yang tentu saja sudah jelas dimenangkan oleh Moestari.
Kwee mengisahkan bahwa Radeko kemudian jadi orang kapiran. Ia diisolasi dan dirantai dalam kurungan, membuatnya depresi dan lalu bunuh diri. Mungkin, karena Kwee tak ingin orang menaruh simpati atas kematiannya yang tragis, Kwee lalu menggambarkan roh Radeko bergentanyangan. Bahkan, ia menghantui Noerani sampai bikin sakit keras dan kemudian meninggal.
Mungkinkah sosok Radeko menjadi salah satu inspirasi Orde Baru menciptakan “hantu” komunisme yang bertahan sampai sekarang? Wallahua’lam.
Editor: Windu Jusuf