tirto.id - November 2017. Dunia internasional digemparkan dengan kabar tewasnya Slobodan Praljak, mantan Jenderal Tentara Kroasia, beberapa jam usai Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia (ITCY) di Den Haag, Belanda. Pasalnya, ia tewas dengan cara bunuh diri: menenggak cairan racun sianida ketika pengadilan tengah berlangsung.
Sebelumnya, Praljak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan perang kepada orang-orang muslim Bosnia dalam Perang Kroasia-Bosnia (1992-1994) dan divonis 20 tahun penjara. Setelah bebas, ia sempat menjadi pebisnis di bidang teknik, film, serta teater.
Posisinya sebagai pejabat tinggi di Kementerian Pertahanan Kroasia pada masa itu membuat Praljak dipastikan terlibat dalam penyusunan strategi perang, termasuk merancang aksi pembantaian warga sipil Bosnia.
Pada musim panas 1993, tentara Kroasia pernah mengumpulkan warga muslim di daerah Prozor, Bosnia dan Herzegovina. Pembantaian lalu terjadi, dan Praljak dituduh gagal untuk mencegahnya meski sebenarnya diberi tahu tentang rencana aksi tersebut. Ia juga menyerang para anggota organisasi internasional dan menghancurkan situs bersejarah bernama Jembatan Tua (Old Bridge) serta sejumlah masjid.
Kasus Praljak bukan pertama yang terjadi selama persidangan di Den Haag. Jenderal perang asal Serbia, Milan Babic, misalnya, juga diketahui bunuh diri di dalam sel.
Bagaimana Sejarahnya?
Bagi penjahat perang seperti Praljak, tempat yang sesuai untuknya adalah Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court). Munculnya pengadilan ini tak bisa dilepaskan oleh berkembangnya konflik politik—Perang Dunia, revolusi, sampai Perang Sipil—di berbagai negara yang tak jarang menimbulkan banyak korban. Tujuan dari ICC jelas: mengadili mereka yang dianggap bersalah dalam konflik.
Sejarah mencatat, sebelum ICC lahir, sudah ada lebih dulu pengadilan serupa. Laura Barnett, dalam “The International Criminal Court: History and Role” (2008), menyebut jejak pengadilan pidana internasional muncul sejak abad ke-15. Namun, eksistensinya baru berdiri tegak empat abad kemudian—akhir abad 19.
Pada 1874, lahir Protokol Brussel yang menyusun aturan perilaku tentara di medan perang. Walaupun bentuk awalnya tak turut menjelaskan konsekuensi atau hukuman yang bisa diterima tentara bila melakukan kesalahan, protokol ini menjadi cetak biru munculnya hukum internasional pertama yang mengatur soal perang pada 1880.
Dorongan kuat untuk memberlakukan sanksi atas kejahatan perang muncul usai Perang Dunia II selesai. Penyebabnya: perilaku agresif Nazi Jerman dalam meluncurkan kampanye militer. Negara Sekutu ingin menghukum Nazi dengan seadil-adilnya. Maka, dari sini, berdirilah Pengadilan Militer Internasional yang berada di Nuremberg (Jerman) serta Tokyo (Jepang).
Pencapaian yang dibangga-banggakan Sekutu dari keberadaan pengadilan ini adalah: mereka mampu menghukum penjahat perang Nazi dan kelompok lainnya dengan hukuman penjara seumur hidup atau mati.
Meski demikian, pencapaian itu meninggalkan cacat dalam implementasinya. Pengadilan Nurmberg atau Tokyo dinilai tidak mematuhi etika hukum. Kelompok Sekutu menjatuhkan vonis tanpa bukti yang memadai. Semua dirancang sesuai kepentingan politik Sekutu—yang dipimpin AS. Pendeknya, keadilan yang ditawarkan Nurmberg dan Tokyo dipandang tak cukup representatif.
Tiga tahun selepas Perang Dunia II berakhir, PBB mengeluarkan Konvensi Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida, sebagai respons atas kebrutalan Nazi. Untuk pertama kalinya, genosida mendapatkan pengakuan secara internasional lewat payung regulasi. Kelahiran konvensi ini mendorong pula munculnya Konvensi Jenewa 1949 (perlindungan kepada sipil dalam perang) dan Komisi Hukum Internasional (ILC) di bawah naungan PBB.
Usaha untuk merumuskan undang-undang pidana internasional mencuat ke permukaan pada era 1950-an. Akan tetapi, langkah ini sempat terhenti karena hadirnya Perang Dingin. Barulah memasuki 1990-an, inisiatif tersebut dimunculkan kembali, dengan konflik di Yugoslavia serta Rwanda sebagai pemicunya.
Dalam “Understanding the International Criminal Court” (PDF) dijelaskan pada 17 Juli 1998, sekitar 120 negara memutuskan untuk mengadopsi undang-undang yang kelak disebut dengan “Statuta Roma”. Menurut undang-undang itu, setiap negara wajib menggunakan yurisdiksinya untuk mengukum para pelaku kejahatan internasional. Aturan ini lantas menjadi pedoman lahirnya Pengadilan Pidana Internasional (ICC) dan mulai aktif empat tahun berselang (1998).
Misi utama ICC adalah mengakhiri impunitas (kekebalan) yang melekat pada para penjahat perang. Berbeda dengan Mahkamah Internasional PBB yang menangani sengketa antar negara, fokus ICC yakni individu. Dalam menjalankan tugasnya, ICC bisa melakukan intervensi terhadap suatu negara bila negara bersangkutan tidak punya kemauan untuk mengusut maupun mengadili penjahat perang yang ada.
Catatan Council on Foreign Relations mengatakan, ICC memiliki yurisdiksi atas empat kategori kejahatan—berdasarkan hukum internasional. Keempatnya antara lain: genosida (pembantaian besar-besaran), kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan agresi militer.
Penyelidikan bisa berjalan setelah jaksa penuntut sudah melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap kasus yang ada. Setelah penyelidikan dibuka, barulah masuk ke tahap pengumpulan bukti-bukti.
Jika ICC ingin memanggil maupun menangkap pelaku ke dalam persidangan, maka diperlukan surat dari pengadilan. Ada pun hukuman dan vonis dijatuhkan selama mendapatkan minimal tiga suara dari hakim sidang.
Sejauh ini, ada total 122 negara yang berada di bawah naungan Statuta Roma. Indonesia, apa boleh bikin, tidak termasuk di dalamnya.
Tak Lepas dari Kritik
Sejak aktif bekerja 17 tahun silam, ICC telah berandil dalam diadilinya para pelaku kejahatan HAM internasional.
Pada 2006, misalnya, ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan kepada Thomas Lubanga Dyilo, pendiri sekaligus pemimpin Uni Patriot Kongo. Lubanga dianggap melakukan kejahatan perang dengan merekrut anak-anak di bawah umur selama Perang Kongo II (1998-2003). Hakim menjatuhkan vonis 14 tahun penjara dan reparasi (ganti rugi) terhadap korban perang di Kongo.
Selain Lubanga, ICC juga pernah menyeret Omar Hassan Ahmad Al Bashir, mantan Presiden Sudan, ke dalam dakwaannya. Omar dinilai telah melakukan kejahatan kemanusiaan dan genosida selama Perang Sipil Sudan II (1983-2005). Surat penangkapannya dikeluarkan pada Maret 2009 dan Juli 2010.
Nama besar lain yang berurusan dengan ICC adalah Muammar Gaddafi, diktator asal Libya. Pada 2011, ICC mengeluarkan surat penangkapan untuknya karena dinilai telah melakukan kejahatan HAM saat Arab Spring meletus. Namun, pengadilan Gaddafi tak pernah terjadi setelah dirinya keburu tewas dalam pertempuran di Sirte (Battle of Sirte).
Uhuru Kenyatta, politikus Kenya, sempat pula masuk daftar penyelidikan ICC. Ia dinilai bertanggung jawab atas tewasnya ribuan warga sipil selama masa pemilihan presiden yang sarat akan ketegangan etnis. Meski demikian, ICC membatalkan dakwaannya pada 2014 sebab tidak memperoleh dukungan dari pemerintah Kenya.
Kritik tak lepas dari kiprah ICC dalam mengusut para pelaku kejahatan HAM. ICC, misalnya, dipandang tak punya otoritas yang kuat untuk menghukum pelaku sehingga membuat kerja-kerja mereka tidak efektif dan efisien.
Sedangkan yang lain beranggapan bahwa ICC kelewat banyak menjatuhkan tuntutan, mengancam kedaulatan negara, serta tak jarang bias politik. Ada pula yang menyebut hakim-hakim ICC tak cukup kredibel dalam mengusut kasus sampai tuntas.
Di lain sisi, banyak dari negara-negara di Afrika yang memandang ICC bekerja secara tidak proporsional: hanya berfokus pada kasus-kasus di Afrika. Anggapan ini muncul dari total puluhan kasus yang diusut, sebagian besar berasal dari Afrika. Pada 2013, Kenyatta bahkan meminta anggota Uni Afrika untuk menarik dukungannya terhadap ICC. Empat tahun kemudian, gema penolakan itu kian kuat.
Kerja ICC makin terjepit melihat fakta bahwa negara-negara poros utama seperti Amerika, Cina, dan Rusia tak memberikan dukungan dengan penuh. Khusus AS, ICC punya relasi yang bisa dikata naik-turun.
Saat pemerintahan Bill Clinton, ambil contoh, AS mendukung konsep pengadilan pidana internasional serta turut ambil bagian dalam penyusunan Statuta Roma. Namun, dukungan itu tak dilanjuti secara serius oleh Clinton sebab ICC dinilai bisa mempolitisasi kebijakannya sehingga berefek pada keberadaan tentara AS di medan perang seperti Timur Tengah.
Sikap serupa tetap dipertahankan sampai Trump berkuasa. Pada September 2018, Penasihat Keamanan Nasional, John Bolton, mengumumkan bahwa Washington tidak akan bekerja sama dengan ICC dan memblokir seluruh upaya penyelidikan terhadap warga AS maupun Israel dalam konflik militer maupun politik yang ada. Ancaman kembali dipertegas setelah Menteri Luar Negeri, Mike Pompeo, mengeluarkan pernyataan bakal mencabut visa staf ICC yang menyelidiki kasus-kasus yang melibatkan AS—terutama di Afghanistan.
Pelanggaran HAM internasional meninggalkan trauma yang berat. Dan upaya untuk mengusutnya tak kalah memberatkan.
Editor: Eddward S Kennedy