Menuju konten utama

Cara Keras Singapura Menghadapi Kepulan Asap Indonesia

Singapura akan menyeret perusahaan-perusahaan pembakar hutan di Indonesia ke pengadilan dengan menggunakan Haze Law atau Undang-undang Polusi Asap Lintas Batas. Pemerintah Indonesia pun menentang keras.

Cara Keras Singapura Menghadapi Kepulan Asap Indonesia
Helikopter jenis Sikorsky dari badan nasional penanggulangan bencana nasional melakukan pengeboman air untuk memadamkan kebakaran di konsesi perusahaan hutan tanaman industri yang berbatasan dengan cagar biosfer Giam Siak kecil-bukit batu di kabupaten Bengkalis, Riau. .Antara foto/FB Anggoro

tirto.id - Suatu hari di pertengahan September 2015, Singapura tampak mendung seharian. Langitnya tertutup kabut, padahal daratan tertinggi negara itu hanya 164 meter di atas permukaan laut.

Kabut yang menyelimuti Singapura berbeda dengan kabut sejuk yang ada di puncak pegunungan. Kabut Singapura adalah kabut asap. Ia berasal dari hutan yang sengaja dibakar sejumlah perusahaan di daratan Sumatera dan Kalimantan, Indonesia.

Sialnya, kiriman kabut asap itu tak hanya membuat Singapura tampak mendung dalam sehari, tetapi lebih dari satu bulan dan terjadi setiap tahun. Di tahun 2015 itu, indeks standar polusi (PSI) menyentuh angka 341. Padahal, PSI 101 saja sudah masuk kategori tidak sehat yang membuat orang-orang dengan penyakit jantung tak boleh berlama-lama di luar ruangan. Kabut asap tahun lalu adalah yang terparah sejak 1997.

Memasuki awal 2016, asap sempat mereda. Namun, memasuki Agustus 2016, kebakaran kembali terjadi dan asap pun memasuki Singapura. Pada Jumat (26/8), PSI sempat mencapai 251 pada pukul 2 dini hari sebelum akhirnya mereda ke 127 pada pukul 6 dini hari. Badan Lingkungan Nasional Singapura mengategorikan 200 sebagai "sangat tidak sehat" dan pemerintah menganjurkan masyarakat untuk mengurangi aktiviitas di luar ruangan.

Bagi Singapura dan Malaysia, keberadaan kabut asap dengan angka PSI di atas 300 jelas sangat mengganggu. Sekolah-sekolah terpaksa diliburkan. Restoran-restoran cepat saji menghentikan layanan antar demi keselamatan para kurir. Laju kereta cepat pun harus melambat, demi keselamatan. Aktivitas bandar udara dan pelabuhan juga ikut terganggu. Total kerugian akibat kabut asap di tahun itu diprediksi mencapai 700 juta dolar Singapura atau sekitar Rp6,9 triliun.

Menghadapi semua kesialan ini, negeri mana yang tak berang? Siapa yang makan nangka, siapa pula yang kena getahnya. Tak puas dengan kerja pemerintah Indonesia yang dianggap kurang tegas pada perusahaan pembakar hutan, Singapura berupaya ikut turun tangan menangani para pembakar lahan ini.

Pada 7 Juni lalu, Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura Masagos Zulkifli mengatakan pihaknya tengah bersiap untuk menggugat perusahaan-perusahaan Indonesia yang terbukti melakukan pembakaran hutan.

Di bawah Undang-undang Polusi Asap Lintas Batas (Transboundary Haze Pollution Act/THPA) tahun 2014, Singapura telah meminta informasi dari enam pemasok bagi Asia Pulp and Paper Group. Informasi yang diminta terkait dengan langkah-langkah yang mereka ambil untuk mencegah kebakaran di lahan mereka.

Keenam perusahaan juga diberi tahu bahwa Singapura berhak menyeret direktur mereka ke pengadilan. Perusahaan-perusahaan itu terancam hukuman denda 100.000 dolar singapura per hari untuk setiap kasus kebakaran.

Tindakan yang dilakukan Singapura ini lanngsung mendapat respons negatif dari Indonesia. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menilai apa yang dilakukan Pemerintah Singapura tidak menghormati kewenangan Indonesia. Menurut Siti, THPA yang digunakan Singapura sebagai dasar masih mengandung kontroversi dan akan terus dibahas. THPA adalah aturan yang menjadi kesepakatan sejumlah negara ASEAN. Ia memungkinkan suatu negara mengadili perusahaan lokal dan asing yang terlibat dalam pembakaran hutan dan menyebabkan polusi udara di negara itu.

Sebelum Singapura mengeluarkan THPA, ada yang namanya ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, yakni sebuah kesepakatan negara-negara ASEAN untuk mengurangi polusi asap. Kesepakatan ini telah digagas sejak 2002. Akan tetapi, Indonesia—sebagai negara pengirim asap—baru bergabung pada 2014 dan menjadi negara ASEAN terakhir yang menandatangani kesepakatan.

Siti menegaskan, tindakan Singapura tidak sesuai dengan perjanjian. Ia memastikan bahwa kesepakatan hanya sebatas tukar-menukar data titik api dan pengetahuan teknis, belum menyentuh ranah hukum. Namun, pada September 2014, Singapura mengundangkan THPA. Lantas, apa salahnya?

Eksekusi Regulasi Tak Maksimal

Indonesia memang telah memiliki sejumlah regulasi yang jika dijalankan dengan optimal tentu akan mengurangi polusi asap akibat pembakaran hutan. Kantor Hukum Hanafiah Ponggawa dan Partner (HPRP Lawyer) menyebutkan ada beberapa undang-undang di Indonesia yang menyinggung pembakaran hutan. Salah satunya adalah Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan.

Dalam Pasal 50 ayat 3 undang-undang itu, dengan jelas dikatakan bahwa setiap orang dilarang membakar hutan. Di Pasal 78, disebutkan bahwa mereka yang melanggar Pasal 50 diancam dengan hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda maksimal Rp1,5 miliar.

Regulasi lain yang menyinggung tentang pembakaran hutan adalah Undang-undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ligkungan Hidup. Dalam Pasal 69 ayat 1 termaktub larangan melakukan tindakan yang menyebabkan polusi pada lingkungan. Salah satu contoh tindakan yang dimaksud dalam pasal itu adalah membuka lahan dengan membakar hutan.

HPRP Lawyer menilai jika dijalankan dengan maksimal, aturan ini cukup untuk menghadang para pembakar hutan di Indonesia. “Namun kenyataannya, pelaksanaan hukum di Indonesia belum maksimal,” tulis kantor hukum itu di laman resminya.

Tak bisa dipungkiri bahwa Negara memberi celah dan legalisasi bagi pembakaran hutan. Dalam Pasal 69 ayat 2 undang-undang yang sama, dikatakan bahwa membuka lahan degan cara membakar diperbolehkan dengan memperhatikan kearifan lokal daerah masing-masing.

Kearifan lokal yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah melakukan pembakaran dengan luas maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami varietas lokal. Lahan juga harus dikelilingi sekat bakar untuk mencegah penjalaran api. Sebelum melakukan pembakaran pun harus mendapat izin kepala desa dan dilakukan bergantian, tidak bersamaan dengan warga lainnya. Jadi jelas, pembakaran oleh perusahaan tidak diizinkan.

Adanya Haze Law yang dikeluarkan negara tetangga, seharusnya bukan dianggap sebagai persoalan besar. Undang-undang ini justru memungkinkan terjadinya kerja sama antar kedua negara untuk melakukan investigasi dan menindak para pembakar hutan—jika Indonesia memang benar-benar mau menindak. Tak hanya perusahaan-perusahaan Indonesia, tetapi juga perusahaan milik Singapura yang beroperasi di Indonesia.

Baca juga artikel terkait KABUT ASAP atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Hukum
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti