tirto.id - Fakta bahwa moda transportasi berbahan bakar fosil menyumbang faktor pemanasan global membuat standar emisi kendaraan bermotor tak terelakkan. Gas sisa pembakaran mesin yang keluar lewat pipa-pipa knalpot kendaraan memancarkan kosida nitrogen, karbon monoksida, dan sederet polutan lainnya. Selain pemanasan global, penggunaan bahan bakar fosil pun membahayakan kesehatan, khususnya organ pernapasan.
Data dari United States Environmental Protection Agency (EPA) 2015 menyebutkan bahwa sektor transportasi mulai dari mobil, truk, kereta api dan pesawat menyumbangkan 27 persen polusi udara yang berdampak langsung pada emisi gas rumah kaca di Amerika Serikat. Lebih dari 90 persen mesin transportasi membutuhkan bahan bakar fosil.
Uni Eropa menaruh perhatian yang lebih besar terhadap masalah emisi kendaraan bermotor. Sejak awal 1990 Uni Eropa mengeluarkan peraturan guna memperkecil kadar pencemaran kendaraan bermotor, maka diluncurkanlah standar Euro 1 yang mewajibkan mobil berbahan bakar bensin menggunakan katalis. Seiring waktu, standar emisi ini terus diperketat sehingga muncul standar EURO 2 (1996), Euro 3 (2000), Euro 4 (2005), Euro 5 (2009), dan terbaru Euro 6 (2014).
Baru-baru ini perusahaan otomotif multinasional asal Jerman, Daimler AG diguncang skandal uji emisi. Kabar ini bermula dari surat kabar Jerman, Bild am Sonntag yang pada Minggu (18/2) lalu merilis dokumen rahasia investigator AS yang menyebutkan bahwa mobil-mobil produksi Daimler, termasuk Mercedes-Benz sengaja dilengkapi perangkat lunak tertentu agar lolos uji emisi. Perangkat lunak ini berfungsi mengurangi cairan bernama AdBlue yang dirancang untuk menghilangkan kadar gas buang yang berbahaya.
Joerg Howe selaku juru bicara Daimler menolak mengomentari isi dokumen tersebut. "Pihak berwenang mengetahui dokumen dan tidak ada keluhan yang diajukan," ujar Howe. "Dokumen yang tersedia untuk Bild telah dirilis secara selektif untuk merugikan Daimler dan 290.000 karyawannya."
Skandal emisi ini bukan hal baru. Pada 2013, penyelidikan EPA untuk mobil keluaran Volkswagen (VW) yang beredar di Amerika Serikat menemukan ketidakcocokan antara perangkat penekan emisi gas buang di lab penguji dengan alat dalam kendaraan yang sudah dilepas ke pasar.
Dua tahun kemudian, VW mengakui telah menggunakan perangkat lunak canggih untuk mengelabui alat uji emisi. Perangkat lunak itu mampu memonitor kemudi, penggunaan mesin dan tekanan barometer guna menentukan apakah mobil tengah diuji emisi atau tidak. Skandal emisi ini berdampak pada lima juta unit mobil VW, termasuk 1,2 juta mobil di Inggris.
Skandal emisi VW ini akhirnya mendorong penyelidikan majalah Jerman Der Spiegel atas permainan sejenis di industri otomotif yang telah dipraktikkan selama lebih dari 20 tahun terakhir. Penyelidikan yang dimulai pada pertengahan 2017 ini menyeret lima perusahaan otomotif papan atas, yaitu Daimler, BMW, Volkswagen dan dua anak perusahaan VW, Porsche, dan Audi.
Dikutip dari The Telegraph, kelima produsen tersebut sepakat untuk membatasi kapasitas cairan pembersih kimia yang mereka pasang di mesin mobil. Tujuannya, untuk menghemat biaya operasional dan ruang komponen. Cairan AdBlue menjadi titik permainan, seperti yang ditulis dalam laporan terbaru Bild am Sonntag tentang Daimler.
AdBlue yang berfungsi menyaring beberapa unsur kimia paling berbahaya dari mesin diesel dikurangi kapasitasnya. Pada 2006, kelima produsen mobil tersebut untuk membatasi isi tangki AdBlue menjadi hanya delapan liter saja. Akibatnya, cairan tersebut hanya efektif membersihkan emisi kurang dari 6.000 kilometer. Sebelum dikurangi, jumlah cairan AdBlue mencapai 35 liter dan mampu membersihkan emisi hingga 30.000 kilometer.
VW, Daimler dan BMW menolak mengomentari investigasi DerSpiegel.
Pada Januari lalu, industri otomotif Jerman juga dikagetkan oleh laporan The New York Times tentang penggunaan 10 ekor kera sebagai kelinci percobaan dalam uji coba emisi mesin diesel terhadap dampak kesehatan. Tiga perusahaan otomotif—Daimler, VW, dan BMW—disebut-sebut telah membiayai riset yang dilakukan European Research Group of Environment and Health in the Transport Sector (EUGT)untuk melakukan uji coba emisi itu.
Percobaan ini sebenarnya sudah dilakukan pada 2014. Kera-kera itu pun diambil sampel jaringan paru-parunya guna memeriksa peradangan akibat gas emisi mesin diesel kendaraan. Meski tidak sampai membunuh, tapi belum jelas apa yang terjadi pada sepuluh ekor monyet tersebut.
Teknik uji coba ini kemudian menuai kecaman dari kelompok pecinta hewan. Mereka menulis surat kepada VW yang isinya memprotes perlakuan kejam terhadap kera jenis cynomolgus tersebut.
Produksi kendaraan berbasis mesin diesel memang masih diminati di pasar otomotif Eropa. Sementara itu, masalah emisi dari mesin diesel ini menjadi tantangan bagi para produsen untuk meminimalisir ekses negatif yang bisa mencemari paru-paru.
Perusahaan otomotif AS juga punya cara berbeda untuk mengelabui regulasi standar emisi. Fitzgerald, sebuah perusahaan otomotif yang memproduksi truk-truk besar di negara bagian Tennessee, memanfaatkan mesin tua untuk dipoles ulang dan digabungkan dengan badan truk baru.
Mesin diesel yang sejatinya tua ini jelas berdampak langsung pada lebih murahnya harga truk dibanding mesin truk baru nan modern. Namun, mesin tersebut memuntahkan 40 sampai 55 kali lipat polutan dibanding truk sejenis dengan mesin baru.
Menurut laporan The New York Timespada Kamis (15/3) lalu, celah hukum ini sebetulnya sudah berusaha ditutup pada era pemerintahan Barack Obama. Namun, sejak era kampanye Donald Trump, celah ini justru tengah diperjuangkan untuk tetap eksis. Terlebih lagi, Fitzgerald adalah perusahaan yang mendukung penuh kampanye Donald Trump—salah satunya dengan menjual topi baseball bertuliskan “Make Trucks Great Again”di gerai-gerai mereka.
Keluarga Fitzgerald punya pengaruh di Partai Republikan. Mereka dekat dengan Diane Black, seorang Republikan yang menjadi kandidat gubernur Tennessee, serta berkongsi dengan Tennessee Technological Universityuntuk menghasilkan penelitian menguntungkan bisnis keluarga Fitzgerald.
Di Indonesia, penerapan standar emisi mengacu pada standar Euro. Sayangnya, pembaharuan standar emisi Euro sering terlambat. Dilansir dari situs Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), pada akhir Maret 2017 pemerintah Indonesia baru secara resmi mengesahkan penerapan standar emisi Euro 4 lewat Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P. 20/ MENLHK/ SETJEN/ KUM. 1/3/ 2017. Rencananya, peraturan tersebut mulai berlaku pada 2018.
Sebelumnya, Indonesia masih mengacu pada standar Euro 2 yang peraturannya dirilis sejak 2003. Namun yang perlu digarisbawahi, penerapan standar Euro berbanding lurus dengan tingkat kualitas BBM yang dikonsumsi kendaraan bermotor.
Standar Euro 4 mengharuskan kendaraan bermotor non-diesel menenggak bensin dengan kadar oktan di atas RON 92. Jika standar emisi Euro 4 benar-benar dipatuhi tahun ini, produk BBM milik Pertamina seperti Premium (RON 88), Pertalite (RON 90) hingga Pertamax (RON 92) jelas masih belum mampu mengejar standar emisi. Minimal kendaraan harus menenggak bahan bakar Pertamax Plus (RON 95).
Sedangkan kendaraan bermesin diesel dengan standar Euro 4 minimal harus mengkonsumsi bahan bakar solar dengan kandungan sulfur maksimal 350 ppm. Standar ini mewajibkan mesin diesel menenggak produk Pertamina Dex yang punya kandungan sulfur di bawah 300 ppm, atau produk lainnya yang memenuhi standar tersebut.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, jumlah total kendaraan bermotor Indonesia mencapai 129.281.079 unit, terdiri dari mobil penumpang sebanyak 14.580.666 unit, mobil bus 2.486.898 unit, mobil barang 7.063.433 unit, dan yang terbanyak adalah sepeda motor 105.150.082 unit. Semua ini menghasilkan polutan di jalan dan perlu perbaikan dalam hal emisi.
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf