Menuju konten utama

Cara Belanda Peralat Tionghoa sebagai Kepanjangan Tangan Kolonial

Hubungan kaum peranakan Tionghoa dan Belanda tak selamanya harmonis. Pernah jadi korban genosida dan dimanfaatkan Belanda untuk memungut pajak.

Cara Belanda Peralat Tionghoa sebagai Kepanjangan Tangan Kolonial
Ilustrasi tentara VOC dan Tionghoa. tirto.id/Fuad

tirto.id - Pengalaman masa kecil Yap Thiam Hien mungkin sulit ditanggung anak lain seusianya. Sepuluh tahun pertama usia putra peranakan asal Aceh itu ditandai serangkaian peristiwa-peristiwa nelangsa yang datang silih berganti.

Thiam Hien kecil sejatinya lahir dari keluarga kaya-raya. Kakek buyutnya, Yap A Sin, adalah pejabat berpangkat letnan yang menikahi putri seorang kapitein asal Koetaradja. Setelah menetap di Peunayong, A Sin pun membangun jejaring bisnisnya di sana. Kejayaan keluarga A Sin masih berlangsung sampai Thiam Hien lahir pada 25 Mei 1913.

Menurut Daniel Saul Lev—sahabat sekaligus penulis biografi Yap Thiam Hien, harta keluarga A Sin bersumber dari berbagai bidang usaha, baik yang dirintis mandiri maupun yang berdiri atas izin monopoli dari pemerintah kolonial. A Sin sendiri mengonsentrasikan bisnisnya pada monopoli opium, di samping usaha perkebunan kelapa dan pengelolaan kolam ikan.

Kejayaan keluarga itu sayangnya tak dinikmati Thiam Hien untuk waktu lama. Di akhir dasawarsa 1910-an, A Sin pelan-pelan jatuh miskin. Pangkalnya, Pemerintah Hindia Belanda mencabut hak monopoli perdagangan opium yang sebelumnya diberikan pada kaum peranakan. Karenanya, bisnis A Sin pun merugi.

Sudah jatuh tertimpa tangga, perusahaan A Sin bangkrut total saat bank-bank tempatnya meminjam modal menagih utang tanpa tempo. Pilihan terakhir yang dimiliki A Sin adalah melego rumah besar yang dulu dibangunnya susah payah. Thiam Hien kecil, yang masih tinggal serumah dengan kakeknya pun terpaksa ikut pindah ke kediaman keluarga ibunya.

Kebangkrutan usaha dagang opium Yap A Sin adalah segelintir kecil dari cerita pasang-surut hubungan kaum peranakan Tionghoa dan penguasa kolonial. Relasi tiga setengah abad itu memang tidak dapat dikatakan buruk, tapi juga bukan kerja sama yang menguntungkan.

Peran Souw Beng Kong

Tiga ratus tahun sebelum musibah menimpa perusahaan keluarga Yap A Sin, kaum peranakan Tionghoa justru disambut dengan tangan terbuka sebagai mitra dagang orang-orang Belanda.

Setelah VOC berhasil membumihanguskan Jayakarta pada Mei 1619, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen membangun kota baru Batavia di atas puing-puingnya. Coen mengangankan Batavia menjadi kota bandar dan pusat perdagangan. Namun, Batavia butuh perbaikan terlebih dulu sebelum impian itu tercapai.

Coen jelas membutuhkan banyak pekerja pertukangan untuk membangun Batavia dan waktu itu, hanya orang-orang Tionghoa yang bersedia dikerahkan. Karena itulah Coen menyambut hangat mereka sebagai mitra.

“Orang Jawa tidak dipercaya, maka kaum Cina dapat memenuhi kebutuhan itu. Pengerahan tenaga itu dipergiat lagi karena aliran kolonis Belanda sebagai vrijburger (warga bebas) sangat kecil,” ungkap Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium sampai Imperium (1992, hlm. 220).

Politik “pintu terbuka” yang dijalankan VOC ini mulai menampakkan hasil ketika pedagang Tionghoa mulai mengalir masuk dan memutuskan bermukim di Batavia. Menurut catatan J. Th. Vermeulen dalam De Chinezen te Batavia en de Troebelen (1938, hlm. 11), pada 7 Oktober 1619, antara 300-400 orang Tionghoa masuk ke Batavia. Lalu, berlanjut ke gelombang dua pada 31 Juli 1620, sebanyak 800 orang dan gelombang ketiga pada 26 Oktober 1620 sejumlah 850—900 orang.

Gelombang pertama orang-orang Tionghoa berasal dari Banten dan dipimpin Souw Beng Kong, pedagang terkaya di antara mereka. Beng Kong pun lantas ditunjuk VOC menjadi kapitein der Chinezen—pejabat setingkat camat yang khusus memimpin kaum peranakan Tionghoa.

“Beng Kong adalah pimpinan komunitas Tionghoa di Jakarta. Dia memiliki kedudukan sejajar dengan kapitein lain seperti dari suku Bugis, Bali, Makassar, India, Mardijkers, dan kelompok etnis lain yang mengembangkan kota Batavia,” tulis Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta (2007).

Heuken juga mencatat Beng Kong menjadi pencetak uang tembaga, saudagar kapal, kontraktor, pedagang, serta pemegang lisensi resmi penyelenggaraan judi di Batavia. Dia juga dekat dengan Gubernur Jenderal Coen sehingga dipercaya sebagai diplomat andalan untuk bernegosiasi dengan Banten dan Inggris. Karena itulah, Beng Kong punya peran vital dalam sejarah awal perkembangan Batavia.

“Kalau Beng Kong dan 400 orang Tionghoa tidak pindah, bisa dipastikan ekonomi Batavia tidak berkembang,” ujar aktivis Paguyuban Kota Jakarta Tian Li Tang dalam “Kapitein Souw Beng Kong, Perintis Batavia yang Terlupakan” yang terbit di harian Kompas (29 Maret 2006).

Geger Pecinan 1740

Hubungan VOC dan komunitas Tionghoa berjalan mulus dan saling memuaskan selama seabad pertama Batavia berdiri. Lesunya perdagangan di Banten, adanya pergolakan di Cina Selatan, dan sambutan dari VOC menjadi faktor yang menjadikan Batavia sebagai kota perantauan yang menjanjikan sejak paruh kedua abad ke-17.

Gelombang demi gelombang migrasi orang-orang Tionghoa berdatangan, kadang dalam jumlah raksasa. Mereka diangkut dengan kapal yang bisa muat ratusan sampai ribuan penumpang. Tak hanya peranakan, orang Tionghoa totok atau Hoakiau yang berangkat langsung dari negeri Tiongkok pun ikut membanjir ke Batavia.

Migrasi yang tak terkendali itu berdampak negatif pula pada akhirnya. Pasalnya, di antara imigran-imigran itu terselip pula orang-orang oportunis yang minim keterampilan, tidak bermodal, dan juga para kriminal. Seiring lapangan kerja yang makin berkurang, keberadaan mereka lantas menimbulkan resah-rusuh di Batavia.

Menghadapi masalah itu, VOC ambil solusi cepat dengan melakukan berbagai pembatasan. Sejak 1690, setiap jung besar—kapal layar tradisional yang lazim di Asia Tenggara—yang ingin masuk ke pelabuhan Batavia hanya diperbolehkan membawa maksimal 100 orang dan dikenakan bayaran 1.000 ringgit. Sementara itu, jung kecil hanya boleh membawa 80 orang dan dikenakan bayaran 500 ringgit.

Tak hanya bagi pendatang, VOC juga membuat aturan pembatasan serupa bagi pemukim peranakan Tionghoa di Batavia.

“Pada tahun 1727 dibuat peraturan yang menentukan bahwa semua Cina yang telah tinggal 10 sampai 12 tahun di Batavia dan belum memiliki surat izin akan dikembalikan ke negeri Cina,” catat Sartono (hlm. 222).

Sayangnya, segalabesluit itu tetap tidak bisa membendung kedatangan Hoakiau ke Batavia. Karenanya, anggota Dewan Hindia (semacam parlemen dalam VOC) Gustaav Willem Baron van Imhoff mengusulkan agar Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier (1737-1741) segera mengambil langkah yang lebih ekstrem. Salah satu usul Baron van Imhoff adalah memindahkan kaum imigran ke Srilanka.

Cara lain, mengenakan pungutan-pungutan yang membebani para Hoakiau. Dengan cara ini, diharapkan orang-orang Tionghoa yang memadati kota akan berangsur pindah.

“Kaum birokrat Belanda yang malas dan rakus memanfaatkan langkah Valckenier ini untuk memperkaya diri dengan memeras para imigran lewat biaya siluman lainnya,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Hoakiau di Indonesia (Garba Budaya, 1998).

Beratnya kondisi ekonomi dan sosial ini memunculkan syak wasangka yang dengan cepat merebak di masing-masing kubu. VOC, berdasarkan bukti yang dimilikinya, meyakini orang-orang Tionghoa sedang menyiapkan pemberontakan. Sementara itu, komunitas Tionghoa termakan desas-desus yang menyebutkan orang-orang yang dibawa ke Srilanka bakal dibuang ke laut sesudah kapal angkat sauh.

Puncaknya, pada awal Oktober 1740, kerusuhan yang melibatkan orang-orang Tionghoa pecah di kantor-kantor VOC. Pada 9 Oktober, VOC mengerahkan pasukannya untuk melakukan serangan besar-besaran terhadap komunitas Tionghoa di dalam tembok Kota Batavia. Sejak itu hingga 22 Oktober, terjadilah peristiwa genosida atas orang-orang Tionghoa yang kini dikenal sebagai Chinezenmoord—pembunuhan Tionghoa—alias Geger Pecinan.

Menurut Thomas B. Ataladjar dalam Toko Merah (2003), peristiwa itu mengakibatkan 10.000 orang Tionghoa—500 di antaranya adalah tahanan dan pasien rumah sakit—terbunuh oleh pasukan bersenjata VOC.

Infografik Hubungan Tionghoa VOC

Infografik Hubungan Tionghoa VOC. tirto.id/Fuad

Diperdaya Jadi Pemungut Pajak

Ontran-ontran 1740 itu ternyata tidak selesai begitu saja di dalam tembok Kota Batavia. Orang-orang Tionghoa yang berhasil melarikan diri ke timur menyusur pesisir pantai utara Jawa, enggan kalah tanpa melawan. Pertikaian pun akhirnya meluas ke hampir seluruh Jawa.

“Mereka merebut pos VOC di Juwana pada bulan Mei 1741. Markas besar VOC untuk wilayah pesisir di Semarang dikepung dan pos-pos lainnya terancam,” catat M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1999, hlm. 139).

VOC tentu saja tak tinggal diam. Aturan pembatasan baru pun diterbitkan. Setiap orang Tionghoa, totok maupun peranakan, wajib menetap di satu lingkungan tersendiri yang disebut pecinan. Alasan utama, berdasarkan dokumen-dokumen VOC, adalah melindungi kepentingan VOC dan memastikan penduduk petani Jawa tidak masuk dalam domain perdagangan Tionghoa.

“Singkat kata, Pecinan sebenarnya dimaksudkan untuk membatasi pengaruh komersial Cina di pedalaman. Namun, akibatnya justru sebaliknya: menimbulkan kapitalisme di kalangan Cina,” tukas Onghokham dalam artikel “Minoritas dan Keluarga dalam Pertumbuhan Kapitalisme” yang dimuat dalam bunga rampai Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018, hlm. 139).

Dari bentuk komunitas pecinan yang eksklusif itu, pelan-pelan timbullah elite keluarga peranakan Tionghoa. Para elite itu umumnya adalah pengusaha kaya dan keturunan nakhoda. Elite peranakan ini yang selanjutnya diangkat sebagai kapiten atau letnan, seperti Yap A Sin.

Pertumbuhan ekonomi komunitas Tionghoa ini kembali menarik perhatian Belanda, terlebih sesudah VOC gulung tikar di pengujung abad ke-18. Untuk menutupi kerugian, pemerintahan baru bentukan Belanda di Jawa pun bekerja sama lagi dengan orang-orang Tionghoa.

Pendekatan pemerintah kolonial dimulai dengan memudahkan izin usaha serta melelang pacht (hak monopoli) kepada para elite Tionghoa. Pacht yang dilelang itu terdiri dari banyak sektor, mulai dari penarikan pajak, bea cukai, penjualan candu, pegadaian, pajak pasar, penyeberangan sungai, pembuatan garam, hingga pengambilan sarang burung.

Pacht candu dan pacht gadai adalah sektor terbesar yang dikelola orang-orang Tionghoa di Jawa. Meski begitu, Belanda sebenarnya tetaplah pihak yang pegang kendali karena ruang gerak orang Tionghoa telah dibatasi dengan peraturan pecinan. Belanda kemudian memberi hak istimewa lagi pada para pemegang pacht dan agen-agennya, yaitu dispensasi dan vrijpas (surat jalan) yang memudahkan pergerakan mereka.

“Kesempatan ini dipakai oleh para pemegang pacht untuk berdagang, menjual barang impor ke desa, dan membeli hasil-hasil dari desa—termasuk meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi,” catat Onghokham (hlm. 133).

Kendati mendatangkan cuan, praktik semacam itu sebenarnya juga membuat posisi kaum peranakan Tionghoa terjepit. Citra mereka di mata masyarakat bumiputra pun ikut memburuk karena dianggap sebagai kepanjangan tangan kolonialis Belanda.

Praktik uang tol, misalnya, ditengarai menjadi sumber kejengkelan penduduk bumiputra terhadap orang Tionghoa. Pasalnya, ongkos yang dibebankan untuk lalu lintas perdagangan itu dirasa memberatkan karena jumlah gerbang tol yang kian hari kian banyak.

Padahal, orang-orang Tionghoa tak selalu meraup untung dari hubungannya dengan Belanda. Ada kalanya, uang pungutan itu habis dikorupsi oleh centeng-centeng yang mereka pekerjakan. Masalah-masalah ini membuat orang-orang Tionghoa seakan telah diperdaya oleh Belanda.

Baca juga artikel terkait VOC BELANDA atau tulisan lainnya dari Chris Wibisana

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi