Menuju konten utama

Cara Atasi Dampak Gas Air Mata Saat Demo Mahasiswa

Dampak gas air mata saat demo mahasiswa yang biasanya digunakan polisi untuk memaksa massa membubarkan diri.

Cara Atasi Dampak Gas Air Mata Saat Demo Mahasiswa
Petugas kepolisian melepaskan tembakan gas air mata untuk menghalau massa saat berlangsungnya aksi unjuk rasa di Jayapura, Papua, Kamis (29/8/2019). ANTARA FOTO/Indrayadi TH/wpa/wsj.

tirto.id - Ribuan mahasiswa berdemonstrasi di Jakarta, Jogja, Bandung, Malang, Balikpapan, Samarinda, Purwokerto dan lainnya. Demo di berbagai kota itu menyuarakan tuntutan hampir sama, terutama menolak RUU KUHP dan Revisi UU KPK.

Demo mahasiswa yang digelar di banyak kota pada Senin, 23 September 2019 tersebut membuat tagar "Saatnya People Power" menjadi trending topic dunia di twitter.

Hingga Senin (23/9/2019) pukul 16.40 WIB, tagar itu disebut dalam 47.500 twit. Aksi juga masih berlangsung di beberapa kota hingga hari ini (24/9/2019).

Infografik SC Dampak Gas Air Mata

Infografik SC Dampak Gas Air Mata. tirto.id/Fuad

Demo umumnya identik dengan gas air mata dan sering digunakan sebagai alat kontrol massa oleh unit militer dan polisi untuk memaksa orang membubarkan diri dengan cepat, seperti yang terjadi di depan Gedung DPRD Jabar, Bandung, kemarin.

Dirilis dari situs BBC, gas air mata sendiri berasal dari gas kimia yang digunakan untuk melumpuhkan dengan menyebabkan iritasi pada mata atau sistem pernapasan. Gas air mata bisa disimpan dalam bentuk semprotan maupun granat.

Senyawa kimia yang digunakan di sebagian besar tabung gas air mata adalah o-chlorobenzylidene malononitrile, yang dikenal sebagai CS. Selain itu ada juga yang menggunakan bahan kimia lain seperti gas CN, CR, dan semprotan merica gas OC.

Sebenarnya seberapa berbahayakah semprotan CS atau gas air mata tersebut?

Efek

Efek umum saat adanya semprotan gas air mata adalah rasa panas dan berair di mata, kesulitan bernapas, nyeri dada, air liur berlebihan, dan iritasi kulit, serta dapat menyebabkan muntah.

Seseorang yang terkena akan merasakannya pada detik ke 20 hingga 30 setelah terpapar gas air mata, tetapi mereda sekitar 10 menit kemudian jika orang tersebut berada di area yang tak terkena gas atau ruangan terbuka.

Namun, beberapa jenis gas air mata dengan senyawa berbeda, juga memiliki efek dan tingkat racun sendiri.

Secara umum, jarang terjadi kematian akibat semprotan gas air mata, tetapi penggunaan gas air mata berulang di ruang sempit akan membuat masalah yang lebih parah sehingga menyebabkan pernapasan lebih terbatas serta batuk hebat hingga berdarah.

Berdasarkan laporan NCBI, saat berada di suhu ruangan, gas air mata atau CS akan membentuk kristal putih dengan tekanan uap rendah dan susah larut dalam air.

CS juga berbentuk seperti serbuk duri, karenanya jika disemprotkan ke kulit dan mata dapat menyebabkan epifora (berair), blepharospasm (mata kejang), sensasi terbakar, batuk, sekresi lendir meningkat, sakit kepala parah, pusing, dispnea (sesak dada), dan kesulitan bernapas hingga asma.

Pertolongan pertama yang bisa dilakukan untuk mengurangi iritasi pada mata setelah terkena semprotan gas air mata adalah dengan membilas menggunakan air atau air garam sebanyak-banyaknya.

Seperti dilansir laman Independent, bentuk awal gas air mata pertama kali digunakan dalam Perang Dunia I, baik oleh Prancis dan Jerman.

Tetapi gas CS dikembangkan pada tahun 1928, ketika ahli kimia Amerika Ben Corson dan Roger Stoughton mensintesis komponen aktifnya.

Menurut Konvensi Senjata Kimia tahun 1993 yang ditandatangani oleh hampir setiap negara di dunia, gas air mata dilarang dalam peperangan tetapi legal dalam pengendalian kerusuhan domestik.

“Gas air mata di bawah Konvensi Jenewa dicirikan sebagai agen perang kimia, dan karenanya dilarang untuk digunakan dalam perang, tetapi sangat sering digunakan warga sipil," kata ahli gas saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Yale Sven-Eric Jordt.

Menurutnya, selain menggunakan air, susu juga bisa digunakan untuk meredakan efek dari gas air mata.

Baca juga artikel terkait DEMO MAHASISWA atau tulisan lainnya dari Dhita Koesno

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Dhita Koesno
Editor: Yulaika Ramadhani