tirto.id - Pada masa kolonial, aksi menentang imperialisme dan kapitalisme demi perbaikan hak perburuhan kerap kali diasosiasikan dengan gerakan kaum pria. Perempuan lebih banyak berdiam menerima nasib yang dibebankan kepada mereka.
Kendati bersuara lirih, bukan berarti perempuan sama sekali tak bersuara. Aksi buruh perempuan di Semarang pada 1926 yang tersohor dengan sebutan aksi caping kropak membuktikan bahwa perempuan juga punya andil dalam perbaikan nasib buruh, khususnya perihal perbaikan upah dan perlindungan kerja kepada para perempuan.
Dua tahun kemudian, tepatnya pada Kongres Perempuan Pertama tahun 1928 di Yogyakarta, perhatian terhadap perbaikan nasib buruh perempuan kembali didengungkan. Siti Marjam dari Komite Perempuan Jong Java Betawi mengutarakan pentingnya memenuhi hak-hak buruh perempuan sekaligus menghentikan praktek perburuhan anak di bawah umur, sesuai seperti yang dilaporkan dalam buku Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang (2007) oleh Susan Blackburn.
Aksi Buruh di Semarang: Sebuah Awal
Aksi buruh di “Kota Merah” Semarang sudah terjadi sejak awal abad ke-20. Berdasakan studi Angghi Novita, “Gerakan Sarekat Buruh Semarang Tahun 1913-1925” yang dimuat dalam Journal of Indonesian History Vol. 3 No. 2 (2015), kala itu banyak kaum buruh terdorong untuk membentuk sarekat-sarekat buruh akibat minimnya upah. Berkat meningkatnya pengaruh komunisme pula, aksi demo dan pemogokan senantiasa mewarnai sudut-sudut Kota Semarang sejak tahun 1913 hingga sekitar tahun 1926. Salah satu yang kerap bikin aksi mogok adalah buruh di sektor perkapalan.
Menurut Agustinus Supriyono dalam makalah “Dekolonisasi dan Pemogokan Buruh di Pelabuhan Semarang: Kesinambungan dan Transformasi” yang tersusun dalam buku Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa (2013), buruh di sektor perkapalan Semarang awal abad ke-20 sudah memiliki posisi tawar kuat. Posisi buruh tongkang sangat sulit digantikan oleh tenaga buruh lain karena jenis pekerjaannya yang sangat sulit. Oleh sebab itu, mereka dijuluki buruh elite dengan keterampilan khusus (2013: 62).
Berdasarkan catatan yang berhasil dihimpun Supriyono, jumlah buruh tongkang jumlahnya jauh lebih banyak dari kuli darat dan kapal. Meskipun belum tergabung dalam serikat buruh pelabuhan, para buruh tongkang di Semarang bersikukuh menggelar aksi mogok pada 1918. Mereka menuntut kenaikan upah dari 22,5 gulden menjadi 30 gulden, diikuti pengurangan jam kerja yang panjang. Setidaknya 1.500 buruh dari perusahaan Semarangsche Stoomboot en Prauwenveer (SSPV) terlibat dalam aksi tersebut.
Aksi mogok buruh kapal kembali terulang di tahun 1925. Kali ini aksi mogok seolah telah memiliki jaringan aksi karena diikuti oleh aksi-aksi pemogokan di berbagai perusahaan lainnya, yakni: pemogokan di perusahaan percetakan, pemogokan di perusahaan mesin jahit Singer, pemogokan pegawai rumah sakit, dan pemogokan buruh perusahaan NV Tropical.
Sebelumnya juga pernah terjadi aksi mogok buruh gula tahun 1920, aksi mogok buruh pegadaian tahun 1922, dan aksi mogok buruh kereta api dan trem tahun 1923. Seluruh gerakan kaum buruh menuntut hal yang sama meliputi upah, jam kerja yang panjang dan upah lembur.
Penelusuran Supriyono tiba pada peran serta Sarikat Islam (SI) dalam mengadvokasi para buruh. Dalam aksi mogok buruh tongkang misalnya, sebelum pemogokan terjadi, para tokoh buruh terlebih dahulu mengadakan pertemuan dengan pengurus SI Semarang untuk membahas rencana mogok jika tuntutan tidak dipenuhi.
Angghi Novita dalam makalahnya kembali menegaskan bahwa aksi-aksi mogok para buruh di Semarang memang terjadi berkat pengaruh SI yang bercampur dengan ajaran Marxis. Akan tetapi, menurut Novita, Pemerintah Kolonial memandang keterlibatan PKI dalam sarekat buruh jauh lebih berbahaya dibanding SI, sebab pemerintah menilai tujuan politik PKI jauh lebih luas.
Ibu Munasiah yang Legendaris dan Caping Koprak
Pergulatan para buruh mencari keadilan di Semarang turut menarik peran serta perempuan. Di saat yang bersamaan semakin banyak perempuan yang turut andil sebagai aktivis buruh. Berdasarkan Tesis Chusnul Hayati (1990), sebagian di antara mereka ada yang menjadi saksi pembantaian petani perkebuan afdeeling B di Garut oleh Pemerintah Kolonial atau yang lebih dikenal dengan Peristiwa Cimareme.
Menurut pengamatan peneliti Ruth Indiah Rahayu, aksi buruh perempuan di awal abad 20 diawali oleh para perempuan yang tergabung dalam Sarekat Rakyat (SR).
SR merupakan perkumpulan yang dirintis oleh para mantan aktivis SI pasca Peristiwa Cimareme. Mereka dikenal dekat memiliki kesamaan cita-cita dengan gerakan komunis dan pernah menghadiri serangkaian kongres Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurt Ruth T. McVey dalam The Rise of Indonesian Communism, secara organsiasi SR ditempatkan di bawah PKI berdasarkan hasil kongres tahun 1923 (2006: 190).
Di antara para kader perempuan SR, Munasiah dikenal sebagai anggota paling vokal memperjuangkan hak buruh perempuan. Dalam Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI, Saskia E. Wieringa mencatat, Munasiah menjadi satu dari sedikit perempuan yang berani bicara paling lantang dalam Kongres PKI mewakili buruh dan kaum perempuan (2010: 221-222).
Menurut Wieringa, Munasiah merupakan tokoh penting di balik penggerakan aksi mogok para perempuan dari kalangan pedagang dan buruh perkebunan di Semarang tahun 1926. Para buruh perempuan memperjuangkan hak-haknya seraya mengenakan topi anyaman bambu (caping) yang secara simbolis menunjukan pekerjaan buruh tani dan pedagang kecil. Dalam tuntutannya, mereka memperjuangkan upah buruh, transportasi, perlindungan kerja dan perpanjangan kontrak maksimum. Aksi tersebut kemudian dikenal dengan sebutan aksi caping kropak.
Endah H. Wulandari melalui makalahnya yang tersusun dalam buku Titik Balik Historiografi di Indonesia berpendapat, demonstrasi buruh perempuan tahun 1926 di Semarang merupakan yang pertama dan paling penting. Demonstrasi politik buruh perempuan lantas berlanjut pada dasawarsa 1930-an, ketika mereka menuntut peningkatan upah dan hak-hak dalam pekerjaan. (2008: 375)
Nasib Munasiah sendiri tak sejalan dengan perjuangan hak-hak perempuan yang semakin progresif di tahun-tahun berikutnya. Selepas kegagalan aksi perlawanan PKI terhadap Pemerintah Kolonial pada November 1926, para kader PKI dan SR banyak yang dibunuh atau diasingkan. Munasiah menjadi satu dari ratusan anggota SR yang diasingkan ke Boven Digul, sebuah kamp tanahan di Papua.
Sayangnya, selain catatan Wieringa, tidak banyak sumber yang mengulik sepak terjang Munasiah. Mungkin karena alasan ini jugalah, Wieringa menjuluki Munasiah sebagai “Ibu Munasiah yang Legendaris”.
Editor: Nuran Wibisono