Menuju konten utama
Pilpres Brasil

(Calon) Beban Berat di Pundak Pak Tua Lula

Ada banyak situasi yang berubah sejak Lula da Silva pertama kali menjabat. Mungkin itu membuat tugasnya di masa depan lebih sulit.

(Calon) Beban Berat di Pundak Pak Tua Lula
Mantan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, yang mencalonkan diri untuk pemilihan kembali, berbicara dalam konferensi pers di Sao Paulo, Brasil, Minggu, 23 Oktober 2022. (AP Photo/Andre Penner)

tirto.id - Artikel sebelumnya di tautan berikut: Lula Menghadapi Masalah di Depan Mata dengan Solusi Seadanya

Dari mana pemerintah membiayai semua proyek yang dijanjikan presiden saat dia masih mengikuti masa kampanye?

Pertanyaan di atas tentu saja bisa disampaikan ke calon presiden negara mana, termasuk ke Lula da Silva dari Brasil. Ia adalah kandidat kuat pemilu tahun ini, yang akan mengikuti putaran kedua pada 30 Oktober nanti.

Apakah semua program yang dijanjikan—dijabarkan dalam artikel sebelumnya—dibiayai dari ekspor minyak mentah? Ya, tentu bisa saja. Sayangnya salah satu komoditas utama yang menopang ekonomi Brasil di bawah pemerintahan pertama Lula (2003-2010) ini sekarang tidak terlalu memiliki prospek. Nilainya cenderung turun terutama sejak harga minyak dunia jeblok pada 2014.

Pandemi Covid-19 yang memperlambat laju pertumbuhan ekonomi dunia juga diprediksi berdampak pada kurangnya permintaan komoditas dari penjuru dunia.

Konteks global hari ini juga sangat berbeda dari pertama kali Lula menjabat. Ketika itu administrasinya berhasil mengangkat ekonomi Brasil berkat faktor minyak, juga disokong oleh aktor lain yang tak tergantikan: Cina.

Menurut Brian Winter dalam analisisnya yang terbit di Foreign AffairsJuni silam, pertumbuhan pesat ekonomi Brasil berikut negara-negara di Amerika Latin pada dekade pertama abad ke-21 tidak bisa dipisahkan dari tingginya permintaan komoditas dari Cina. Cina yang kala itu ekonominya tengah melaju perlu mengimpor berbagai komoditas, dari daging sapi, bijih besi, minyak mentah, kedelai, gula, dan berbagai turunannya. Ini semua tak lain merupakan produk ekspor andalan Brasil.

Begitu banyak kebutuhan Cina yang dipenuhi Brasil dan negara sekitarnya. Buktinya, hanya dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, nilai ekspor komoditas dari Amerika Latin ke Cina tumbuh sampai sepuluh kali lipat: dari 6 miliar dolar pada 2002 jadi 67 miliar dolar pada 2010.

Keuntungan dari ekspor ke Cina inilah yang dinilai esensial untuk menyokong program-program kesejahteraan rakyat Brasil di bawah komando Lula, meskipun tentu saja juga ada sejumlah alasan lain. Misalnya, pemerintahan Lula ikut diuntungkan dengan reformasi propasar bebas yang sudah digencarkan presiden pendahulunya, Fernando Henrique Cardoso.

Lula juga patut dipuji karena menjalankan disiplin fiskal yang baik, menahan diri agar tidak membelanjakan uang negara terlalu banyak, sehingga pemerintah bisa lebih cepat membayar utang-utangnya ke IMF.

Sayangnya, permintaan yang tinggi dari Cina tidak permanen atau abadi. Tibalah waktu ketika ekonomi Cina melambat. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Cina pada 2007 yang sempat memuncak pada angka 14 persen perlahan turun ke angka 10 persen pada 2010 dan terus merosot sampai akhirnya jeblok jadi 2 persen ketika pandemi Covid-19 melanda dunia pada 2020.

Kurang lebih satu dekade terakhir, goyahnya ekonomi Cina dan berkurangnya permintaan dari sana ikut menggerus harga komoditas dunia dan memengaruhi perdagangan dengan kawasan Amerika Latin, yang pada waktu sama juga terengah-engah menghadapi tantangan ekonomi dan ketidakstabilan politik.

Argentina, yang pertumbuhan ekonominya sudah disokong oleh ekspor produk pertanian sepanjang 2003-2010, gagal bayar utang pada 2014. Tahun itu juga, harga minyak dunia yang merosot berdampak pada kekacauan ekonomi di Venezuela bahkan berujung pada krisis kemanusiaan seiring jutaan warga mengungsi ke luar negeri.

Masih pada 2014, Kolombia, setelah bertahun-tahun menikmati surplus perdagangan, akhirnya mengalami defisit karena pendapatan dari ekspor yang turun dan ketergantungan lebih tinggi pada impor. Selain itu, simbol kestabilan Amerika Latin sekaligus eksportir tembaga terbesar di dunia, Cile, semakin gelisah dengan ketimpangan sosioekonomi dan biaya yang serba mahal—salah satunya diekspresikan lewat aksi demonstrasi pelajar 2011-2013.

Sementara di Brasil, administrasi Partai Buruh di bawah Presiden Rousseff semakin terpojok karena dianggap bertanggung jawab atas karut-marut ekonomi, inflasi, dan kenaikan harga.

Situasi diperparah dengan lingkaran elite pejabat yang dituduh terlibat skandal korupsi “Operasi Cuci Mobil”—kelak berujung pada pemakzulan Rousseff pada 2016 hingga pemenjaraan Lula pada 2018.

Kondisi Brasil dan kawasan Amerika Latin secara luas kian menjadi sorotan semenjak pandemi Covid-19. Pada 2020, ketika ekonomi global berkontraksi 3 persen, di Amerika Latin dan wilayah Karibia angkanya mencapai 7 persen.

Perlambatan ekonomi yang akut tidak bisa dipisahkan dari kebijakan kesehatan publik lemah dan layanan kesehatan kurang menjangkau penduduk miskin. Angka infeksi terus meroket dan menelan korban jiwa, sistem layanan kesehatan semakin tertekan, dan aktivitas ekonomi masyarakat kian tersendat.

Situasinya sedemikian parah di Brasil, yang presidennya, Jair Bolsonaro, meremehkan bahaya virus dengan menolak pakai masker, menyebarkan hoaks tentang vaksinasi, sampai mempromosikan pengobatan yang belum teruji.

Persis setahun yang lalu, Oktober 2021, lebih dari 600 ribu penduduk Brasil meninggal dunia akibat Covid-19—tertinggi kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Tak cukup dengan kehilangan ratusan ribu nyawa akibat Covid-19, rakyat Brasil juga masih dihadapkan pada kualitas hidup yang merosot, kemiskinan, dan ketimpangan sosioekonomi ekstrem.

Dilansir dari situs Agencia Brasil, riset oleh Center for Social Policies of the Getúlio Vargas Foundation (FGV Social) mengungkapkan bahwa tingkat kepuasan hidup rakyat Brasil berada pada posisi paling buruk pada 2020—sejak survei dimulai pada 2006.

Kesejahteraan sosial, indikator dari kemakmuran dan kesetaraan, berkurang 19 persen dari kuartal pertama 2020 hingga kuartal pertama 2021. Pada periode yang sama, rata-rata pendapatan per bulan warga juga merosot dari Rp3,3 juta menjadi Rp3 juta.

Seiring itu, ketimpangan pendapatan sesuai indeks Gini juga meningkat. Selama jangka waktu itu pula, survei menunjukkan penduduk Brasil melaporkan bahwa mereka bertambah marah, khawatir, stres, dan sedih.

Ketimpangan kebahagiaan juga nyata adanya. Di kalangan 20 persen orang terkaya, indikator kebahagiaan naik dari 6,8 poin ke 6,9 poin antara 2019 dan 2020. Sedangkan di kalangan 40 persen penduduk termiskin, angkanya turun dari 6,3 poin ke 5,5 poin.

Infografik seri 01 Pilpres Brasil 2022

Infografik seri 01 Pilpres Brasil 2022. tirto.id/Tino

Ketimpangan sosioekonomi memang sudah akut di Brasil. Dilansir dari laman Oxfam, seseorang dengan upah minimum bulanan di Brasil perlu bekerja selama 19 tahun untuk memperoleh pendapatan 0,1 persen orang terkaya selama sebulan.

Studi lain mengungkapkan bahwa satu persen laki-laki kulit putih paling kaya di Brasil punya penghasilan lebih banyak daripada total penghasilan pekerja kulit hitam dan perempuan mestizo (keturunan campuran kulit putih Eropa dan suku setempat). Padahal, persentase populasi orang kulit putih lebih rendah daripada yang berkulit hitam serta cokelat (43 persen versus 56 persen).

Kemiskinan dan ketimpangan jugalah yang disinyalir menjadi salah satu faktor pendorong maraknya kasus kekerasan dan kriminalitas selama ini. Sampai tahun 2018, Brasil adalah negara dengan kasus perampokan tertinggi kedua di dunia. Demikian halnya dengan kasus pembunuhan termasuk yang tertinggi ketujuh. Setiap tahun sepanjang 2012-2017, jumlah pembunuhan selalu menembus 50 ribu kasus. Baru tahun kemarin saja angkanya menyentuh 41 ribu—terendah sejak pendataan dilakukan pada 2007.

Singkatnya, apa yang bakal dihadapi Lula adalah situasi yang lebih sulit dibanding saat ia berkuasa dulu. Dan ini jelas merupakan pertaruhan besar.

Baca juga artikel terkait LULA DA SILVA atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino