tirto.id - Ribuan tahun lalu, wabah cacar menghantui dunia. Sebelum Edward Jenner menemukan vaksin cacar pada tahun 1796, penyakit yang disebabkan oleh virus variola ini terus mendatangkan malapetaka bagi penguasa dan rakyat di berbagai negeri. Para ilmuwan meyebutnya “duta kematian paling mengerikan dalam sejarah”.
Cacar diduga mempercepat kemunduran sejumlah kerajaan kuno seperti Kerajaan Mesir Baru dan Kekaisaran Romawi pada tahun 180 masehi. Kemunculannya diyakini terjadi pada periode pertanian pertama yang dimulai di Afrika timur laut sekitar 10.000 SM. Selama beberapa milenium, cacar menyebar ke Mesir, India, dan tiba di Cina antara 1500-1100 SM. Banyak sejarawan memperkirakan bahwa cacar merupakan satu dan serangkaian wabah yang menumbangkan Athena pada 430 SM.
Cacar diketahui telah membunuh penguasa Kerajaan Hattusa (sekarang Turki), Suppiluliumas I, di tengah perseturuannya dengan Kerajaan Mesir kuno. Di masa Kekaisaran Romawi, cacar diperkirakan telah membunuh sekitar 3,5 juta sampai 7 juta orang, termasuk Kaisar Marcus Aurelius. Pada periode yang agak modern, cacar tercatat menjadi penyebab kematian Kaisar Romawi Joseph I, Mary II dari Inggris, Louis XV dari Prancis, dan Peter II dari Rusia.
Wabah cacar dipercaya sebagai satu dari sepuluh tulah yang mengiringi kekacauan nasional kerajaan Mesir kuno. Para arkeolog sepakat cacar mulai berjangkit di Mesir pada 1400 SM berdasarkan catatan yang ditinggalkan orang-orang Hittites (sekarang Turki). Kala itu daerah kekuasaan para firaun diduga pernah menjadi salah satu pusat wabah cacar paling awal dalam sejarah. Korban pertamanya yang berhasil teridentifikasi adalah Ramses V yang bertakhta pada periode dinasti ke-20.
Cacar Melumpuhkan Mesir Kuno
Kemunduran dalam pemerintahan Mesir kuno diperkirakan terjadi setelah Firaun Ramses II tutup usia pada 1213 SM. Aidan Dodson, egiptologis asal Inggris, dalam tulisannya yang terbit di BBC, mengemukakan bahwa kematian firaun paling agung itu membuat Mesir kuno ikut terpecah-pecah.
Garry J. Shaw mendukung argumen Dodson lewat bukunya War & Trade with the Pharaohs: An Archaeological Study of Ancient Egypt's Foreign Relations (2017). Menurutnya, aktivitas orang-orang asing yang bermukim di Mesir kian bertambah karena kegiatan militer yang dilakukan sejak masa pemerintahan Seti I (ayah dari Ramses II). Kehadiran orang-orang asing yang mendapatkan haknya karena berpartisipasi dalam kampanye militer kerajaan itu lantas memicu sengketa dengan kelompok kesatria.
Kekacauan ini berkombinasi dengan serangan yang dilakukan orang-orang Libya di selatan dan Kerajaan Hattusa di utara. Mereka diduga telah menyebarkan penyakit kulit mematikan yang menjangkiti sekitar 1 juta orang di sepanjang aliran Sungai Nil sebelum sampai ke lingkaran dalam istana. Jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional Amerika Serikat juga menyebut cacar pada periode Mesir kuno sebagai kasus impor akibat perang.
Kendati teori tersebut terdengar meyakinkan, namun banyak ahli peradaban Mesir kuno kesulitan mengidentifikasi penyakit tersebut sebagai cacar. Wabah cacar dianggap tidak pernah disebut dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan Baru ataupun literatur Yunani dan Romawi. Satu-satunya bukti yang menyebut keberadaan penyakit kulit mengarah pada lembaran papyrus milik Georg Ebers tentang penyakit dan obat herbal Mesir kuno yang berasal dari 1550 SM.
Ramses V bukan Raja Mesir pertama yang meninggal akibat penyakit kulit. Namun, catatan arkeologi yang dikumpulkan Eugen Strouhal ke dalam makalah “Traces of A Smallpox Epidemic in the Family of Ramesses V of the Egyptian 20th Dynasty” menyebutkan hanya mumi Ramses V yang bisa diidentifikasi di antara pendahulunya. Dia memerintah selama empat tahun sebelum mati muda pada 1157 SM. Strouhal mengutip pernyataan ahli cacar, Cyril William Dixon, yang menyatakan Ramses V meninggal akibat penyakit akut berjenis cacar.
Ada banyak versi tentang usia kematian Ramses V, tetapi para ahli sepakat soal penyebab kematiannya. Hal ini dibuktikan dengan penemuan mumi sang firaun pada tahun 1898 dalam ruang tersembunyi di Lembah Para Raja, Luxor. Tujuh tahun kemudian, Grafton Elliot Smith, seorang arkeolog yang bertugas memeriksa mumi Ramses V, menemukan ruam yang diperkirakan sebagai bekas cacar. Dia yakin bahwa akibat penyakitnya itu sang raja dimakamkan menggunakan prosedur yang berbeda dibandingkan pendahulunya.
Temuan Smith yang dirangkum oleh Strouhal ke dalam jurnal Anthropologie (1996) serta-merta memicu perdebatan tentang kemungkinan wabah cacar yang melumpuhkan Kerajaan Mesir setelah Ramses V meninggal dunia. Teori tersebut diperkuat oleh temuan yang menunjukkan bahwa sang firaun tidak langsung dimakamkan setelah 70 hari proses mumifikasi yang lumrah dilakukan pada masa itu. Sebaliknya, jasadnya disemayamkan selama hampir 16 bulan bersama 6 jasad lainnya yang juga menunjukkan tanda-tanda ruam yang sama.
Strouhal menganalisa perkamen papyrus yang dia temukan di Museum Arkeologi di Turin dan tiba pada kesimpulan bahwa “para pegawai istana kemungkinan berusaha merancang upacara penguburan yang lebih sederhana.” Lebih jauh dia memaparkan temuannya tentang para ahli ukir makam yang mendapat libur atas ongkos dari istana selama enam bulan masa penutupan Lembah Para Raja. Strouhal menduga Mesir pada masa itu sedang melakukan karantina wilayah yang pertama dalam sejarah manusia.
“Berdasarkan catatan sejarah tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa para pejabat tinggi kerajaan dipaksa untuk melakukan tindakan pencegahan setelah sang raja meninggal, sesuatu yang bertolak belakang dengan kebiasaan yang sudah dilakukan di Mesir selama ribuan tahun,” catat Strouhal.
Donald Hopkins, epidemiolog asal Amerika yang pernah aktif dalam berbagai program pemberantasan cacar, sependapat dengan argumen Strouhal. Dalam bukunya The Greatest Killer: Smallpox in History (2002: 15), Hopkins menulis “penjelasan paling masuk akal dari waktu penguburan Ramses V yang tidak biasa adalah dugaan bahwa dia meninggal akibat cacar.”
“Para pembalsem atau petugas pemakaman istana dapat dipastikan tertular penyakit yang sama dalam waktu dua minggu setelah mempersiapkan jasad raja mereka,” tegasnya. Hopkins, yang pernah memeriksa mumi Ramses V di tahun 1979, berpendapat jasad sang firaun dibalsem dalam keadaan kulit yang bengkak dan penuh benjolan. Orang-orang yang mengurus pemakaman raja kemungkinan menjadi korban juga.
Menurut Hopkins, beberapa kelompok masyarakat lain di zaman itu sudah mengenal pembakaran mayat atau kremasi untuk mencegah penyakit menular. Akan tetapi, hal ini tentu sangat mustahil dilakukan kepada firaun Mesir kuno. Ketakutan akan wabah yang tidak bisa diusir menggunakan jimat dan doa kemungkinan besar mempengaruhi lamanya proses mumifikasi yang berdampak pada penundaan pemakaman Ramses V hampir satu setengah tahun.
Editor: Irfan Teguh