Menuju konten utama

BWCF, Setelah 200 Tahun Serat Centhini

Sebuah perhelatan budaya tahunan, Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) yang melibatkan sekurang-kurangnya 300 penulis dan budayawan, akademisi, pakar sejarah, sastrawan, arkeolog, rohaniwan, penulis buku, dalang, filolog dan lain-lain, akan kembali digelar pada tanggal 5-8 Oktober 2016.

BWCF, Setelah 200 Tahun Serat Centhini
Borobudur writers and cultural festival 2016

tirto.id - Sebuah perhelatan budaya tahunan, Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) yang melibatkan sekurang-kurangnya 300 penulis dan budayawan, akademisi, pakar sejarah, sastrawan, arkeolog, rohaniwan, penulis buku, dalang, filolog dan lain-lain, akan kembali digelar pada tanggal 5-8 Oktober 2016.

BWCF adalah sebuah festival budaya yang berbeda dengan festival sejenis karena selalu mengangkat khazanah budaya Nusantara, terutama dalam perspektif sastra maupun dari sisi kajian sejarah dan arkeologis. Meski selama ini telah muncul berbagai kajian oleh para peneliti dari dalam negeri maupun luar negeri, semua itu belum sepenuhnya mengungkapkan masa silam Nusantara yang sangat kaya.

Maka, BWCF memfokuskan diri pada telaah dan perayaan khazanah budaya Nusantara untuk memahami lebih mendalam kekayaan pengetahuan karya-karya besar berikut manifestasi ekspresifnya di masa lalu, masa kini dan segenap pilihan inseminasi kreativitas di masa depan. Perayaan ini dilakukan di kawasan sekitar candi Borobudur yang merupakan monumen besar peradaban Nusantara.

Secara khusus, tema yang diusung pada BWCF 2016 ini adalah “Setelah 200 Tahun Serat Centhini: Erotisisme dan Religiusitas dalam Kitab-Kitab Nusantara” sebagai sebuah upaya merayakan Serat Centhini, yaitu sebuah karya besar kesusastraan Jawa yang mengandung pengetahuan sejarah, pendidikan, geografi, arsitektur, falsafah, agama, mistik, ramalan, sulapan, ilmu kekebalan, perlambang, hingga perihal flora, fauna, dan seni.

Naskah ini dianggap sebagai “ensiklopedi” kehidupan orang Jawa hingga awal abad ke-19. Dalam kitab ini juga terdapat ulasan mengenai khazanah erotika.

Khusus mengenai ulasan perihal erotisisme yang berkaitan dengan pandangan religius, hal itu memperlihatkan pandangan yang bertolak dari Tantrayana yang berkembang pada masa-masa sebelumnya, yaitu pada masa Singasari dan Majapahit. Pandangan tentang erotisisme semacam itu tidak hanya terdapat pada kitab-kitab sastra klasik, melainkan berlanjut pada karya sastra kontemporer.

Dalam kurun 10 tahun terakhir, Serat Centhini muncul dalam terjemahan bahasa Indonesia, bahasa Inggris dengan versi lebih singkat, pelbagai novelisasi, seni tari, teater, fotografi, ziarah perjalanan tempat-tempat dan rekonstruksi kuliner yang tercantum di dalamnya.

Selain Serat Centhini, BWCF tahun ini juga merayakan karya besar Nusantara lainnya, yakni epos panjang, bahkan dapat dikatakan yang terpanjang di dunia, yaitu Sureq Galigo atau I La Galigo yang diciptakan oleh masyarakat Bugis pada abad ke-13.

Kitab besar ini berisi kisah penciptaan manusia dan petualangan tokoh Sawerigading ke berbagai penjuru dunia. Kitab ini dapat dikatakan sebagai “ensiklopedi” Bugis tentang kehidupan manusia dan segala hal yang berkaitan dengan alam semesta.

Dengan perayaan khazanah budaya Nusantara melalui pertemuan antara para penulis dan pekerja kreatif serta aktivis budaya dengan masyarakat pada umumnya diharapkan muncul pemahaman interkultural yang berbasis pada pengembangan dan perluasan pengetahuan sehingga para kreator budaya maupun masyarakat yang hidup dalam budaya-budaya tersebut dapat memanfaatkan segala khazanah yang ada untuk memproyeksikan masa depan yang lebih baik.

Acara festival meliputi: seminar, pidato kebudayaan, musyawarah penerbit-penulis, workshop penulisan cerita pendek, pameran foto, pameran lukisan, pergelaran kesenian dari berbagai daerah di Indonesia, dan pemberian penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan Award.

Para pembicara dan moderator yang akan tampil pada acara seminar adalah Prof. Dr. Timbul Haryono, Dr. Karsono H. Saputro, Manu W. Padmadipura, Kartika Setyawati, Agus Wahyudi, KH. Agus Sunyoto, Dr. Halilintar Lathief, Dr. Muhlis Hadrawi, Drs. Dwi Cahyono, M.Hum., Dr. Sirtjo Koolhof, Tommy Christomy, Ph.D., Prof. Dr. Robert Sibarani, Elizabeth D. Inandiak, Salfia Rahmawati, Raja Suzana Fitri, Dr. Gadis Arivia, Dr. Emanuel Subangun, Dr. Katrin Bandel, Dinar Rahayu, Dr. Kris Budiman, Prof. Dr. Suwardi Endraswara, Prof. Dr. Faruk HT, Otto Sukatno CR. Juga pidato budaya oleh Garin Nugroho.

Acara akan diisi dengan musyawarah penerbit-penulis bersama Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) yang akan merintis berdirinya asosiasi penulis Indonesia. Dilaksanakan pula workshop penulisan cerpen Kompas oleh Putu Fajar Arcana

dan Joko Pinurbo.

Pada malam harinya akan diadakan pertunjukan kesenian dari berbagai daerah di antaranya Seribu Topeng oleh Sujopo Sumarah Purbo (Malang), Komunitas Lima Gunung (Magelang), PM Toh (Aceh), Komunitas Bissu (Sulawesi Selatan), Ganzer Lana (NTT), Tari Centhini oleh koreografer Heri Lentho (Surabaya), Lamalera Band (NTT), DnD Music (Yogyakarta), dan pementasan Serat Centhini oleh Agnes Christina (Jakarta).

Selain itu akan tampil para penyair yang mementaskan puisinya, yaitu Oka Rusmini, Cyntha Hariadi, Ali Syamsudin Arsy, Norman Erikson Pasaribu, F. Aziz Manna dan Sosiawan Leak, dan pameran foto oleh Fendi Siregar yang telah bertahun-tahun melakukan perjalanan budaya napak tilas Serat Centhini serta pameran lukisan yang oleh Langgeng Art Foundation yang akan memamerkan sekitar 20 seniman, mulai dari pelukis senior Srihadi Soedarsono dan Sunaryo hingga perupa-perupa muda dari Yogyakarta dan Bali.

Seluruh rangkaian acara akan ditutup dengan pemberian Sang Hyang Kamahayanikan Award 2016 yang akan diberikan kepada tokoh yang berjasa melakukan pengembangan dan pengkajian sejarah dan peradaban Nusantara.

Baca juga artikel terkait BOROBUDUR atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Humaniora
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh