tirto.id - Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso berselisih pendapat dengan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita soal rencana impor beras. Buwas, sapaan akrab Budi Waseso, menolak impor beras yang izinnya sudah diterbitkan Enggar. Dia menegaskan bahwa cadangan beras pemerintah aman hingga Juni 2019.
Namun penilaian Buwas tidak digubris Enggar. Politikus Partai Nasdem itu bersikukuh impor beras harus tetap dilakukan.
Polemik keduanya merembet ke persoalan gudang penampungan beras milik bulog. Buwas geram dengan Enggar lantaran yang menyatakan urusan penuhnya gudang beras Bulog bukan urusannya. Menurut Buwas pernyataan itu menunjukkan pemerintah lepas tangan soal urusan stok penyimpanan beras pemerintah.
"Kalau ada yang jawab soal Bulog sewa gudang bukan urusan kita, mata mu! Itu kita kan sama-sama negara," kata Buwas di Perum Bulog, Jakarta Selatan, Rabu (19/9/2018).
Baku argumen di antara Enggar dan Buwas menambah deretan panjang ketegangan di antara pembantu Jokowi. Pada 2015, ketegangan terjadi antara mantan Menhub Ignatius Jonan dengan Menteri BUMN Rini Soemarno perihal pembangunan kereta cepat.
Kedua menteri saling lempar tanggung jawab untuk memutuskan kelayakan pembangunan kereta cepat. Rini berargumen kelayakan kereta cepat harus segera dibahas Jonan agar bisa secepatnya dibangun. Namun Jonan justru meminta wartawan menanyakan kelayakan kereta cepat kepada Rini.
"Itu harus ditanyakan ke Menteri BUMN sendiri, jangan ke saya dong. Kan saya menteri teknis. Layak tidak layak [KA cepat], tanyakan ke Menteri BUMN sebagai inisiator," kata Jonan di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat saat itu.
Rizal Ramli saat masih menjabat Menko Kemaritiman, pada 2015, juga pernah terlibat baku argumen dengan Wapres Jusuf Kalla soal proyek pembangkit listrik 35.000 mega Watt (mW). Rizal tidak setuju dengan kebijakan ini. Menurut Rizal, bakal banyak listrik yang tidak terpakai dan hanya berujung pemborosan.
"Mau dipakai apa tidak, PLN wajib bayar listrik yang tidak terpakai. 72% yang tidak terpakai dari proyek 35.000 mW itu nilainya tidak kurang dari 10.763 milliar dollar Amerika," kata Rizal, Senin, 7 September 2015.
Wapres Jusuf Kalla pun meminta Rizal tidak berkomentar soal proyek tersebut. "Yang menetapkan presiden, memangnya menko bisa ubah presiden?" kata Jusuf Kalla di kantornya, Selasa, 8 September 2015.
Bukan hanya itu, Rizal juga pernah berdebat panas dengan Luhut Binsar Panjaitan pada 2016. Rizal berpandangan proyek reklamasi tidak bisa dilanjutkan karena merugikan lingkungan hidup dan nelayan. Sedangkan Luhut berpandangan secara hukum tidak ada masalah dengan semua itu.
Pada Januari 2018, Luhut berselisih paham dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti soal penenggelaman kapal. Luhut tak setuju kebijakan Susi menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan. Menurutnya, lebih baik kapal-kapal itu diberikan kepada nelayan untuk melaut dengan prosedur yang benar.
Susi pun menanggapi ketus pernyataan Luhut. Menurutnya jika ada yang tidak setuju dengan kebijakannya, sebaiknya memberikan usul yang lebih baik.
Dianggap Tak Berani dan Kurang Tegas
Ketua DPP Gerindra Abdul Wachid menilai, seringnya pertunjukan menteri yang berselisih paham ke publik lantaran Jokowi tidak memiliki ketegasan dalam memimpin kabinetnya.
"Pak Jokowi tidak punya ketegasan dan keberanian terhadap para menteri. Karena para menteri adalah milik partai-partai koalisi. Rupanya Pak Jokowi tidak punya keberanian ke sana," kata Wachid kepada reporter Tirto, Kamis (20/9/2018).
Wachid menganggap Jokowi lebih banyak mengedepankan kepentingan politik pribadinya ketimbang kepentingan publik. Sehingga menurutnya, Jokowi cenderung membebaskan para menteri yang berasal dari partai politik pendukungnya.
"Kalau Pak Jokowi punya keberanian, tidak cuma memikirkan kepentingan politik pribadinya, pasti tidak ada kebijakan yang jadi beda pendapat di tingkat menteri. Mereka pasti patuh kepada presiden. Harusnya menteri patuh pada presiden," tuturnya.
Pendapat serupa disampaikan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak. Dalam akun Twitter pribadinya, Dahnil menyebut Jokowi tak mampu mengendalikan anak buahnya.
"Mengerikan. Ketika sesama anggota anak buah Presiden saling tuding di depan Publik. Membuktikan 2 hal. 1 Ada fakta data carut marut yg digunakan untuk pintu masuk pemburu rente. 2. Presiden yang tak memimpin, dan tak mampu mengendalikan anak buahnya sendiri," cuit Dahnil seperti diakses reporter Tirto, Kamis malam.
Lelaki yang kini menjadi juru bicara Prabowo-Sandiaga ini juga menanyakan, ada di mana kendali atas orkestrasi sengketa antarpembantu presiden yang dipertontonkan secara demonstratif ini. "Ketika Presiden tidak memimpin, maka para pembantu Presiden bersengketa secara demonstratif di publik. Ketika para pembantu Presiden tak bertuan kepada Presiden. Maka kendali negara entah di tangan siapa."
Namun pendapat Wachid dan Dahnil dibantah Wakil Ketua Dewan Pembina Nasdem Taufiqulhadi. Menurutnya perbedaan pandangan di antara para menteri bukan karena Jokowi tidak tegas.
"Itu karena memang peraturannya belum selesai saja. Jadi wajar ada perbedaan. Namanya juga proses," kata Taufiqulhadi kepada reporter Tirto.
Taufiqulhadi menyatakan, selama ini kepemimpinan Jokowi sudah sangat tegas. Terbukti dengan tak adanya gejolak politik yang berarti dan kebijakan yang terbengkalai.
"Pembangunan lancar kok. Kalau enggan nurut [kepada Jokowi], ya pasti Pak Basuki [Menteri PUPR] itu enggak lakukan lah," kata Taufiqulhadi.
Anggota Komisi III DPR RI ini pun mengklaim ketegasan Jokowi lah yang bisa menstabilkan perekonomian Indonesia di tengah perang dagang Amerika-Cina.
"Kalau Pak Jokowi enggak tegas sudah anjlok perekonomian kita," tutupnya.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana