tirto.id - Komisaris Jenderal (Purn) Budi Waseso ditunjuk untuk menggantikan Djarot Kusumayakti menjadi Direktur Utama Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog). Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mengkhawatirkan langkah ini adalah manuver Pemerintah untuk menertibkan urusan pangan dengan pendekatan militer.
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah masih mempertanyakan landasan pemikiran pemerintah memilih Buwas, panggilan Budi Waseso.
"Ini saya masih berpikir apa yang melandasi Pak Buwas menjadi Dirut Bulog menggantikan Pak Djarot. Apakah kemudian karena serapan pangan rendah, sehingga ada unsur tangan besi di sana yang memungkinkan petani jual ke Bulog. Saya mengkhawatirkan betul kalau argumentasi itu dipakai pemerintah," ungkap Said kepada Tirto pada Jumat (27/4/2018).
Ia menilai jika demikian pemerintah melakukan simplifikasi persoalan pangan yang ada di ranah Bulog. Sebab, persoalannya tidak hanya terkait kepemimpinan, tapi juga melingkupi soal Bulog sebagai lembaga ekonomi berbasis pangan; menjalankan penugasan stabilisasi pangan negara; serta mitra petani untuk mampu meningkatkan perbaikan kehidupan petani.
"Saya khawatir kalau kemudian tidak dipahami cukup baik, ujungnya yang dikorbankan adalah teman di lapangan, yaitu produsen atau petani. Yang dihadapi Bulog enggak hanya problem kepemimpinan dan kalah persaingan dengan pasar (tengkulak)," ujarnya.
Kalau pemahaman pemerintah untuk meningkatkan serapan Bulog dengan pendekatan militer maka, dikatakannya, pemerintahan Indonesia sedang mengalami kemunduran. Walaupun dalihnya mungkin untuk menjaga keamanan pangan.
"Dengan memasangkan aparat di sana, kita kembali ke situasi sekitar tahun 1970-1980, ketika revolusi hijau. Saya bayangkan kalau betul argumentasi yang dipakai adalah menggunakan aparat hingga level Bulog karena serapan rendah, ini kemunduran jauh banget," terangnya.
Lalu, ia menyebutkan antara tahun 2015 hingga 2017 saat Bulog di bawah kepemimpinan Djarot yang menjalin kerja sama dengan aparatur negara telah terjadi pemaksaan terhadap petani untuk menjual gabahnya kepada Bulog. Ia mengklaim hal itu banyak terjadi baik di Jawa atau di luar Jawa.
"Terakhir bulan lalu di Sulawesi, kami menemukan kasus bagaimana aparatur negara, TNI/polisi memaksa orang untuk menjual gabahnya ke Bulog. Saya mengkhawatirkan itu saja, jangan sampai pergantian dirut ini lari ke aparatur negara akan memunculkan sinyalemen buruk, dalam konteks [masifnya] pemaksaan [terhadap petani]," jelasnya.
Semestinya, pemerintah memilih sosok Dirut Bulog yang baru dengan mempertimbangkan aspek latar belakang pengetahuan (track record) yang mumpuni dalam konteks pertanian, bisnis, dan pendekatan dengan petani. "Saya khawatir kalau ini disikapi sebagai langkah penegakan hukum, sifatnya wajib, kalau enggak ya melanggar hukum. Itu nanti agak ngawur," lontarnya.
Sedangkan menurut Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi, Wahyu Kuncoro pada Jumat (27/4/2018) terkait alasan dipilihnya Budi Waseso menjadi Direktur Utama Perseroan, adalah untuk penyegaran dalam rangka mempercepat akselerasi program-program pemerintah dan memperkuat ketahanan pangan.
Selain itu, penyegaran manajemen perusahaan oleh Kementerian BUMN ini juga untuk memperkuat peran Bulog sebagai stabilisator harga pangan serta bahan pokok lainnya di luar beras dalam rangka menjaga ketahanan pangan nasional.
“Alasan dipilihnya Budi Waseso karena Bulog butuh sosok pemimpin yang bisa mengurus organisasi yang kompleks, di mana dibutuhkan intensitas turun ke lapangan untuk monitoring gudang-gudang Bulog yang banyak.
Kami tahu pak Budi Waseso ini orang lapangan. Terlebih ia juga merupakan eks aparat penegak hukum yang sudah terbiasa melakukan tindakan preventif," jelas Wahyu di Kementerian BUMN.Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri