tirto.id - Meski kebijakan ekstrayudisial membuat tingkat pembunuhan di negaranya meningkat tajam, Presiden Filipina Rodrigo Duterte malah mendapat banyak dukungan. Sejak menjabat menjadi presiden Filipina, setiap hari setidaknya ada 13 orang yang mati terbunuh oleh sesama preman atau pihak kepolisian yang sedang gencar melancarkan perang terhadap sindikat narkotika.
Kebijakan ini membuat Duterte populer, seperti tergambar dari approval rating Duterte di Senat Filipina yang mencapai 91 persen atau tertinggi dalam sejarah Filipina. Pihak Kepolisian Filipina melaporkan setelah tujuh minggu pemberlakuan kebijakan perang Duterte, ada 673.978 orang yang terkait tindak pidana narkotika menyerahkan diri.
Mereka yang menyerahkan diri sebagian besar merasa takut akan dibunuh dalam perang ini. Beberapa yang menyerahkan diri merupakan pejabat di kalangan pemerintahan, kepolisian, dan militer. Di luar angka itu ada pula 11.784 pecandu dan pengedar kecil yang ditangkap.
Kepolisian Nasional Filipina mengklaim angka kejahatan di negara itu turun 31 persen dibanding tahun lalu. Pada Juli tahun lalu ada 17.105 kasus kejahatan, namun sejak Duterte memberlakukan kebijakan ekstrayudisial, angkanya turun menjadi 11.800 kasus. Kejahatan yang mengalami penurunan paling signifikan adalah kejahatan pemerkosaan, perampokan, pencurian mobil, dan penyerangan.
Buwas Berencana Mengikuti Duterte
Atas keberhasilan yang diklaim otoritas Filipina, Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan kesiapannya mengikuti jejak Duterte. Menurut Kepala BNN Komjen Pol Budi Waseso, pihaknya sudah menyiapkan pasukan khusus untuk menjalankan rencana ini dan “tinggal menunggu senjata standar yang sudah dipesan dan akan datang pada November,” tegasnya saat ditemui dalam acara 'Ngopi Bareng Buwas-Pimred Media' di Surabaya, Jawa Timur, Rabu malam, (26/10/2016).
Selain senjata, Buwas yang berniat kian mengganas itu juga mengklaim bahwa jajarannya sudah menyiapkan sekitar 50 ekor anjing pelacak (K-9) khusus narkoba. "Lima puluh ekor k-nine itu sudah kami latih dalam enam bulan dan daya endus dan lacaknya sudah teruji, bahkan saya sendiri yang berangkat ke Belanda atas perintah Presiden untuk belajar khusus teknik menciptakan k-nine itu," paparnya sebagaimana dikutip Antara.
Buwas percaya rencananya akan berhasil mengurangi jumlah pengguna narkoba di Indonesia yang tiap saat makin bertambah. Menurut data per November 2015 pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5,9 juta orang. Jumlah itu meningkat dari angka 4,2 juta per Juni 2015. Berarti sejak Juni-November 2015 muncul 1,7 juta pengguna narkoba baru. Kenaikan pengguna narkoba di Indonesia di tahun 2015 naik sebesar 40 persen dari tahun sebelumnya.
Jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang pengguna narkoba di Filipina yang menurut Nationwide Survey of the Nature and Extent of Drug Abuse, per September 2015 pengguna narkoba di Filipina rentang usia 10-69 tahun ada 1,8 juta orang.
Untuk melegitimasi rencananya, otoritas BNN maupun Presiden Jokowi selalu menekankan bahwa pengedar narkoba di Indonesia adalah entitas yang sangat amat berbahaya, terutama bagi anak-anak. Menurut Buwas, para bandar sudah mempersiapkan "Operasi Regenerasi Pasar Narkoba" yang menyasar anak-anak usia TK, SD, dan SMP melalui jajanan anak-anak sekolah yang membuat ketagihan.
Buwas mengatakan saat ini tercatat 40-an orang per hari yang meninggal dunia akibat menjadi pengguna narkoba. Jokowi berkata di kisaran angka 40-50. Sang Presiden mengungkapkan bahwa jika undang-undang memperbolehkan, ia ingin para pengedar itu di-dor (ditembak) saja.
"Untungnya undang-undang tidak bolehkan itu," kata Jokowi pada peringatan Hari Antinarkotika (HANI) di Kota Tua, Jakarta Barat, Minggu (26/6/2016).
Bagaimana dengan HAM?
Rencana yang buas dari Buwas segera memancing pertanyaan dari publik: bukankah langkah tersebut, sebagaimana kritik yang dilancarkan pada Duterte, adalah pelanggaran HAM dan upaya melampaui hukum positif yang ada?
Sebagaimana Duterte yang tak acuh, Buwas juga kurang lebih bereaksi sama. Buwas tak sampai menghina seorang presiden negara super power dengan sebutan “anak pelacur”, namun ia menolak jika tindakannya nanti dianggap melanggar HAM. Ia berdalih tindakan keras itu ada dasar hukumnya. Menariknya, ia mengklaim bahwa pernyataan Jokowi soal menembak para pengedar narkoba sudah di atas UU dan para pengedar narkoba lah yang sedang melanggar HAM.
"Pernyataan Presiden bahwa Indonesia berstatus darurat narkoba itu sudah di atas UU, bahkan Presiden menyatakan perang pada narkona. Selain itu juga ada Perkap (Peraturan Kapolri). Tindakan mereka yang merusak jutaan generasi muda itu justru lebih melanggar HAM," klaim Buwas.
Ia juga mengatakan tindakan itu akan dilakukan sesuai prosedur dan bisa dipertanggungjawabkan. "Kami tidak ngawur, karena tindakan tegas itu juga terukur, sebab akan kami lakukan pada pengedar yang kami sudah punya data pelanggaran hukumnya. Kalau sudah begini masih direhabilitasi justru kita yang kalah, karena mereka pasti cari mangsa lagi," katanya.
Para pegiat HAM tak akan tinggal diam jika Buwas benar-benar merealisasikan rencananya. Kekhawatiran itu berdasar. Indonesia di kurun waktu 1982 hingga 1985 pernah digemparkan dengan fenomena Petrus atau Penembak Misterius.
Petrus adalah operasi ekstrayudisial yang diperintahkan di bawah koordinasi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Republik Indonesia. Operasi ini dikhususkan untuk mengurangi angka kejahatan yang dilakukan oleh preman di seluruh Indonesia. Pelakunya tidak hanya dari aparat negara namun juga pelaku individu yang bertindak secara aktif dan disebut sebagai "operator".
Laporan Tim Ad Hoc Komnas HAM diperkirakan korban akibat Petrus mencapai 2.000 orang. Sementara berdasarkan laporan penelitian David Bourchier yang berjudul "Crime, Law, and State Authority in Indonesia" pada 1990, diperkirakan korban Petrus mencapai 10.000 orang. Angka itu termasuk korban terbunuh, disiksa, atau hilang sampai hari ini. Pola pembunuhan preman di Indonesia ini sangat mirip dengan pola pembunuhan bandar atau pengedar narkoba di Filipina.
Di Filipina, korban yang dibunuh diberi tanda sebagai pengedar, sedangkan di Indonesia mayat korban Petrus disertai uang Rp10 ribu untuk biaya penguburan mayat. Operasi ini dilakukan oleh aparat negara dengan sepengetahuan pejabat tinggi. Kita akan sama-sama melihat, apakah model penegakan keadilan yang tak mengindahkan prinsip-prinsip keadilan semacam ini yang dimaksud oleh Budi Waseso.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani