tirto.id - Gugatan mahasiswa Universitas Sumatera Utara atas Surat Keputusan (SK) Rektor USU mengenai pemecatan seluruh pengurus Pers Mahasiswa SUARA USU yang berjumlah 18 anggota ditolak Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan dalam sidang yang berlangsung pada Kamis (14/11/2019).
Hakim Ketua Budiamin Rodding dalam pertimbangan mengatakan bahwa tulisan yang diterbitkan oleh mahasiswa menimbulkan polemik di masyarakat.
"Dengan ini menyatakan menolak gugatan para penggugat seluruhnya dan membebankan membayar biaya perkara sebesar Rp317.000 kepada penggugat. Demikian diputus perkara ini," ujarnya.
Sementara hakim anggota Febri Hartati dalam persidangan juga mengatakan, tulisan atau cerita pendek dengan judul "Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya" menimbulkan penilaian dari pembaca. Lantaran cerita tersebut diklaim memuat hal yang berkaitan dengan pornografi atau LGBT.
"Menimbang bahwa ini kegiatan mahasiswa yang membawa nama USU berkewajiban menghormati wilayah USU sebagaimana terbuat dalam peraturan internal USU dan menjalankan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai jati diri USU yang tidak bertentangan dengan peraturan UU, peraturan daerah, peraturan rektor dan peraturan dekan bagaimana diamanatkan pasal 129 UU No 15 tentang tata kelola USU," ujar Febri.
Pimpinan Umum Suara USU Yael Stefani Sinaga kecewa atas putusan hakim tersebut. Ia menilai hakim tidak cermat dan keliru dalam mengambil keputusan.
Salah satu yang membuat Yael kecewa ketika hakim menyatakan tindakan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Runtung Sitepu telah sesuai prosedur saat memecat dirinya dan 17 anggota USU lainnya.
"Karena banyak sekali pertimbangan-pertimbangan hakim yang menurutku tidak dipikirkan dan dimusyawarahkan secara bijaksana," ujarnya kepada reporter Tirto, Sabtu (16/11/2019).
Hakim juga dinilai terlalu berpatokan pada peraturan-peraturan USU dan mengabaikan peraturan yang termaktub dalam Undang-undang.
"Belum lagi dengan hakim bilang mahasiswa harus tetap menjaga nilai, norma, etika, dan harus mengetahui batasan-batasan sosial yang ada. Ini menurutku hakim keliru. Aku tidak terima," ujarnya.
Yael mengajukan gugatan terhadap kampusnya sendiri ke PTUN Medan demi iklim demokrasi yang sehat di kemudian hari. Sebab, ia tak mau kejadian yang dialaminya berulang baik itu di lingkungan USU ataupun universitas lainnya.
"Supaya rektor dan birokrasi tahu bahwa mahasiswa tidak bisa disepelekan. Tidak sekedar main ancam dan tutup. Ini menjadi contoh ke depannya, agar para mahasiswa tidak takut lagi ketika menghadapi kejadian macam ini," terangnya.
Pemecatan pengurus redaksi Suara USU tersebut dilakukan Rektor melalui Surat Keputusan (SK) Rektor Univesitas Sumatera Utara (USU) Nomor 1319/UN5.1.R/SK/KMS/2019.
Kendati gugatannya ditolak, ia belum terpikirkan untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan.
"Kami masih mendiskusikan dengan kuasa hukum. Apakah bakal lanjut banding ke PTTUN. Jadi kami belum bisa katakan," ujarnya.
Sementara itu, Ressi Dwiana selaku Kepala Litbang Suara USU 2004 mengaku tidak kaget dengan putusan hakim tersebut.
"Kalau kita lihat komposisi orang-orang hukum di Sumut, pasti lah terkait dengan kampus, terutama dari USU," ujar Ressi kepada Tirto, Sabtu.
Kendati demikian ia mendukung adik-adiknya yang sedang berperkara di Suara USU sekarang untuk tetap mengajukan banding atas putusan hakim tersebut.
"[Banding] Perlu. Bukan saja untuk mendapatkan hasil yang lebih adil. Tetapi sebagai statemen bahwa Suara USU tidak akan mundur dari usaha-usaha mencari keadilan," ujarnya.
Senjakala Pers Mahasiswa
Ketua Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Erick Tanjung mengatakan AJI sebagai pihak yang mendukung kerja-kerja jurnalistik Suara USU merasa kecewa atas putusan hakim. Padahal ia mengaku sudah memberikan pendapat hukum dalam perkara tersebut agar bisa menjadi bahan pertimbangan majelis hakim.
"Isinya pendapat hukum bahwa keputusan rektor bertentangan dengan semangat pers mahasiswa serta asas atau aturan Dikti bahwa Perguruan tinggi menjunjung tinggi demokrasi," ujarnya kepada Tirto, Sabtu.
Ia juga keberatan dengan pernyataan hakim yang meminta agar anggota Suara USU dapat kooperatif sejalan dengan peraturan-peraturan kampus. Sebab bagaimanapun, pers mahasiswa menurutnya bukanlah humas universitas itu sendiri.
"Tidak bisa! Pers mahasiswa harus diberi ruang berkarya dan kebebasan dalam kemerdekaan pers. Tidak bisa mereka dijadikan humas rektorat. Kami tidak setuju dengan itu," tegasnya.
USU pun semestinya bisa bersikap luwes dengan membuka ruang-ruang berkarya bagi pers mahasiswa. Bukan justru dikerangkeng dan dibredel. Apalagi pers mahasiswa berada dalam lingkup pendidikan yang harus dibebaskan dalam menyatakan pandangannya.
Ia justru khawatir, sikap sewenang-wenang rektor USU menjadi acuan bagi kampus lain dalam memperlakukan pers mahasiswa atau mahasiswanya sendiri.
"Kemungkinan terburuknya ini akan menjadi preseden. Ke depannya birokrasi birokrasi kampus lain, ketika tidak senang dengan pers mahasiswa. Mereka bisa sewenang-wenang dan membredel," ujarnya.
Menurutnya ada cara yang lebih elok yang bisa dilakukan pihak kampus jika memang tidak sependapat dengan produk pers mahasiswa, selain bersikap arogan dengan pembredelan.
"Ketika ada kritikan dari pers mahasiswa, selesaikan dengan cara yang beradab. Misalnya diundang dan kasih hakim jawab. Di uu pers itu juga jelas," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Rahmad Ali berpandangan bahwa pers mahasiswa bukanlah humas dari sebuah universitas. Oleh karena itu ia mengatakan keberatan dengan alasan-alasan yang diutarakan hakim dalam pertimbangan putusan.
"Persma itu jelas punya garis ideologinya sendiri. Tidak boleh jadi humas, karena kampus punya humas sendiri," ujarnya pada Tirto, Sabtu.
Ia mengatakan sejak awal kasus bergulir PPMI tidak pernah sepakat dengan pembredelan Suara USU. Terlebih lagi putusan hakim menurutnya terlalu mengkerdilkan persoalan. Seolah-olah dengan Suara USU dibubarkan, anggotanya masih bisa berkarya dengan medium lain.
"Sementara yang kita pelajari, dalam putusan itu hakim juga berpendapat bahwa anggota inti pers mahasiswa Suara USU masih bisa menulis di tempat lain. Tidak harus di Suara USU. Arti dari kalimat itu adalah kampus tidak membungkam kebebasan berekspresi. Inikah logika yang ngawur," ujarnya.
Justru menurutnya pihak kampus harus berterima kasih dengan keberadaan pers mahasiswa di lingkungannya. Sebab kritikan pers mahasiswa bisa menjadi bahan evaluasi kampus agar lebih baik lagi.
"Harusnya kampus berterimakasih kepada pers mahasiswa yang mau mengkritik dan mengawal kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Kalau sudah tidak ada yang mengkritisi, bagaimana universitas bisa maju," ujarnya.
"Kita berencana akan ajukan banding bersama Suara USU dan ini juga masih dibahas."
Penyesuaian Suara USU dengan Kampus
Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Runtung Sitepu berterima kasih atas putusan hakim menolak gugatan Suara USU atas keputusan pemecatan yang ia keluarkan. Ia menilai hakim satu pandangan dengan pihak kampus.
"Terima kasih kepada majelis hakim PTUN Medan yang menangani perkara yang memiliki pandangan yang sama dengan USU. Betapa pentingnya penegakkan nilai-nilai keagamaan dan moral di kampus USU sesuai dengan visi-misi USU," ujarnya kepada tirto, Sabtu.
Ia mengaku akan lebih proaktif lagi untuk membina para anggota Suara USU di kemudian hari. Agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi.
"Agar benar-benar menjadikan UKM Suara USU menjadi laboratorium meningkatkan keterampilan yang sesuai keagamaan, moral, etika, dan kejujuran dalam setiap berita maupun cerita yang dimuat," ujarnya.
Ia juga tidak akan mempersoalkan apabila para anggota Suara USU akan mengajukan banding ke PTTUN. Sebab, menurutnya, itu hak hukum mereka. Namun ia menggarisbawahi jika bisa tidak.
"Tetapi kami akan sangat lebih menghargai jika mereka tidak mengajukan banding dan penggugatnya lebih memfokuskan diri untuk menyelesaikan studi demi masa depan yang lebih baik sesuai harapan orang tua juga," paparnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri