Menuju konten utama

Budaya Berbagi di Media Sosial

Berbagi di media sosial bukan lagi hal yang tabu. Privasi bukan lagi menjadi hal yang sakral untuk dibagikan kepada khalayak umum.

Budaya Berbagi di Media Sosial
Ilustrasi Sharing Informasi Via Smartphone. FOTO/iStock

tirto.id - Sepekan jelang Idul Fitri, sebuah pesan WhatsApp masuk. Isinya adalah nomor-nomor telepon yang bisa dihubungi dengan mudah untuk membantu meringankan tugas di dapur yang sedang tidak ada asisten rumah tangga. “Ibu2 yang pembantu nya pada Pulkam Biar gak ribet.. Emergency bagi yg pembantunya pulang. Delivery Order Domino Pizza 500366 Burger King 500025 Wendy's Restaurant 500063 Solaria 14099 Bakso Lapangan Tembak 08041444555…”

Pesan-pesan serupa banyak dibagikan di media sosial. Ada yang serius, ada yang berupa lelucon ataupun meme. Pesan-pesan tersebut merupakan bagian dari budaya berbagi yang kian banyak ditemui akhir-akhir ini. Budaya berbagi yang kian populer, tumbuh seiring dengan penggunaan media sosial yang kian meningkat digunakan masyarakat.

Mengutip data Statista, pada tahun 2017 diperkirakan terdapat 2,5 miliar orang yang menggunakan media sosial. Pada 2020 jumlahnya konon akan meningkat menjadi 2,9 miliar orang. Facebook menjadi penguasa media sosial. Platform yang identik dengan warna biru itu, memiliki 1,9 miliar pengguna. Tepat di bawahnya, ada WhatsApp yang juga dimiliki Facebook. WhatsApp, menjadi runner-up dengan 1,2 miliar pengguna aktif per April 2017 lalu.

Dengan jumlah pengguna yang kian besar, tak salah jika platform media sosial dipilih oleh masyarakat untuk saling menyebarkan informasi.

Kelahiran Media Sosial

Jumlah pengguna media sosial yang besar tak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi yang semakin mutakhir. Pada awal kelahirannya, web hanyalah sebatas dunia yang statis. Web 1.0, alias web versi awal, hanya memindahkan platform konvensional menuju digital semata. Pierre R. Berthon dalam jurnalnya berjudul Marketing Meets Web 2.0, Social Media, and Creative Consumer: Implication for International Marketing Strategy mengungkapkan, zaman Web 1.0 tak lebih hanyalah sebatas “brochurware” karena kestatisannya tersebut.

Internet kala itu, tidak dijadikan kanal penyebaran informasi oleh masyarakat karena teknologi belum menyajikan kenyamanan seperti saat ini.

Teknologi yang memudahkan siapa pun berbagi seperti yang sekarang kita nikmati, telah ada sejak 1979. Andreas M. Kaplan dalam jurnalnya berjudul Users of the World, Unite! The Challenges and Opportunities of Social Media mengungkapkan bahwa pada tahun tersebut, dua orang sahabat bernama Tom Truscott dan Jim Ellis dari Duke University, berhasil membuat sebuah platform bernama Usenet, sebuah sistem diskusi yang memungkinkan setiap orang mengunggah pesan secara publik. Sayangnya, karena penetrasi internet belum semasif sekarang, platform tersebut tak bisa berkembang sepesat Facebook, Twitter, atau WhatsApp di masa kini.

Berthon mengungkapkan, teknologi Web 2.0 berhasil mengubah “broadcast media monologues” (satu ke banyak) menjadi “social media dialogues” (banyak ke banyak). Secara sederhana, perubahan yang dihadirkan Web 2.0 menjadikan siapa saja bisa ikut membagi informasi dengan mudah. Penyebaran informasi, tidak lagi dimonopoli oleh publisher atau penerbit dengan medianya, tetapi oleh setiap orang melalui kanal-kanal media sosial. Dengan perubahan tersebut, Berthon mengungkapkan bahwa perubahan Web 1.0 menjadi Web 2.0 mengakibatkan “kita semua terhubung.”

Kehadiran platform yang memudahkan setiap orang menyebarkan informasi, menurut Berthon mengakibatkan adanya perpindahan kekuatan dari suatu firma, perusahaan, atau penerbit menuju kepada konsumen atau masyarakat. Jika kita lihat, kini banyak sumber-sumber informasi hadir lebih dahulu di media sosial dibandingkan di media-media konvensional, bahkan termasuk media-media yang memanfaatkan kecanggihan internet sekalipun. Media-media konvensional tak jarang mengutip kabar dari media sosial untuk kemudian ditulis ulang menjadi sebuah artikel.

infografik sosial media dan budaya berbagi

Bahaya Berbagi di Media Sosial

Dalam banyak hal, berbagi informasi di media sosial memang banyak manfaatnya. Namun, banyak pula sisi negatinya. Salah satunya adalah berkurangnya interaksi langsung antara si pemberi informasi dan penerimanya. Dikutip dari Psychology Today, interaksi umum yang ditemui manusia adalah interaksi dalam bentuk komunikasi non verbal. Dalam bentuk komunikasi tersebut, saat seseorang berinteraksi, saling bertukar informasi, masing-masing bisa melihat mimik dan ekspresi wajah, bahasa tubuh, gerak-gerik mata, ataupun bentuk-bentuk ekspresi tubuh lainnya. Ekspresi tubuh tersebut, penting untuk melihat jiwa dari interaksi yang dilakukan. Apakah si pemberi informasi mengabarkan informasinya dengan serius atau hanya sebatas guyonan semata.

Dalam dunia media sosial, saat seseorang menerima informasi, ia tidak akan tahu maksud sebenarnya dari informasi tersebut. Apakah informasi tersebut benar-benar informasi yang genting ataukah hanya sebatas lelucon semata. Pengguna media sosial yang menerima informasi, secara sederhana, tidak mengetahui maksud sebenarnya dari si pengirim atau penyebar informasi karena ketiadaan ekspresi tubuh yang bisa dilihat si penerima informasi.

Akibatnya, sering ditemui informasi atau berita palsu alias hoax di media sosial. Dipacak dari Statista, lebih dari 30 persen pengguna Facebook dan Twitter mengungkapkan bahwa mereka melihat lebih dari sekali berita palsu setiap harinya.

Dan menengok kembali informasi yang disebarkan melalui WhatsApp di atas, kita, si penerima, tidak akan tahu pasti apa yang dikehendaki dan maksud si penyebar informasi tersebut mengirimkan pesan tersebut.

Baca juga artikel terkait MEDIA SOSIAL atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti