Menuju konten utama

Brexit? UE? Maaf, Sangat Jauh

Inggris belakangan ini kembali menghiasi headline berita internasional. Jika diingat kembali, sudah cukup lama negara mantan hegemon ini tidak mendapatkan porsi pemberitaan sebesar saat ini. Harus diakui, pesona Inggris dalam perpolitikan global makin pudar di tengah benderang pengaruh Amerika Serikat, Rusia, bahkan Cina.

Brexit? UE? Maaf, Sangat Jauh
Kapal ikan berlayar melewati parlemen di sungai thames, london, inggris. Antara foto/Reuters/Stefan Wermuth

tirto.id - Nama Inggris kembali muncul beberapa minggu terakhir ini. Uniknya, selayaknya artis masa lalu yang kembali terkenal karena berpisah dari pasangannya, perhatian akan Inggris juga terkatrol dengan spekulasi keluarnya mereka dari Uni Eropa (UE), atau lazim disebut British Exit atau “Brexit”.

Brexit ternyata cukup menggemparkan publik internasional. Berbagai ulasan dikeluarkan oleh media-media internasional. Jajak pendapat dan survei dihelat. Di sisi lain, sentimen pasar dalam arena ekonomi global turut terpengaruh. Beberapa mata uang strategis seperti poundsterling dan euro melemah. Perdagangan bursa saham di negara-negara UE menjadi lesu, sementara para investor menahan modalnya sambil menunggu perkembangan situasi.

Sekilas, fenomena-fenomena ini menunjukkan bahwa Inggris masih cukup berperan di dalam konstelasi ekonomi maupun politik global. Pertanyaan berikutnya: apakah pengaruh Brexit memang sebesar itu? Bagaimana dengan ASEAN?

ASEAN adalah Made in Cina

Kita harus mengakui bahwa Asia Tenggara adalah milik Cina, bukan Uni Eropa apalagi Inggris. Perekonomian kawasan ini lebih terintegrasi dengan Cina dibandingkan Uni Eropa dan Inggris. Negara-negara ASEAN akan lebih kelimpungan menghadapi Cina yang—misalnya-- mengalihkan investasinya ke Afrika dibandingkan Inggris yang keluar dari UE.

Dominasi Cina atas ekonomi Asia Tenggara salah satunya dapat kita lihat dari angka net export (selisih antara angka ekspor dan impor suatu negara). Sebagai contoh, pada tahun 2015, nilai ekspor Cina ke Indonesia (salah satu negara dengan perekonomian terbesar di ASEAN) tercatat sejumlah 34.375,28 juta dolar AS, sementara nilai impor Cina dari Indonesia sebesar 19.814,52 juta dolar AS. Berdasarkan data tersebut, Cina membukukan surplus net export sebesar 14.560,76 juta dolar AS. Sementara itu, di tahun yang sama, Inggris mencatatkan nilai ekspor sejumlah 704,98 juta dolar AS dengan nilai impor 1.834,50 juta dolar AS. Inggris mengalami defisit net export sebesar 1.129, 52 juta dolar. Besarnya perbandingan antara net export Inggris dan Cina di atas menunjukkan seberapa besar integrasi ekonomi antara kedua negara tersebut dengan ASEAN.

Ekonom senior dari Capital Economics, Daniel Martin, menyatakan bahwa ekspor Inggris hanya menyentuh angka 0,7% dari gross domestic product (GDP) negara-negara Asia. “Bahkan, jika ekspor Inggris ke Asia turun sampai 25%, kondisi itu hanya akan berpengaruh sebesar 0,2% terhadap GDP Asia,” paparnya kepada Bloomberg.

Martin menyatakan, di Asia, Inggris hanya memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan Kamboja, Singapura, Vietnam, dan Hong Kong (yang bukan anggota ASEAN). Di sisi lain, ekspor Inggris ke Thailand, salah satu negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN, hanya sebesar 2% dari total impor Thailand. Sebaliknya, gabungan total ekspor Thailand ke UE dan Inggris menyentuh angka 12%. Brexit mungkin saja membawa konsekuensi besar terhadap angka ini, tapi Thailand diperkirakan dapat segera menyelesaikannya melalui pembahasan mekanisme perdagangan bebas secara terpisah dengan UE dan Inggris.

Singapura memiliki pandangan yang sedikit lebih pesimistis dibandingkan negara ASEAN lainnya. Dikutip dari laman channelnewsasia.com, Federasi Bisnis Singapura (SBF) menyatakan, “Dalam jangka waktu pendek, jika volume perdagangan dan aktivitas ekonomi Inggris terganggu [akibat Brexit], maka akan berpengaruh negatif pula terhadap hubungan dagang Singapura dengan Inggris, sekaligus melemahkan zona Euro. Hal ini akan menimbulkan hambatan baru bagi perekonomian Singapura dan dunia.”

SBF mengasumsikan, Brexit akan menimbulkan kepanikan di antara para pelaku ekonomi global yang akan menarik modalnya dari negara-negara tujuan investasi di Asia Tenggara. Kondisi ini ditakutkan akan mengulangi krisis ekonomi tahun 1998, khususnya bagi negara-negara ASEAN ekonominya sangat bergantung kepada aliran dana asing seperti Malaysia dan Indonesia.

Gambaran yang diberikan oleh SBF tersebut tampak terlalu pesimistis jika dibandingkan dengan fakta yang ditemui dalam hari-hari menjelang referendum Brexit pada 23 Juni mendatang. Bursa saham di negara-negara ASEAN terhitung masih normal, begitu pula dengan nilai tukar mata uang yang masih dalam tingkat aman. Investor dan para spekulan juga belum melakukan aksi tarik dana besar-besaran seperti yang sebelumnya diperkirakan. Brexit mungkin akan mengakibatkan guncangan ekonomi, tetapi skalanya masih bisa diantisipasi oleh negara-negara ASEAN, layaknya sebuah mobil yang melenting sesaat setelah melalui gundukan polisi tidur.

Asia Tenggara Bukan Halaman Belakang Inggris

Inggris sejauh ini juga tidak memiliki kepentingan geopolitik tertentu di Asia Tenggara. Kawasan ini secara geografis terlalu jauh untuk diperhitungkan ke dalam postur militer dan strategi pertahanan Inggris. Selain itu, Inggris tidak memiliki ancaman nyata yang muncul dari Asia Tenggara.

Inggris mungkin tidak terlalu khawatir dengan agresivitas Cina di Laut Cina Selatan. Cina sama sekali tidak memberikan ancaman apapun bagi Inggris, baik saat ini maupun di masa depan. Inggris pun tidak memiliki “kewajiban” untuk melindungi negara-negara atau wilayah tertentu di kawasan ini, seperti Amerika Serikat (AS) yang harus “menjaga” Jepang dan Korea Selatan dari Cina.

Inggris tampaknya sadar, apabila mereka mengikuti petualangan geopolitik AS di Laut Cina Selatan, risikonya teramat besar. Inggris tidak mendapatkan keuntungan nyata dari aksi semacam itu, dan, biaya operasional militer yang dikeluarkan akan terlalu besar. Selain itu, Negara Ratu Elizabeth ini sudah terlalu disibukkan menghadang Rusia yang menunggu di sebelah timur Eropa. Rusia adalah ancaman yang lebih nyata karena kehadirannya sudah terasa di “halaman belakang” Inggris dan Uni Eropa secara keseluruhan. Asia Tenggara, di sisi lain, lebih merupakan “halaman belakang” Amerika Serikat yang rumputnya jelas-jelas tidak lebih hijau dari halaman belakang Inggris di Eropa.

Sementara itu, negara-negara di Asia Tenggara sendiri juga tidak terlalu membutuhkan peran Inggris selaku kekuatan penyeimbang bagi Cina. Negara-negara ASEAN cenderung berusaha untuk mempererat kerja sama di antara mereka sendiri untuk menghadang Cina. Usaha-usaha ini juga mencakup pelibatan rival-rival Cina lainnya dalam ASEAN Plus Three (Jepang, Korea Selatan, dan Cina sendiri) serta negara-negara emerging economy seperti India, Australia, dan New Zealand selaku observer dalam pertemuan-pertemuan ASEAN. ASEAN bahkan beberapa kali turut melibatkan negara hegemon lainnya seperti Rusia—yang letak geografisnya lebih dekat dengan ASEAN—serta AS. Jika diplomasi ASEAN berhasil, maka Cina secara geopolitik akan dikurung oleh kekuatan-kekuatan militer dan ekonomi kelas menengah mulai dari India di barat, Rusia di Utara, Australia dan Selandia Baru di Selatan ditambah dengan armada AS yang sering berpatroli di wilayah ini.

Inggris? UE? Maaf, mereka terlalu jauh.

Sun Tzu, seorang ahli militer Cina pernah berkata, “Ancaman terbesar bagi negara terkuat di suatu kawasan bukanlah negara terkuat di kawasan lain, tetapi negara terkuat kedua di kawasan yang sama.”

Inggris dan ASEAN tampaknya telah meresapi benar kata-kata tersebut.

Baca juga artikel terkait POLITIK atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Politik
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti