Menuju konten utama

Bondan Winarno Tiada, 'Maknyuss' Abadi

Wartawan investigasi andal, penulis tangguh, dan presenter kuliner dengan kekayaan pengetahuan ini meninggal dunia pagi ini.

Bondan Winarno Tiada, 'Maknyuss' Abadi
Bondan Winarno. Tirto/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Hari masih terlalu pagi, tapi Bondan Winarno sudah berada di Gang Pinggir, Semarang. Ia dapat kabar, sang ibu mulai enggan makan. Bondan ingat makanan favorit ibunya, sup asparagus kepiting dan mi goreng.

"Ternyata makanan kegemaran itu tidak sempat disentuh Ibu. Ia pergi hanya beberapa saat setelah saya tiba di rumah. Malam harinya, setelah kami mengantar ibu ke peristirahatan terakhir, makanan itu kami panaskan dan kami makan ramai-ramai sambil mengenang Ibu."

Bondan menuliskan pengalaman terakhirnya bersama sang ibu dalam esai menyentuh berjudul "Gang Pinggir". Esai itu menegaskan bahwa Bondan punya ikatan kuat dengan makanan. Baginya, rasa makanan adalah penuntun terbaik seseorang untuk menapaki jalan kenangan. Ia menyebut bahwa rasa adalah yang membuat ibunya menjadi abadi.

Dalam "Gang Pinggir", Bondan kemudian menarik masa hidupnya ke belakang. Tentang tiga restoran terkenal di Gang Pinggir—Ki Twan Kie, Bien Lok, dan Phien Tjwan Hiang. Juga tentang makanan-makanan yang lengket erat dalam benak Bondan, meski usianya sudah merambat jauh. Dari swiekee, pimbak, cakwe, hingga sate dan gulai tulang sumsum.

Banyak orang memacak Bondan sebagai ahli kuliner berkat Wisata Kuliner. Bisa dibilang program itu adalah pionir acara perjalanan untuk mencari makanan enak. Setelahnya, televisi mulai kebanjiran acara serupa. Tapi satu yang tak bisa mereka tiru: kualitas presenternya.

Bondan membawakan Wisata Kuliner berbekal pengalaman kaya nan panjang soal cita rasa. Ia bisa mengisahkan padamu tentang apa perbedaan gulai ala Minang, ala Pekalongan, dan ala Madura. Bondan juga bisa dengan lihai menceritakan sejarah kecap, gula merah, atau kenapa soto Kudus memakai daging kerbau. Dengan bekal itu, ia membawakan sebuah acara kuliner yang tak hanya memanjakan mata, tapi juga mengenyangkan otak. Sesuatu yang rasa-rasanya belum bisa disamai presenter acara kuliner Indonesia hingga sekarang.

Baca juga: Bondan Winarno Sebut Yu Djum Street Food Warrior

Pengalaman kaya itu datang dari kisah hidupnya yang penuh warna. Bondan lahir di Surabaya, 29 April 1950. Ia aktif di berbagai kegiatan, salah satunya Pramuka. Salah satu motto hidupnya—juga ia pajang di bio Twitter—ia ambil dari moto Pramuka: on my honor, I will do my best.

Bondan sempat punya cita-cita sebagai penerbang, juga ingin masuk Fakultas Sastra. Tapi sang ibu ingin anaknya jadi insinyur. Jadilah Bondan masuk ke Fakultas Teknik Arsitektur, Universitas Diponegoro. Selagi kuliah, Bondan menyambi jadi fotografer Pusat Penerangan Pertahanan dan Keamanan di Jakarta. Hal ini membuat Bondan tak sempat menyelesaikan kuliahnya. Di sela-sela pekerjaannya, Bondan masih menekuni hobinya: menulis. Sebagai seorang penulis, staminanya kuat. Ia dikenal sebagai penulis kilat dan bisa menyelesaikan naskah di mana pun.

Ada kisah menarik tentang ini. Pada 1984 Bondan mendapat mandat untuk mengasuh kolom baru di majalah TEMPO. Nama rubriknya Kiat. Isinya tentang manajemen dan ekonomi. Tak berat, ringan saja. Awalnya, kolom ini direncanakan terbit dua minggu. Ternyata Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi TEMPO kala itu, lupa memberitahu redaktur TEMPO tentang jadwal tayang Kiat. Yang harusnya dua minggu sekali, jadi satu minggu sekali.

Bondan tak keteteran. Ketika ia pindah ke Forum Keadilan dan Kontan karena TEMPO dibredel, Kiat turut pula diusung. Dua tahun kemudian, kumpulan artikel di Kiat dibukukan menjadi dua seri buku berjudul Seratus KIAT. Dalam kata pengantarnya, Bondan menyebut, "...beruntung mempunyai kemampuan menulis di berbagai situasi." Kebanyakan artikel Kiat tahun pertama, ia tulis di pesawat dan ruang tunggu bandara.

Kelahiran Bre-X dan Jalansutra

Sebagai seorang jurnalis, nama Bondan begitu harum. Karyanya, Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi menjadi semacam buku babon bagi para jurnalis investigatif di Indonesia.

Bre-X berkisah tentang skandal perusahaan Bre-X Mineral asal Kanada yang menambang emas di Busang, Kalimantan Timur. Geolog asal Belanda, John Felderhof yang pertama kali mengungkapkan ada potensi cadangan emas hingga 2 juta ton di sana. Untuk mendapat dana, Felderhof mengajak David Walsh, seorang promotor saham. Dengan iming-iming jumlah cadangan emas itu, harga saham Bre-X meningkat. Dari awalnya CAD27 sen, melejit hingga mencapai angka CAD201 dolar.

Pada Maret 1997, Freeport-McMoran yang ikut mengebor di Busang, mengatakan bahwa cadangan emas di sana tidak banyak. Mereka bilang bahwa "potensi sumber emas di sana terlalu dilebih-lebihkan, karena sampel yang tidak valid." Harga saham Bre-X langsung terjun bebas, menjadi CAD8 sen saja.

Skandal Bre-X ini rumit karena melibatkan banyak intrik, juga menyeret banyak nama pejabat tinggi Indonesia. Bondan tergerak untuk menuliskan perkara ini saat mendengar Michael Antonio Tuason de Guzman, manajer eksplorasi Bre-X, ditemukan meninggal karena jatuh dari helikopter saat akan memenuhi panggilan Freeport. Beberapa pihak menyebut ia bunuh diri karena kebohongan soal cadangan emas terbongkar.

Namun, Bondan mencium banyak kejanggalan. Pertama, jenazah de Guzman hanya hancur di sebagian mata dan pipi. Bondan menyebut ia pernah melihat jenazah orang yang jatuh dari ketinggian 1.500 kaki: sudah jadi daging dan tulang. Orang yang jatuh dari ketinggian 800 kaki juga pasti akan sama. Kondisi jenazah de Guzman tidak tampak seperti itu.

Kedua, Bondan heran betapa cepatnya jenazah de Guzman ditemukan, hanya empat hari sejak de Guzman dikabarkan jatuh dari helikopter. Ia mengisahkan hal ini dalam wawancara bersama wartawan Oryza Ardyansyah.

"Ada pesawat hilang di Kalimantan yang oleh para penerbang dijuluki sebagai broccoli forest saking rapatnya pepohonan, dan sampai sekarang pesawat itu tidak ditemukan. Kok tiba-tiba jenazah yang begitu kecil dapat ditemukan dalam waktu singkat?"

Maka, Bondan yang saat itu bekerja sebagai direktur perusahaan yang sedang mengalami kelesuan bisnis, tergerak untuk melakukan investigasi. "Sebuah keisengan, mumpung tidak sibuk," ujarnya.

Ia merogoh kocek sendiri untuk mendanai liputan. Total waktu investigasi sekitar empat minggu, dengan jumlah narasumber sekitar 30 orang, tersebar dari Jakarta, Samarinda, Balikpapan, Busang, Manila, juga Toronto dan Calgary di Kanada. Setelah investigasi, Bondan menulis Bre-X dalam waktu dua bulan saja.

Ketika terbit, buku ini menimbulkan kegegeran. Bondan mengatakan ada seorang pejabat yang berani mengganti biaya liputan asal buku tak diedarkan. Bre-X dicekal. Bondan kesal. Kerja kerasnya tidak dihargai. Ia sempat ingin menghancurkan sekitar 5.000 eksemplar sisa Bre-X. Tapi kemudian Soeharto turun dari tahta.

Infografik Bondan winarno

Bre-X kembali diedarkan. Pada Juni 1998, buku ini bisa ditemui di banyak lapak. Tapi kali ini Bondan menghadapi musuh baru: I.B Sudjana, mantan Menteri Pertambangan dan Energi. Sudjana menganggap Bondan mencemarkan nama baiknya. Ia menuntut Rp2 triliun, dan pemasangan iklan permintaan maaf di 10 media cetak Jakarta dan di Bali.

Bondan kalah. Ia diharuskan membayar ongkos perkara Rp1.000 dan menjalani hukuman percobaan beberapa bulan. Kekesalan Bondan makin menjadi karena ia dituduh dibayar oleh Kuntoro Mangkusubroto, yang kelak menjadi Menteri Pertambangan dan Energi.

"Saya sakit hati. Banyak pejabat yang menduga wartawan itu kere dan tidak punya duit, karena itu tidak mungkin seorang wartawan membiayai sendiri investigasi sekaliber itu. Tuduhan ini sangat menyakitkan," kata Bondan.

Bisa jadi rasa sakit hati itu yang kemudian mendorong Bondan untuk enggan menulis lagi perkara serius dengan intens. Sejak 1 April 2001, Bondan jadi pemimpin redaksi Suara Pembaruan. Ia membuat kolom bernama Jalansutra. Ketika pensiun dari Suara Pembaruan tiga tahun kemudian, Bondan diminta untuk mengisi kolom di Kompas Cyber Media. Jalansutra pun berlanjut.

"Jalansutra bukanlah Jalan Sutra (Silk Road). Dan Makansutra bukanlah makan sutra (silk eating). Ingat Kamasutra—sutra (pengetahuan dan keterampilan) tentang kama atau hal-hal yang menyangkut hubungan ragawi antara perempuan dan laki-laki. Jadi, Jalansutra adalah pengetahuan tentang jalan-jalan. Dan karena jalan-jalan biasanya juga melibatkan makan-makan, maka Jalansutra sekaligus mengandung Makansutra," tulisnya dalam kata pengantar Jalansutra (2003).

Jalansutra kemudian menjelma jadi nama komunitas milis, dengan anggota mencapai belasan ribu orang. Para anggotanya rutin berbagi kisah jalan-jalan dan makan-makan. Bondan dianggap sebagai bapak di komunitas ini. Banyak anggota sering berbagi kisah personal kepada Bondan.

"Saya terharu ketika suatu pagi menerima surat-e dari seorang pembaca di Chicago. 'Pak, saya baru tertimpa musibah. Saya keguguran.' Tiba-tiba saya merasa begitu dekat dengan dia, sekalipun saya belum mengenalnya dengan baik. Kalau dia bisa berbagi tentang hal-hal sepribadi itu, tentulah dia merasa cukup dengan saya selama ini," tulis Bondan.

Setelah namanya dikenal secara luas, dan berkat acara Wisata Kuliner, banyak orang menanyakan pertanyaan sama: Bagaimana Bondan menjaga kesehatan?

Bondan sendiri mengaku takut pada kematian. Dalam satu wawancara, Bondan bilang takut mati muda. Ini bersumber dari ayahnya, Imam Soepangat, yang meninggal pada usia 55 tahun. Kakak lelakinya, Harso Widodo, meninggal pada usia 52 tahun.

"Jadi saya pikir, umur saya barangkali cuma 55," ujar Bondan.

Tebakan itu meleset. Bondan panjang umur, dan masih aktif. Di Twitter, ia rutin mencuit soal banyak hal. Dari makanan, referensi restoran, hingga politik. Bondan sempat menjadi calon legislatif dari Partai Gerakan Indonesia Raya pada 2014, tetapi kalah. Begitu pula di Instagram, tempatnya mengunggah banyak foto makanan dan perjalanannya.

Tapi sejak beberapa minggu terakhir, Bondan berkata kesehatannya menurun. Lewat tulisan di laman Jalansutra, Bondan membongkar apa yang ia sebut sebagai "rahasia."

Sejak 2005, ujarnya, jemari kanannya merasa kesemutan. Setelah serangkaian proses konsultasi, ditemukan bahwa aortanya mengalami penggembungan (aorta aneurysm). Pada 27 September 2017, Bondan menjalani dua operasi: penggantian katup aorta dan penggantian aorta. Operasinya berhasil.

Kondisi Bondan sempat stabil. Ia kembali aktif mencuit di Twitter. Cuitan terakhirnya tertanggal 21 November 2017. Saat itu Bondan mengucapkan bela sungkawa kepada seorang kerabat yang meninggal. Siapa yang menyangka, delapan hari kemudian, Bondan meninggal. Usianya 67 tahun.

Baca juga: Pakar Kuliner Bondan Winarno Meninggal

Bondan meninggalkan banyak karya tulis yang akan terus dibaca dan dihormati. Sebagai presenter maupun penulis kuliner, belum ada yang menyamai kewaskitaannya. Bahkan, ekspresinya yang terkenal dalam Wisata Kuliner dijadikan merek produk beras: Maknyuss. Untuk warisan-warisan tak ternilai itu, Bondan akan selalu ada di antara kita.

Baca juga artikel terkait BONDAN WINARNO MENINGGAL atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Humaniora
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani