tirto.id - Kabar duka datang hari ini. Pukul 09.05, maestro kuliner Indonesia Bondan Haryo Winarno mengembuskan napas di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Slipi, Jakarta Barat. Primus Doromilu, pemimpin redaksi Suara Pembaruan—harian yang pernah dikepalai Bondan—mengatakan seniornya meninggal karena serangan jantung.
Publik lebih mengenal Bondan sebagai pakar kuliner yang wara-wiri ke pelbagai daerah, dengan kata pamungkas yang seakan diciptakan hanya untuk dirinya sendiri: maknyuss!
Ucapan 'maknyuss' terlontar ketika Bondan usai mencicipi makanan. Bisa sekadar nasi goreng kaki lima, atau hidangan di rumah makan mewah. Kadang terlihat keringat mengucur dari dahinya ketika mengucapkan itu. Bikin semua yang melihat ikut-ikutan kabita.
Baca juga:Bondan Winarno Meninggal: Warganet Berduka lewat Tagar #Maknyus
Tapi mengingat Bondan bukan sekadar perkara kuliner. Ia lebih luas dari itu. Ibarat gunung es di lautan, presenter acara kuliner ini adalah puncak, dan di bawahnya jauh lebih luas dari apa yang terlihat.
Apa yang tidak orang banyak tahu soal Bondan adalah aktivitas intelektualnya. Ia seorang jurnalis pilih tanding dengan karya-karya kelas wahid. Di antara semua karyanya, satu yang jadi magnum opus sepanjang hidupnya adalah Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi (1997). Salah satu profil dalam laporan investigatifnya adalah laki-laki bernama Michael de Guzman.
De Guzman, geolog asal Fipilina, pada 1993 mengumumkan hal yang mengejutkan: ada jutaan ton emas tertimbun di bawah tanah Busang, Kalimantan Timur. Ia tahu peluang ini bisa bikin kaya mendadak. Maka, beberapa tahun setelahnya, de Guzman memproduksi ribuan sampel emas agar investor menanamkan modal di perusahaan tempatnya bekerja: Bre-X Minerals.
Semua terlihat baik-baik saja. Apa yang bermasalah hanya satu: di Busang tidak pernah sama sekali ada emas.
Kebohongan de Guzman terkuak. Ketika berada di helikopter menuju Busang untuk membuktikan kalau di sana memang benar-benar ada emas, de Guzman tiba-tiba hilang. Ada yang bilang ia dibunuh, ada yang bilang ia bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari helikopter yang ketika itu hanya ada dirinya dan pilot.
Jenazahnya ditemukan dengan mudah, tertelungkup di dekat rawa pada petak 85 areal HPH milik perusahaan bernama PT Sumalindo Group. Tapi Bondan ragu itu adalah mayat de Guzman. Lebih dalam, Bondan bahkan ragu kalau de Guzman dibunuh atau bunuh diri.
"Kalau dengan teori deduksi kita memperhatikan bagaimana selama ini Michael de Guzman diduga telah memperdaya para investor, bahkan juga memperdaya semua pakar geologi dunia, tampaknya tak terlalu sulit amat baginya membuat skenario bunuh diri itu—dengan alibi yang sungguh meyakinkan—untuk mengecoh kita semua," tulis Bondan (hlm. 94).
Buku ini bikin malu penguasa. Maklum, pejabat di Jakarta juga kena tipu. Mereka pernah ingin punya saham di wilayah itu karena emoh bila keuntungan hanya dikantongi Bre-X Minerals.
Bre-X kemudian jadi semacam buku wajib bagi wartawan yang ingin serius menggeluti profesinya.
Disanjung di sana-sini, Bondan berkata dengan rendah hati: “Saya tidak menganggap buku saya itu monumental. Mungkin saja yang baik/kompeten di antara yang belum ada. Ukurannya terlalu nisbi. Pembandingnya tidak ada. Plis deh, jangan bikin saya besar kepala.”
Ia berkata hal itu kepada wartawan Oryza Ardyansyah Wirawan dalam "Bre-X" yang termuat di Pantau, Agustus 2007.
Sebelum Bre-X, karya jurnalistik Bondan lain yang tidak kalah terkenal adalah Neraka di Laut Jawa: Tampomas II terbitan Sinar Harapan (1981). Tulisan feature ini mengulas salah satu tragedi transportasi terbesar di Indonesia, terbakarnya kapal Tampomas pada Januari 1981.
Tulisan-tulisannya tersebar di beberapa media seperti Sinar Harapan, Suara Pembaruan,Kompas, dan Tempo. Ia juga sempat memimpin ruang redaksi Suara Pembaruan pada 2001 hingga 2003.
Bisa dibilang, hampir sepanjang hidupnya, Bondan dihabiskan di dunia tulis-menulis. Ia telah menulis lepas sejak 1960-an ketika baru berusia 10-an tahun (Bondan lahir pada 1950). Belasan karya telah dia ciptakan, termasuk buku fiksi Cafe Opera: Kumpulan Cerita Pendek (1986), dan buku manajemen, Kiat Bondan di Kontan:Berpikir Strategis di Saat Krisis (1998).
Baca juga:
Pakar Kuliner Bondan Winarno MeninggalTahun-tahun akhir hidupnya kemudian dihabiskan dengan berbisnis. Salah satu produk yang paling terkenal adalah Kopitiam Oey, yang didirikan bersama Wasis Gunarto (kini CEO Kopitiam Oey). Bondan adalah pemilik tunggal perusahaan itu, tapi mengembangkan outlet dengan skema kemitraan, kecuali yang ada di Jalan Sabang, Tune Hotel Pasar Baru, Bandung, dan Sentul City.
Dalam tulisannya dengan ejaan lawas, Bondan berujar bahwa visinya mendirikan Kopitiam Oey adalah agar masyarakat bisa mendapat kopi kualitas terbaik, tapi dengan harga masuk akal.
"Saja berfikir keras oentoek bisa menjadjiken koffie bermoetoe di tempat njang njaman, tetapi harganja tida bole mahal. Haroes ada oentoeng, soepaja oesaha bole voortbestaan alias teroes madjoe. Tetapi, para tamoe misti diberi harga njang masoek akal, soepaja marika njang boemipoetra maoepoen kaoem vreemde oosterlingen atawa kaoem peranakan njang toempa dara di negeri ini dapet bangga menikmati koffie sebagai productie bangsa sendiri," katanya.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Fahri Salam