Menuju konten utama

Bom Waktu Kekurangan Pasokan LPG

Keberhasilan konversi minyak tanah ke LPG ternyata memunculkan permasalahan baru. Penggunaannya yang terus meningkat ternyata menimbulkan masalah pasokan di kemudian hari. Termasuk juga masalah subsidi LPG yang semakin membebani.

Bom Waktu Kekurangan Pasokan LPG
Dua buruh melakukan bongkar muat elpiji tiga kg ke kapal motor di Pelabuhan Rakyat, Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (10/1). ANTARA FOTO/Jojon/aww/16.

tirto.id - Dalam kurun waktu 10 tahun sejak konversi minyak tanah ke LPG pada 2007 konsumsi LPG bersubsidi melonjak 700 persen. Total konsumsi LPG pada tahun 2016 mencapai 7 juta Metrik Ton (MT). Dari jumlah tersebut, lebih dari setengahnya masih diimpor.

Pada acara Forum LPG Indonesia bulan Januari 2017, SVP Integrated Supply Chain Pertamina Daniel Purba mengatakan sebanyak 65 persen kebutuhan LPG pada 2016 dipenuhi dari impor dan pada tahun 2017 impor diperkirakan meningkat 70 persen. Menurut data dari Pertamina, konsumsi LPG bersubsidi sebesar 6,01 juta MT atau lebih hemat dari alokasi APBN perubahan 2016 sebesar 6,225 juta MT. Sedangkan konsumsi LPG Non Subsidi sebesar 790 ribu MT.

Pada 2017, pemerintah telah menetapkan alokasi LPG bersubsidi sebesar 7,096 juta MT dengan jumlah subsidi sebesar Rp20 triliun, dengan distribusi rencananya secara tertutup melalui pembelian secara non tunai. Tingginya kenaikan alokasi volume LPG bersubsidi hingga 16,7% atau lebih tinggi dari pertumbuhan konsumsi tahunan sebesar 13% menunjukkan bahwa pemerintah menjaga betul agar tidak ada kelangkaan LPG bersubsidi.

Alokasi LPG terus ditambah. Di saat yang sama, pemerintah harus mewaspadai kemungkinan terjadinya kesulitan pasokan. Ini dikarenakan produksi C3 dan C4 yang merupakan komponen LPG secara alami pada migas semakin menurun, sehingga biaya memproduksi LPG di dalam negeri melalui kilang minyak Pertamina akan semakin mahal. Alasannya, Pertamina harus melakukan cracking rantai carbon yang lebih pajang untuk mendapatkan C3 dan C4. Solusi paling mudah adalah impor LPG.

Perubahan hasil produksi migas saat ini lebih banyak didominasi gas C1 yang memiliki massa lebih ringan dan tingkat karbon lebih rendah. Celakanya negara produsen gas lainnya juga memiliki kecenderungan yang sama, yaitu produksi gas didominasi C1, sehingga pada masa yang akan datang, LPG akan menjadi barang yang sulit di cari di dunia dan harganya akan beranjak naik.

Gas C1 lebih dikenal dengan Liquefid Natural Gas (LNG). Indonesia memiliki produksi LNG yang melimpah dan selama ini lebih banyak dilakukan ekspor. Bahkan sejak tahun 1970an Indonesia sudah membangun pengolahan LNG seperti di Arun, Badak, Tangguh Papua dan terbaru di Donggi Senoro. Cadangan gas alam Indonesia cukup besar yaitu 170 TSCF dan dengan tingkat produksi saat ini diperkirakan akan bisa dimanfaatkan minimal sampai 50 tahun ke depan.

Infografik Krisis LPG

Jaringan Gas Kota

Pasokan LPG di masa depan terancam. Salah satu solusi yang bisa “dicicil” untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah dengan membangun jaringan gas kota. Ini penting mengingat konsumsi LPG sebagian besar adalah di perkotaan.

Menurut data BPS penduduk Indonesia akan lebih banyak tinggal di perkotaan. Pada tahun 2030 komposisi penduduk perkotaan akan mencapai sekitar 70% yaitu sebesar 345 juta jiwa akan hidup diperkotaan. Dibandingkan tahun 2016 yang komposisi penduduk perkotaan masih 55% atau sebesar 141 juta jiwa, maka akan ada peningkatan sebesar 145%. Dengan memperhatikan konsumsi LPG tahun 2016 sebesar 7 juta Mt dan pertumbuhan rata-rata 13% aka maka pada 2030 dibutuhkan LPG sebesar 38 juta Mt.

Dengan hitung-hitungan tersebut, maka LPG di perkotaan akan menjadi masalah besar. Salah satu solusinya adalah dengan pembangunan jaringan gas perkotaan. Keunggulan LPG hanya terletak pada mobilitas yang mudah dengan tabung-tabung kecil dibandingkan LNG yang harus dilakukan pipanisasi. LPG hanya cocok untuk daerah penduduk yang relatif jarang dan distribusi yang jauh. Terlebih tren pemukiman perkotaan adalah vertikal, sehingga penggunaan LPG menjadi kurang sesuai. Apalagi pemanfatan basement sebagai lokasi foodcourt dan sebagainya akan sangat berbahaya jika menggunakan LPG karena jika ada kebocoran, maka gas LPG akan berada di atas lantai dan risiko kebakaran jika ada percikan api.

Namun, membangun jaringan gas perkotaan memang bukan hal yang mudah. Ia hanya bisa dilakukan di kota yang dekat dengan sumber gas yang dibangun oleh Pertamina dan PGN. Kota yang didesain 100% mampu menggunakan LNG baru di Prabumulih yang juga dekat dengan sumber gas. Tak hanya itu, investasinya pun tidak sedikit sehingga masih belum dilirik. Misalnya untuk jaringan gas Prabumulih. Total APBN untuk pembangunan jaringan gas Prabumulih sebesar Rp493,5 miliar. Ini tentu jauh lebih kecil dari subsidi APBN-P 2016 untuk LPG yang sebesar Rp42,31 triliun.

Bagaimana dengan kota-kota di Jawa, khususnya kota besar yang arus urbanisasinya sangat tinggi dan infrastruktur kotanya carut marut? Untuk kota besar dengan peluang membangun jaringan secara bebas sangat terbatas, saat ini dapat dikatakan penggunaan gas alam masih dilakukan secara sporadis antara Pertagas atau PGN dengan pengembang atau Pemda. Namun dengan tingkat kebutuhan LPG yang mencapai 38 juta Mt pada tahun 2030, pemerintah harus melakukan langkah revolusioner dengan membangun instalasi gas secara besar-besaran di perkotaan. Keberanian untuk melakukan investasi gas perkotaan harus didorong oleh pemerintah dengan berbagai insentif, jika perlu subsidi energi sebagian dialihkan ke pembangunan jaringan gas perkotaan, agar tidak terjebak dengan subsidi yang jauh lebih besar di masa mendatang.

Baca juga artikel terkait ELPIJI atau tulisan lainnya dari Arief Hermawan

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Arief Hermawan
Penulis: Arief Hermawan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti