Menuju konten utama

Bom Bunuh Diri sebagai Strategi Politik

Pelaku di lapangan mungkin tergerak oleh ideologi. Namun organisasi punya motif yang jauh lebih rasional: menggunakan kekerasan demi tujuan politik.

Bom Bunuh Diri sebagai Strategi Politik
Anggota polisi mengamati motor yang digunakan terduga pelaku bom bunuh diri sebelum dievakuasi di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (29/3/2021). ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/aww.

tirto.id - ”Bidadarinya nanti langsung jemput kita, Zi?” Badrun bertanya lirih, nyaris berbisik, tanpa membuka matanya.

”Katanya begitu,” jawab Rozi juga dengan lirih.

Percakapan di atas dicuplik dari cerpen “Dua Pengantin” karya sastrawan peraih penghargaan Okky Madasari, terbit di Kompas tahun 2016 silam. Di atas angkot yang tengah melaju, dua pemuda saling bercerita tentang keluarganya, sampai mereka tiba di depan suatu pusat perbelanjaan dan melangkahkan kaki ke dalam bangunan. Singkat dan mengena, cerpen ini adalah salah satu upaya menangkap imajinasi religius pelaku bom bunuh diri.

Tapi benarkah aksi bom bunuh diri hanya bisa dibaca sebagai ekspresi keagamaan? Jika tidak, bagaimana meletakkan peran agama (dan ideologi)? Adakah perbedaan tujuan antara pelaku bom bunuh diri dan perekrutnya? Di berbagai belahan dunia, motif dan tujuan serangan bom bunuh sangatlah kompleks dan beragam. Pasca-tragedi 11 September di New York, tak terhitung banyaknya studi yang berusaha keras untuk mengungkapnya.

Tak isa dipungkiri, dampak teror bom bunuh diri sangatlah merusak. Menurut temuan profesor sosiologi Riaz Hassan dari Flinders University, sepanjang 1981-2006, serangan bunuh diri hanya mencakup 4 persen atau 1.200 kasus dari keseluruhan kejahatan terorisme. Akan tetapi, presentase yang kecil tersebut berdampak pada 32 persen kasus kematian, atau lebih dari 14 ribu korban jiwa.

Seiring waktu pemberitaan aksi-aksi teror bom bunuh diri yang berhubungan dengan ideologi agama semakin masif, terutama yang melibatkan kaum ekstremis Islamis, mulai dari bom Bali (2002, 2005) oleh Jemaah Islamiyah yang didukung Al Qaeda, serangan-serangan yang diklaim oleh Islamic State (IS) di Paris (2015) dan Baghdad (8) pada Januari silam, sampai pengeboman Gereja Katedral Makassar pekan lalu oleh anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok afiliasi IS yang terlibat dalam pengeboman katedral di Jolo, Filipina (2019) dan gereja-gereja di Surabaya (2018).

Pakar terorisme dari Harvard, Jessica Stern, pernah mencoba menjelaskan pemaknaan agama dalam aksi terorisme melalui buku Terror in the Name of God: Why Religious Militants Kill (2003). Stern mewawancari anggota-anggota dari kelompok teroris dengan latar belakang Muslim, Kristiani, Yahudi yang tersebar di Lebanon, Palestina, Israel, Pakistan, Indonesia sampai Amerika Serikat. Di balik keberagaman ajaran agama yang mereka anut, Stern dapati bahwa semuanya mengaku bertindak untuk “merespons panggilan spiritual”. Mereka, yang merasa dipermalukan dan marah karena terpinggirkan, “mengambil identitas baru sebagai martir atas nama tujuan yang diklaim spiritual”.

Sehubungan dengan karakter pelaku bom bunuh diri, pandangan menarik datang dari Ismail Abu Shanab, salah satu figur penting Hamas, organisasi Islam militan Palestina yang berdiri tahun 1987. Di mata Shanab, pihak yang bergabung di sayap militer Hamas umumnya lebih religius. Mereka biasanya juga merasa marah, karena mungkin pernah menyaksikan orang lain disakiti.

“Orang yang meledakkan bom tidak butuh banyak pelatihan—dia cuma butuh satu momen keberanian,” ujar Shanab dalam satu wawancara dengan Stern. Menurutnya, pelaku bom bunuh diri adalah “senjata yang hemat biaya”. Untuk membom sebuah mal di Israel misalnya, hanya dibutuhkan bom, denotator dan satu momen “keberanian”.

Dari pertemuannya dengan Shanab, Stern mengetahui cara kerja Hamas diawali dengan perekrutan pemuda-pemuda yang punya “keberanian”. Organisasi lantas berusaha menjaga dan memelihara mereka, memberikan sokongan emosional, spiritual sampai finansial. Stern menyimpulkan Hamas sebagai satu dari beberapa kelompok teroris yang “menggunakan agama untuk membenarkan aspirasinya demi kekuasaan politik dan merebut kembali tanah Palestina dari pendudukan Israel”.

Berkaca pada operasional Hamas, insiden bom bunuh diri dalam banyak kasus tak cukup dipahami sebatas sebagai ekspresi fanatisisme ideologi yang irasional. Aksi bom bunuh diri juga perlu dipahami sebagai strategi oleh tim perekrut untuk mencapai kepentingan politik, yang sifatnya tentu sangat rasional (baca: berorientasi tujuan).

Misi Bunuh diri: Strategi Organisasi

Serangan bunuh diri pada abad ke-20 bisa dilacak sampai Perang Pasifik. Sepanjang 1944-45, pilot-pilot kamikaze Jepang didoktrin semangat nasionalisme agar rela berkorban demi Kekaisaran Jepang. Di balik itu, misi yang diperkirakan menelan lebih dari 3.000 jiwa pilot ini dipandang sebagai strategi pragmatis dalam rangka menciptakan daya hancur maksimal pada pasukan Sekutu. Pasalnya, Jepang sudah mulai ketar-ketir bakal diganyang Amerika. Terlepas mereka kelak kalah perang, dampak serangan kamikaze sangat destruktif dengan kematian 7.000 prajurit AS, Australia dan Inggris, 34 kapal tenggelam dan ratusan lainnya rusak.

Serangan bunuh diri yang dilakukan oleh milisi atau kelompok teroris mulai menampakkan wujudnya pada dekade 1980-an. Disinyalir, trendsetter-­nya adalah grup militan Syiah dari Lebanon, Hizbullah. Hizbullah berada di balik aksi bom bunuh diri di Kedubes AS di Beirut yang menewaskan 63 orang pada April 1983. Pada Oktober, serangan bunuh diri dengan truk berisi bom dilakukan di kamp-kamp milik pasukan perdamaian multinasional di Beirut, yang bertugas menengahi gencatan senjata antara kubu Kristen dan Muslim dalam perang sipil yang bergejolak sejak 1975. Serangan ini menewaskan 241 personel Amerika Serikat dan 58 serdadu Perancis.

Serangan ini dikabarkan bertujuan mengacaukan rencana konferensi perdamaian Jenewa terkait penyelesaian konflik Lebanon, di samping mengintimidasi AS agar pasukan perdamaian yang dipimpinnya segera minggat. Meskipun bukan alasan utamanya, teror-teror ini diduga ikut mempengaruhi Presiden Ronald Reagan agar menarik pasukan AS dari Lebanon beberapa bulan kemudian.

Dalam manifesto yang terbit pada 1985, Hizbullah menekankan bahwa negara Islam adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang sah untuk diterapkan di Lebanon. Terlepas dari itu, Hizbullah juga punya cita-cita politik yang lebih pragmatis: menghancurkan Israel (yang mulai terlibat dalam konflik Lebanon sejak 1982), mengenyahkan pengaruh negara-negara Barat di Lebanon dan Timur Tengah, serta melawan musuh-musuh di dalam negeri terutama parpol sayap kanan Falangis Lebanon/Kataeb yang didukung mayoritas Kristen Maronit.

Pada 2009, Hizbullah memperbarui manifestonya. Mereka mengakui perlunya menghormati kebhinekaan di Lebanon sehingga tak lagi memaksakan pendirian republik Islam, meskipun masih memandang Israel dan Amerika sebagai musuh. Singkatnya, di balik ideologi agama, aksi-aksi serangan Hizbullah selama ini didasari oleh tujuan-tujuan politik yang realistis dan rasional: melawan dominasi bangsa asing.

Pakar ilmu politik Robert Pape dari University of Chicago kurang sepakat dengan pandangan bahwa fundamentalisme pada Islam dan agama-agama lainnya adalah alasan utama di balik aksi teror bunuh diri. Dalam buku Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism (2005), Pape menegaskan bahwa hampir mayoritas serangan bunuh diri mempunyai tujuan strategis yang spesifik: “memaksa negara demokrasi modern untuk menarik pasukan militernya dari wilayah yang dianggap para teroris sebagai tanah air mereka”.

Serangan teror bunuh diri yang melibatkan kelompok Islamis seperti Hamas atau Al Qaeda memang sangat ramai dibicarakan di media. Berdasarkan data yang diperoleh Pape sepanjang 1980-2003, separuh dari serangan bunuh diri berkaitan dengan fundamentalisme Islam. Akan tetapi, data juga menunjukkan sejumlah besar kasus yang melibatkan kelompok-kelompok non-agamis. Organisasi militan LTTE atau Macan Tamil di Sri Lanka adalah kelompok teroris yang paling banyak melakukan serangan bunuh diri—76 dari 315 insiden.

Milisi yang memperjuangkan kemerdekaan negara bagian Tamil di utara Sri Lanka ini menggunakan taktik serangan bunuh diri dalam aksi pembunuhan dua kepala negara—mantan Perdana Menteri India Rajiv Gandhi (1991) dan Presiden Sri Lanka Ranasinghe Premadasa (1993)—serta serangan di World Trade Centre, Kolombo (1997) yang menewaskan belasan orang dan melukai seratus lainnya.

Dikutip dari buku Pape, Macan Tamil punya unit khusus yang dipersiapkan untuk misi bunuh diri, yakni Black Tigresses dan Black Tigers. Bunuh diri, tulis Pape, “tidak terpisahkan dari misi mereka. Mereka dilatih membunuh orang lain sekaligus membunuh diri sendiri untuk memaksimalkan peluang misinya agar berhasil…”. Untuk menimbulkan dampak negatif yang besar itulah mereka menyasar petinggi politik atau melancarkan serangannya di tempat orang suku Sinhala banyak lalu-lalang.

Macan Tamil adalah satu dari sekian grup teror yang aksi kekerasannya tidak berangkat dari fundamentalisme agama. Sebagaimana The Economist paparkan, misi-misi bunuh diri yang digencarkan Macan Tamil sejak 1987 lebih terinspirasi oleh pengkultusan terhadap pimpinan kelompok, Velupillai Prabhakaran, alih-alih ajaran agama.

Infografik Bom Bunuh Diri Menurut Ahli

Infografik Bom Bunuh Diri Menurut Ahli. tirto.id/Fuad

Selain itu, kembali pada temuan Pape, masih ada Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di Turki, yang melancarkan serangan bom bunuh diri dalam rangka memperjuangkan otonomi bangsa Kurdi dan pembebasan pemimpinnya, Abdullah Ocalan. Namun, alih-alih dibakar oleh semangat jihad Islam, gerakan PKK dahulu lebih dipengaruhi oleh ideologi Marxisme-Leninis, yang juga mengakar kuat dalam Popular Front for the Liberation of Palestine. Sementara itu, Al-Aqsa Martyrs Brigade (AAMB) berasosiasi dengan gerakan nasionalis sekuler Fatah.

Pape melanjutkan, serangan bunuh diri juga dilakukan oleh kelompok-kelompok sekuler yang berhaluan komunis dan sosialis, seperti Partai Komunis Lebanon, Lebanese National Resistance Front, sampai Syrian Social Nationalist Party. Singkatnya, Pape mendapati bahwa sejumlah kelompok non-religius juga memanfaatkan misi-misi bunuh diri untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya.

Dosen ilmu komunikasi dari Georgia State University, Mia Bloom, juga memandang serangan bunuh diri sebagai bagian dari strategi operasional organisasi. Dalam buku Dying to Kill: The Allure of Suicide Terror (2005), Bloom mengungkapkan, misi-misi bom bunuh diri oleh grup teroris berfungsi layaknya “sarana untuk mengintimidasi dan menurunkan moral musuh”.

Bloom tidak menampik bahwa banyak pelaku di lapangam tergerak oleh agama atau ideologi. Namun demikian, tetap saja, organisasi di atas mereka punya motif yang jauh lebih rasional: menggunakan kekerasan demi mencapai tujuan politik. Tujuan-tujuan aksi kekerasan ini, menurut Mia, di antaranya untuk mengakhiri pendudukan bangsa asing, meningkatkan gengsi organisasi pelaku kekerasan, dan mendorong tercapainya kemerdekaan atau otonomi regional.

Kebangkitan Politik Transnasional

Para peneliti di atas umumnya menekankan peran agama sebagai alat rekrutmen. Namun, antropolog Scott Atran dari Centre National de la Recherche Scientifique, Paris, mempunyai pandangan berbeda dari Pape dan Bloom. Menurut Atran, aksi-aksi bom bunuh diri utamanya tidak dilatarbelakangi oleh kemarahan terhadap pendudukan bangsa asing atau ketiadaan demokrasi, namun tak pula bisa dipandang sebagai praktik nihilistik. Dalam studi berjudul “The moral logic and growth of suicide terrorism” (2006), Atran mewawancarai sejumlah anak muda dari berbagai latar belakang, dari pinggiran kota (banlieues) Paris sampai pelosok Indonesia, untuk mengungkap kompleksitas logika moral di balik aksi serangan bunuh diri.

Dalam pandangan Atran, banyak serangan bunuh diri berfungsi sebagai “banner actions” bagi kalangan diaspora global dan modern. Terinspirasi oleh ajaran agama, orang-orang diaspora ini mengklaim diri sebagai bagian dari kebangkitan gerakan politik transnasional—dalam hal ini Islam transnasional. Lalu, dari mana datangnya dorongan untuk terlibat dalam gerakan itu? Jawaban Atran: televisi dan internet berperan besar dalam memproduksi konten tentang ketidakadilan dan represi politik terhadap pemeluk Islam di berbagai penjuru dunia.

Citra kaum tertindas inilah yang kemudian diterima imigran Muslim di Eropa Barat sampai anak-anak muda di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya. Menurut Atran, kalangan muda ini adalah kelompok demografi yang cenderung idealis, cerdas dan menghayati nilai-nilai jihad. Pada akhirnya, Atran dapati bahwa mereka sama-sama menggaungkan “pesan tentang kesyahidan yang disederhanakan dan dilepaskan dari konteksnya demi jihad global sebagai tujuan hidup yang mulia”. Akibatnya, mereka tak hanya berani membunuh, tapi juga tak takut mati.

Merangkum berbagai hasil studi di atas, motivasi dan tujuan di balik aksi serangan bunuh diri selama ini sungguh rumit dan berlapis-lapis. Selain dilatarbelakangi oleh tafsir ekstremis dalam agama, serangan bunuh diri didorong juga oleh kepentingan politis dan strategis dari organisasi-organisasi perekrut. Di samping itu, aksi ini bisa muncul juga oleh pemaknaan tertentu terhadap nilai-nilai jihad yang diperkuat oleh konten-konten media tentang penderitaan kaum Muslim di berbagai belahan dunia.

Baca juga artikel terkait BOM BUNUH DIRI atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf