tirto.id - Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari menyampaikan puncak musim kemarau membuat polusi udara menjadi lebih terasa signifikan.
Muhari menjelaskan saat puncak musim kemarau pada periode Agustus-September 2023 jarang terjadi hujan.
“Tapi kok di awal tahun (polusi udara) tidak terasa? Karena ter-flushing terus oleh hujan, jadi di awal tahun Januari - April pertengahan Mei itu frekuensi hujan kita masih hampir tiap hari. Paling tidak kalau paginya bagus, sorenya hujan, kalau sorenya panas paling nggak malamnya yang hujan,” kata Muhari dalam konferensi pers daring, Selasa (22/8/2023).
Intensitas hujan yang sering pada awal tahun membuat dampak polusi udara tidak terlalu berasa. Padahal, kata Muhari, bisa jadi kandungan polutan di udara sama saja seperti saat ini.
“Begitu kemarau enggak ada yang flushing atau bersihin ini kenapa kita benar-benar merasa kualitas udara karena polutan akan tetap stay di bawah ketinggian yang kita bisa hirup terus,” ujarnya.
Muhari menyatakan BNPB mengupayakan teknologi modifikasi cuaca (TMC) selama tiga hari untuk membilas polutan di udara. Pelaksanaan TMC tidak hanya dilakukan di Kota Jakarta, namun juga Bandung, Semarang dan beberapa kota lain.
“Mudah-mudahan ini masih penanganan dalam fase kedaruratan tapi tentu saja nanti akan ada kebijakan jangka panjang yang akan kita laksanakan. Tapi untuk saat ini kita fokus dulu untuk penanganan jangka pendek yang bisa kita lakukan,” terang dia.
Dengan upaya TMC, BNPB berharap bisa memancing hujan untuk membersihkan polutan di udara.
“Sehingga paling tidak sampe kemarau ini ya kalaubpun tidak akan tiap hari minimal 2-3 kali seminggu hujannya bisa turun untuk kembali ngeflush (polutan),” tegas Muhari.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Gilang Ramadhan