tirto.id - Sebuah poster tanda protes direntangkan para demonstran, di Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus, Senin (6/10).
"Tolak satu KTP tiga SIM aktivasi..."
Demonstran yang berjumlah puluhan pelaku bisnis kartu perdana, membakar ribuan keping SIM Card. Mereka kecewa, karena ceruk bisnis penjualan kartu perdana prabayar terusik aturan baru pemerintah. Kejadian ini menambah daftar kejadian serupa yang sebelumnya terjadi di Grobogan, Jawa Tengah.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memberlakukan aturan wajib registrasi ulang kartu prabayar dengan mewajibkan data kartu keluarga dan KTP mulai 31 Oktober 2017. Aturan ini mengatur pengguna hanya diberi batas tiga nomor. Sanksi pemblokiran juga menanti bagi mereka yang tidak patuh.
Namun, bagi para penjual kartu perdana, kebijakan ini benar-benar bencana. Setidaknya sampai 28 Februari tahun depan, mereka memang masih bisa menjual kartu perdana dengan sistem "beli-buang" yang selama ini jadi andalan jualan mereka. Sayangnya, setelah itu, masa-masa menikmati cuan jadi jual beli kartu perdana akan selesai akibat kebijakan pemerintah. Padahal para pedagang ini bisa menjual rata-rata 100 kartu perdana per hari.
Apa yang menjadi keresahan para pedagang kartu perdana di Grobogan dan Kudus cukup beralasan. Setidaknya bila merujuk dari pengalaman Muha, seorang pedagang kartu perdana yang sehari-hari bekerja di sebuah toko di Pusat Perbelanjaan ITC Fatmawati, Jakarta Selatan. Bisnis jual beli kartu perdana yang selama ini diminati konsumen untuk kepentingan mendapatkan paket data internet berharga miring memang menggiurkan.
Muha mengaku keuntungan satu paket kartu perdana bisa berlipat-lipat dibandingkan hanya menjual paket pulsa atau data ke pengguna ponsel. Keuntungan dari satu paket perdana bisa setara dengan lima kali transaksi penjualan pulsa kepada konsumen.
“Kalau perdana Indosat 60GB harganya Rp60 ribu, harga modalnya sekitar Rp50 ribu. Pulsa dijual Rp12 ribu modalnya Rp10.700. Empat atau lima kartu perdana yang terjual sudah bisa membeli satu lagi kartu perdana,” kata Muha kepada Tirto.
Muha rata-rata bisa menjual 20-30 kartu perdana per hari. Artinya ia bisa memperoleh untung Rp200-300 ribu. Bayangkan, bagi pedagang yang setiap hari bisa menjual 100 kartu perdana, jumlah keuntungan bisa mencapai sekitar Rp1 juta dalam sehari.
Kini, Ia mulai juga merasa resah soal kebijakan pemerintah terkait wajib daftar ulang SIM Card. Alasannya sederhana, bisnis jualan kartu perdana memang lebih menjanjikan. “Lebih laku perdana. Voucher sudah nggak, sekarang rata-rata data. Isi ulang kan sekadar masa aktif dan SMS doang,” katanya.
Kartu perdana dan paket data internet yang ditawarkan para operator selular memang dicari konsumen karena sistem ini memberikan bonus kuota internet yang melimpah bagi para pemakai. Pola "beli-buang" paket perdana dan nomornya tak bisa terhindarkan.
Kondisi demikian juga ditopang adanya tren ponsel pintar yang sudah dilengkapi dua slot SIM Card. Satu slot diisi SIM Card utama sebagai nomor identitas pengguna. Satu slot digunakan untuk kartu berisi data yang diperoleh dari transaksi kartu perdana sistem "beli-buang".
Sistem "beli-buang" memang menguntungkan bagi seorang pengguna ponsel pintar. Kuota internet sebuah provider selular terbesar di Indonesia, dengan paket 500MB misalnya, dapat digunakan 24 jam di seluruh Indonesia pada jaringan 3G, plus kuota 1,5GB yang juga dapat digunakan 24 jam khusus di Jabodetabek pada jaringan 3G, juga kuota 5GB yang dapat digunakan 24 jam di jaringan 4G khusus Jabodetabek. Selain itu, ada bonus kuota untuk mengakses layanan video streaming, semuanya dapat ditebus seharga Rp50.000.
Dengan sistem ini, pengguna bisa memanfaatkan kuota internet perdana dengan total sebesar 7GB. Ini belum termasuk kuota untuk mengakses layanan streaming film yang disediakan sang provider. Tawaran yang lebih menggiurkan daripada membeli paket kuota internet reguler.
Baca juga:SIM Card, 'Surat Izin Mengemudi' Pengguna Jaringan Telekomunikasi
Untuk harga serupa pada pembelian paket internet secara reguler hanya mendapatkan 1,5GB kuota nasional, 1,5GB kuota lokal, dan bonus kuota sebesar 2GB masing-masing untuk layanan chat dan video streaming. Praktik “beli-buang” kartu perdana memang pilihan masuk akal bagi konsumen saat internet jadi kebutuhan utama masyarakat saat ini.
“Beli-buang perdana lebih murah. Kalau XL biasa normal beli 3GB itu sekitar Rp60 ribu. Ini Rp90an ribu dapat 21GB. Beda jauh banget,” ucap Frendy, seorang pengguna ponsel yang lebih memilih sistem "beli-buang"
Frendy dan para konsumen yang ketergantungan pada sistem "beli-buang" kartu perdana menjadi bagian dari konsumen yang menentukan capaian churn rate atau tingkat persentase jumlah pelanggan yang tak lagi memakai nomor ponsel yang sudah dibeli.
Bank of America Merrill Lynch (BoAML), sebagaimana dikutip dari The Jakarta Post, pada 2015 menyebut churn rate, perusahaan telekomunikasi mobile di Indonesia berada di angka 10 persen per bulan. Saat ini, diperkirakan ada 360 juta nomor kartu selular beredar di masyarakat, padahal jumlah penduduk Indonesia hanya sekitar 260 juta.
"Kalau riil pelanggan ada 175 juta tapi kartu mencapai 300 juta berarti satu orang punya dua kartu," kata Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dikutip dari Antara.
Baca juga:Celah Masalah Aturan Wajib Registrasi Ulang SIM Card
Dengan churn rate 10 persen saja, artinya dari 10 pelanggan provider, satu pelanggan akan meninggalkan nomor kartu tersebut dan berganti di bulan berikutnya. Posisi ini menempatkan perusahaan telekomunikasi mobile Indonesia memiliki churn rate paling tinggi di antara 53 negara yang disurvei BoAML. Di Amerika Serikat, rata-rata churn rate perusahaan-perusahaan telekomunikasi seperti Verizon, AT&T, T-Mobile, dan lainnya hanya berada di angka 1,19 persen per bulan.
Dalam konteks Indonesia, aturan pemerintah mewajibkan wajib daftar ulang SIM Card memang bertujuan mulia, salah satunya mencegah adanya kejahatan siber atau penyimpangan atau kejahatan lain dari penggunaan kartu atau nomor ponsel. Contoh yang paling sering menjadi persoalan adalah praktik penipuan “mama minta pulsa" dan sebagainya.
Di sisi lain, kebijakan ini membuat orang-orang seperti Muha mulai gelisah dan sebagian lagi kecewa hingga melakukan protes, karena menyangkut bisnis yang mulai terusik. Namun, bagi provider kebijakan ini juga akan memengaruhi peta bisnis dan strategi penjualan data mereka ke depannya.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra