Menuju konten utama

Bisakah Manusia Hidup Tanpa Plastik?

Ada sangat banyak gerakan yang mengkampanyekan hidup bebas plastik. Tetapi, apakah kita benar-benar bisa hidup tanpa produk-produk yang terbuat dari plastik?

Bisakah Manusia Hidup Tanpa Plastik?
Sampah plastik dan kayu terdampar di Pantai Teluk Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (28/1). Selain mengurangi keindahan pantai, keberadaan sampah itu juga dapat mengancam biota laut. ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/17.

tirto.id - Plastik adalah komponen yang paling sering kita temukan. Dari bangun tidur, hingga beraktivitas, plastik akan mudah ditemui. Coba perhatikan rumah Anda, dari pendingin ruangan, saklar, komputer jinjing yang tergeletak di lantai, hingga ponsel yang diletakkannya tak jauh dari bantal.

Kemudian di kamar mandi, kita akan menemukan plastik lebih banyak lagi, ada pintu, penutup kloset, pipa, rak, ember, sikat gigi dan tempatnya, kemasan sabun, sampo dan kondisioner, sikat pembersih, gayung, hingga shower. Di dapur pun begitu, mulai dari perlengkapan makan, kotak penyimpanan, hingga galon air mineral. Plastik ada di hampir setiap sudut rumah.

Di luar rumah, akan ada lagi ditemukan banyak plastik. Mulai dari toko ritel, perkantoran, hingga piranti di dalam mobil atau kendaraan umum. Nyaris tidak ada tempat yang "bebas" peralatan dari plastik.

Plastik sudah hadir dalam hidup manusia sejak sekitar 100 tahun lalu. Menurut American Chemistry, ia pertama kali diluncurkan oleh Alexander Parkes di 1862 Great International Exhibition, berlokasi di Kota London. Parkes menggunakan bahan organik yang berasal dari selulosa. Ia bisa dibentuk saat dipanaskan dan bisa mempertahankan bentuknya saat didinginkan.

Tahun 1907, perjuangan ahli kimia Leo Hendrik Baekland untuk menghasilkan pernis sintetis, terhambat pada formula untuk polimer sintetik baru yang berasal dari tar batubara. Dia kemudian menamakan substansi baru itu "bakelite." Bakelite, sekali terbentuk, tidak bisa dicairkan.

Karena sifatnya sebagai isolator listrik, Bakelite digunakan dalam produksi benda berteknologi tinggi termasuk kamera dan telepon. Ini juga digunakan dalam produksi asbak dan sebagai pengganti batu giok, marmer dan amber. Pada tahun 1909, Baekland telah menggunakan "plastik" sebagai istilah untuk menggambarkan kategori material yang ini benar-benar baru itu.

Paten pertama untuk polyvinyl chloride (PVC), zat yang sekarang digunakan secara luas digunakan dalam vinil dan pipa air, telah didaftarkan sejak 1914.

Tetapi, plastik tidak benar-benar lepas landas dan digunakan dengan masif sampai setelah Perang Dunia Pertama. Dengan menggunakan bahan baku dari minyak bumi, bahan dianggap lebih mudah diproses dibandingkan dengan menggunakan batu bara. Plastik kemudian hadir sebagai pengganti kayu, kaca dan logam selama masa kesulitan Perang Dunia I dan II.

Setelah Perang Dunia II, plastik yang lebih baru, seperti polyurethane, poliester, silikon, polypropylene, dan polycarbonate bergabung dengan polimetil metakrilat, polystyrene dan PVC diaplikasikan lebih luas. Plastik berada dalam jangkauan setiap orang karena murah.

Infografik Dunia Plastik

Semakin ke sini, penggunaan plastik semakin masif sehingga ia mendominasi sampah yang ada di dunia. Sifat plastik yang sulit terurai membuat terus menerus mengotori bumi, dari daratan hingga lautan.

World Economic Forum (WEF) memprediksi, pada 2050 produksi plastik di dunia akan mencapai 1.124 juta ton. Padahal pada 2014, total produksi plastik hanya 311 juta ton dan menghabiskan 6 persen dari total konsumsi global akan minyak bumi. Tahun 2050 nanti, konsumsi minyak untuk plastik diperkirakan mencapai 20 persen.

Dengan begitu, sampah plastik pun diprediksi semakin banyak. Tiga tahun lalu, dari setiap tiga ekor ikan di lautan, ada satu sampah plastik. Pada 2050, porsi sampah diperkirakan akan lebih banyak dari ikan dengan perbandingan 4:3, empat sampah plastik, tiga ekor ikan.

Menghadapi ancaman kerusakan lingkungan akibat sampah plastik, ada banyak sekali gerakan untuk meminimalkan penggunaan plastik. Tetapi, apakah manusia bisa hidup tanpa plastik? Jika berkaca pada masa sebelum plastik ditemukan, tentu manusia sudah terbukti bisa hidup tanpa plastik. Hanya saja, menanggalkan ketergantungan akan plastik yang sudah terlanjur, tentu akan sulit.

Ada banyak orang di penjuru dunia yang berusaha hidup tanpa plastik. Namun tetap saja, ada bahan-bahan yang terbuat dari plastik yang tak bisa mereka hindari, seperti pia air. Sifat plastik yang sulit terurai membuatnya menjadi material yang ideal untuk pipa, terutama yang harus ditimbun di dalam tanah.

Erin Rhoads, warga Australia sudah menjalani hidup tanpa plastik selama dua tahun. Dia menggunakan wadah stainless steel untuk menyimpan makanan, memakai minyak esensial untuk pelembab wajah dan badan, serta membeli sabun batangan untuk mengurangi sampah plastik kemasan sabun cair.

Tetapi Erin belum bisa menghindari tak menggunakan barang-barang elektronik pabrikan atau elemen-elemen kecil yang diproduksi hanya menggunakan plastik.

Mary Kat, memfokuskan upaya mengenyahkan plastik dari hidupnya dalam menyiapkan makanan. Kat menyadari bahwa sampah terbanyak berasal dari dapur. Saat ini, dia memilih memakai bahan-bahan yang tidak dikemas dengan plastik.

Selain dalam memilih bahan makanan, gaya hidup bebas plastik juga diterapkannya dalam menyimpan bahan makanan agar tak cepat membusuk. Misalnya, ia menyimpan basil dengan menggunakan kain. Ia membuat baking powder. Erin Rhoads dan Mary Kat adalah bukti bahwa manusia bisa hidup tanpa sebegitu bergantungnya pada plastik.

Melepaskan ketergantungan pada plastik, tentu akan lebih mudah jika dilakukan bersama-sama, oleh semua pemangku kepentingan dan produsen berbagai material. Selain kesadaran dari masyarakat itu sendiri, ia butuh peraturan dari pemerintah, perubahan bahan kemasan dari para produsen, dan lain sebagainya. Sebab jika dilakukan sendiri, ia akan terasa sulit dan repot sekali.

Di awal penciptaannya, plastik dikagumi karena ia bisa dibentuk apa saja, sesuai keinginan manusia. Tetapi pada akhirnya, penggunaan plastik telah membentuk ketergantungan manusia pada plastik itu sendiri, dan tentu saja ke arah yang tidak lebih baik.

Baca juga artikel terkait PLASTIK atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti