tirto.id - Agus Mudjono, pedagang sayur mangkal di salah satu perumahan kelas menengah di Ciputat, terlihat kewalahan. Ia diprotes ibu-ibu yang berbelanja karena mahalnya harga bawang putih.
“Masa bawang putih dua ribu cuma seuprit gini?! Mahal banget?! Tambain dong,” kata Diah, seorang ibu sekaligus pembeli yang protes.
Agus tak bisa meladeni permintaan langganan yang protes. Ia bilang harga bawang putih saat ini nyaris mencapai Rp60ribu per kg. “Bu, kalau mau ibu beli seperempat aja sekalian. Di pasar juga udah mahal, Bu,” ucap lelaki berusia 28 tahun itu dengan lesu.
Harga komoditas bawang putih belakangan memang melambung. Kenaikan harga bawang putih sebesar 35 persen ini bahkan menyumbang inflasi April sebesar 0,09 persen.
Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) menyebut, harga jual bawang putih secara rata-rata di wilayah Banten mencapai Rp55.750 per kilogram, periode 5 Mei 2019. Di DKI Jakarta, harga jual bawang putih mencapai Rp73.850 per kilogram dan paling tinggi tercatat di Jambi mencapai Rp87.900 per kilogram.
Sebagai informasi, harga bawang putih rata-rata seluruh provisi terendah tahun 2019 adalah sebesar Rp23.950 per kilogram yang terjadi pada Januari. Sedangkan harga bawang putih di DKI Jakarta paling rendah senilai Rp32ribu per kilogram yang merupakan harga pada dua pekan pertama Januari 2019.
Melambungnya harga bawang putih dikarenakan menipisnya stok jelang Ramadan. Mengatasi hal ini, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyetujui izin impor kepada tujuh perusahaan importir nasional bawang putih. Sebanyak empat kontainer impor bawang putih dengan berat muatan masing-masing 29 ton hingga 30 ton telah tiba di Indonesia dari Cina untuk menstabilkan harga.
Sebanyak 14 importir nasional juga sudah menandatangani kesepakatan dengan pemerintah untuk menjadi harga bawang putih turun menyentuh kisaran Rp30 ribuan per kilogram.
Indonesia Dikuasai Bawang Putih Impor
Konsumsi bawang putih di Indonesia menurut Kementerian Pertanian (Kementan) terbagi dua yaitu konsumsi langsung kelompok rumah tangga dan konsumsi tidak langsung yang meliputi pemenuhan kebutuhan untuk bahan baku industri, kebutuhan benih, dan tercecer. Konsumsi paling besar adalah sektor rumah tangga dengan persentase 92,63 persen dan sisanya untuk konsumsi tidak langsung sebesar 7,37 persen.
Data pendukung dari neraca bahan makanan Susesnas menunjukkan konsumsi langsung bawang putih oleh kelompok rumah tangga periode 2002-2016 berada dalam tren peningkatan dengan rata-rata 5,07 persen per tahun. Konsumsi bawang putih terendah terjadi pada 2002 sebesar 1,07 kg/kapita/tahun. Jika dirata-rata, konsumsi bawang putih nasional mencapai 500-600 ribu ton setiap tahunnya.
Pertumbuhan konsumsi idealnya diimbangi dengan pertumbuhan produksi bawang putih nasional. Kementan mencatat, tren pertumbuhan produksi bawang putih pernah terjadi pada 2013-2016, dengan masing-masing angka produksi 15.766 ton, 16.893 ton, 20.295 ton, dan 21.150 ton. Sayang, angka produksi bawang putih mengalami penurunan pada 2017 menjadi 19.510 ton.
Luas lahan panen bawang putih juga naik turun. Penurunan paling parah terjadi pada 2014 di mana luas lahan panen hanya 1.913 hektare, menyusut dibanding 2013 yang mencapai 2.479 hektare. Angka ini jauh dibanding Cina yang pada 2014 memiliki lahan seluas 785.452 hektare. Pada 2017, lahan panen bawang putih di Indonesia tercatat seluas 2.146 hektare.
Luas lahan tentu memengaruhi tingkat produktivitas komoditas bawang putih produksi petani. Produktivitas terendah tercatat pada 2013 yang sebanyak 6,36 ton per hektare, dan mencapai angka tertinggi yaitu 9,09 ton per hektare pada 2017. Sayangnya, angka itu hanya setara sepertiga tingkat produktivitas Cina yang mencapai 30 ton per hektare.
Ini artinya, Indonesia hanya sanggup memproduksi lebih kurang 4 persen dari total kebutuhan bawang putih nasional setiap tahunnya. Kondisi ini menjadi penyebab utama peningkatan volume impor bawang putih Indonesia.
Pada 2018, sebanyak 97 persen kebutuhan bawang putih nasional dipenuhi oleh impor yang mencapai 587.942 ton. Angka itu terus naik sejak 2016, di mana impor bawang putih Indonesia mencapai 448.881 ton senilai $448,62 juta, yang jika dirupiahkan dengan nilai tukar rata-rata saat itu Rp13.350 per dolar AS mencapai Rp5,97 triliun.
Tahun 2017, impor bawang putih naik menjadi 559.942 ton setara $596 juta, yang jika dirupiahkan dengan rata-rata kurs saat itu Rp13.385 per dolar AS, maka total nilai impor mencapai Rp7,98 triliun. Pada 2018, nilai impor bawang putih juga bertahan di kisaran $507,7 juta, yang diukur dengan nilai tukar rata-rata Rp14.246 per dolar AS, maka total Rp7,23 triliun.
Mungkinkah Swasembada Bawang Putih?
Andi Amran Sulaiman, Menteri Pertanian
pernah menargetkan swasembada bawang putih bisa terjadi di 2019, yang merupakan percepatan 14 tahun dari target swasembada semula yaitu pada 2033. Kementan merinci, untuk mencapai swasembada bawang putih membutuhkan lahan seluas 73 ribu hektare yang masing-masing diperuntukkan bagi konsumsi seluas 60 ribu hektare dan 13 ribu untuk produksi benih.Area tanam bawang putih tersebar di delapan kabupaten yaitu Solok, Bandung, Tegal, Magelang, Temanggung, Malang, Lumajang, dan juga Lombok Timur.
Sayangnya, upaya realisasi swasembada bawang putih di 2019 ini terkendala beberapa faktor seperti terbatasnya luas lahan panen untuk menanam bawang putih. Bawang putih di Indonesia umumnya ditanam di dataran tinggi dengan minimum 800-1.300 meter di atas permukaan laut, karena tanaman ini memerlukan suhu rendah dan panjang hari yang tepat dalam proses pertumbuhannya.
Di kawasan sub tropis, sinar matahari yang bersinar terus sepanjang hari selama 17 jam saat musim panas, membantu proses perkembangan tanaman bawang putih. Dengan panas matahari tinggi, suhu udara, kelembaban rendah, serta air tanah berlimpah, maka umbi bawang putih akan menggembung sangat besar.
“Faktor ini yang tidak bisa ditiru di Indonesia. Karena sinar matahari paling lama hanya bersinar antara 8-10 jam, jadi memengaruhi pertumbuhan bawang putih,” jelas Dwi Andreas Santosa, peneliti cum dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) kepada Tirto.
Faktor cuaca menghasilkan fisik bawang putih lokal yang lebih kecil ketimbang produksi Cina, serta memengaruhi pertumbuhan varietas bibit. Ujung pangkalnya, produktivitas pun terpengaruh. Di Indonesia, tingkat produktivitas bawang putih rata-rata 8 ton per hektare, jauh tertinggal dari Cina yang mencapai 30 ton per hektare.
Semua faktor itu tentu memengaruhi keputusan petani untuk menanam bawang putih. Karena, ongkos produksi tanam bawang putih dua kali lipat lebih mahal daripada impor dari Cina.
“Banyak petani meninggalkan menanam bawang putih dan beralih ke tanaman lain karena mahalnya biaya produksi sehingga sudah pasti rugi dan tidak mampu bersaing dengan bawang putih impor yang harganya jauh lebih rendah,” imbuh Dwi.
Siasat pemerintah mengatasi rendahnya lahan tanam bawang putih adalah dengan mewajibkan importir bawang putih untuk memproduksi 5 persen dari total pengajuan rekomendasi impornya. Kegiatan ini dinamakan Perluasan Areal Tanam Baru (PATB). Sejak diluncurkan pada 2017 sampai awal 2019, sudah tertanam 5.500 hektare bawang putih oleh importir.
Namun menurut Dwi, langkah ini tidak efektif untuk menjamin keberlangsungan produksi bawang putih dalam negeri. Karena, kalaupun produksi bawang putih lokal ditingkatkan tetapi ongkos produksi masih tinggi, maka tetap saja bawang putih lokal tidak dapat bersaing dengan impor.
“Prinsipnya bisa saja Indonesia memproduksi dan berswasembada bawang putih lagi. Tidak perlu banyak program dari pemerintah jika ingin Indonesia kembali memproduksi bawang putih sendiri, cukup dengan menjaga harga bawang putih di level petani menjadi menguntungkan bagi petani,” ucap Dwi.
Dwi menambahkan, salah satu cara untuk menjaga daya saing harga bawang putih adalah dengan penetapan kebijakan bea masuk impor untuk produk hortikultura. Selain itu, pola konsumsi masyarakat juga perlahan-lahan diubah dari yang sekarang menggemari bawang putih impor kembali beralih untuk mengkonsumsi bawang putih lokal.
Jurnal berjudul The Evaluation of Indonesia Import Policies of Garlic (PDF) yang ditulis oleh Putra Aditama Hariwibowo, dkk, menyebutkan, produksi bawang putih sangat dipengaruhi oleh luas lahan panen, faktor curah hujan, dan juga harga riil pupuk di tahun sebelumnya. Sementara itu, impor bawang putih sangat dipengaruhi oleh produksi, tarif impor dan juga nilai tukar.
“Indonesia masih terus meningkatkan impor bawang putih meskipun telah terjadi kenaikan harga impor dan produksi bawang putih dunia dan domestik. Ini karena, Indonesia sudah bergantung pada bawang putih impor,” jelas Putra (PDF).
Selain itu, harga riil bawang putih di Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh tarif impor yang rendah dalam jangka panjang. Tarif impor merupakan instrumen yang baik untuk kebijakan dalam mengendalikan harga bawang putih impor Indonesia, karena dapat mengurangi impor bawang putih.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia disarankan untuk mengevaluasi atau menegosiasikan kembali terkait pemberlakuan kembali tarif impor bawang putih sebesar 5 persen. "Karena memberikan dampak yang cukup besar untuk mengubah kesejahteraan secara keseluruhan," tulis jurnal tersebut (PDF).
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti