tirto.id - Untuk pertama kalinya Uruguay dan Perancis akan bertemu di fase knock-out Piala Dunia. Dua tim ini memang pernah berjumpa di Piala Dunia 1966, 2002 dan 2010 lalu, semuanya selalu terjadi di babak penyisihan. Dari tiga perjumpaan itu, Uruguay sekali menang dan dua laga sisanya berakhir imbang dengan skor kacamata.
Laga ini boleh dikata akan menjadi reuni antar-pemain. Banyak di antara mereka bermain di klub yang sama. Striker Uruguay, Luis Suarez, misalnya, ia akan menghadapi rekan setim di Barcelona, Samuel Umtiti.
"Saya selalu bercanda bahwa saya ingin menghadapi Umtiti di Piala Dunia," kata Suarez. "Dan itu menjadi kenyataan," katanya kepada Associated Press.
Begitu pun dua pemain Perancis, penyerang Antoinne Griezmann dan full-back kanan, Lucas Fernandez. Mereka akan menghadapi rekannya di Atletico Madrid, Diego Godin dan Jose Maria Gimenez. Godin bahkan dijadikan Griezmann sebagai ayah baptis anak perempuannya.
"Godin membuat saya ingin bergabung dengan Atletico. Dia adalah sahabat terbaik saya, kami selalu bersama, di pelatihan atau di luar sepakbola. Lebih sulit bermain melawan teman karena dia tahu segalanya tentang saya, seperti saya tahu segalanya tentang dia," kata Griezmann, dikutip dari ESPN.
Lini Pertahanan Uruguay yang Solid
Uruguay dipuji memiliki rencana permainan yang rapi dan terstruktur, terutama dalam bertahan. Dipimpin oleh kapten Diego Godin, barisan pertahanan (termasuk Jose Gimenez, Martin Caceres dan Diego Laxalt dan kiper Fernando Muslera) Uruguay memiliki rekor terbaik di Piala Dunia kali ini.
Dari empat pertandingan mereka baru kebobolan satu gol saat berjumpa Portugal di babak 16 besar. Gol itu pun bukan berdasar skema permainan terbuka, namun lewat bola mati.
Uruguay adalah tim tersolid di Piala Dunia kali ini. Rataan tembakan tepat sasaran per game ke gawang yang dijaga Fernando Muslera hanya berkisar 3,25 per game. Angka itu menjadi yang terkecil dibandingkan tujuh perserta lain babak delapan besar.
Padatnya pertahanan Uruguay membuat lawan selalu gagal melakukan bola-bola daerah. Dari empat pertandingan, hanya satu umpan througball yang sukses melewati lini pertahanan yakni dilakukan gelandang Arab Saudi, Taiseer Al Jassam.
Karena tidak bisa menembus melalui sisi tengah, baik itu melalui umpan terobosan maupun kerja sama umpan satu dua (seperti yang sudah berkali-kali dicoba Portugal di babak perdelapanfinal), maka lawan pun terpaksa menyerang melalui umpan silang. Statistik mencatat Uruguay adalah tim ketiga yang sering diserang umpan-umpan silang oleh lawan. Rataan crossing per laga ke gawang Uruguay mencapai 24 umpan, satu strip di bawah Swedia (26 umpan) dan Korea Selatan (25 umpan).
Jarak antarpemain saat bertahan selalu teratur, dengan jarak yang stabil, sekaligus rapat. Dan itu sering dilakukan dengan memainkan garis pertahanan yang rendah, baik dengan skema 4-4-1-1, 4-5-1 atau 5-4-1. Wajar jika Uruguay saat ini didapuk sebagai tim yang paling tersering melakukan intersepsi. Rataan intersep per pertandingan mencapai 16,5 pertandingan amat timpang seperti tim lain seperti Perancis (10,8), Brazil (10,3), Belgia (7,5) atau Inggris (5,8).
Apa yang dilakukan pelatih Uruguay Oscar Tabarez sebetulnya mirip seperti yang dilakukan Diego Simeone di Atletico Madrid. Saat bertahan, jarak antara baris belakang dan baris terdepan harus tidak lebih dari 25 meter. Di manapun posisi bola dan seperti apapun cara lawan menyerang, jarak ini tidak boleh berubah. Wajar jika Griezmann mewanti-wanti teman-temannya bahwa Uruguay akan bermain seperti Atletico.
"Uruguay akan bermain seperti Atletico, mereka akan menunggu, bertahan dan memengaruhi wasit," ucapnya kepada wartawan. "Kami akan harus membiasakan diri kepada itu sebab laga akan berjalan dengan membosankan dan mereka akan memaksa kami melakukan itu."Pada dasarnya Tabarez memang meniru 4-4-2 dipakai Simeone. Ia melakukannya pada dua pertandingan awal melawan Mesir dan Arab Saudi. Meski kokoh di belakang, ia merasa memerlukan fleksibilitas dalam menyerang. Atas dasar itulah ia memakai formasi 4-4-2 berlian yang sering terlihat seperti 4-3-1-2, dengan memberi peluang full-back untuk lebih menyerang.
Skema ini membawa berkah saat melawan Portugal. Terutama saat menyerang balik. Transisi muncul saat laga melawan Ronaldo cs, Tabarez mendorong gelandang kanan Nathan Fernandez setinggi mungkin bahkan sejajar dengan Cavani dan Suarez.
Posisi Nandez bergeser ke sayap kanan, otomatis menarik full-back kiri Portugal melepaskan penjagaan ketat Cavani. Alhasil terjadilah situasi satu lawan satu antara Cavani melawan bek tengah Portugal, Jose Fonte. Aktifnya full-back Uruguay yang lain, Caceres, ke pertahanan Portugal, menambah keunggulan jumlah pemain bagi Uruguay. Proses inilah yang terjadi sebelum gol pertama dicetak Cavani.
Saat lawan mulai membangun serangan dari lini belakang, mereka akan berusaha menekan lawan dengan struktur 4-3-3. Caranya mendorong seorang gelandang bergabung dengan Suarez dan Cavani demi mencegah bek lawan menginisiasi serangan lewat umpan pendek.
Saat melawan Portugal, Suarez-Cavani dan Nandez sukses memaksa William Carvalho dan Joao Fonte mengirim bola-bola jauh kepada Cristiano Ronaldo. Diego Godin dan Jose Gimenez relatif tidak kesulitan memenangkan duel-duel bola udara itu.
Selain melempar bola jauh ke depan, opsi lain bagi lawan-lawan Uruguay untuk melepaskan tekanan di wilayahnya sendiri adalah memberikan bola ke sayap. Di sanalah Nandez, Bentancur dan Caceres di kanan atau Suarez, Vecino dan Diego Laxalt di kiri bersiap mengganggu full-back lawan.
Tipikal Uruguay yang senang memainkan garis pertahanan rendah 4-4-1-1, 4-5-1 atau 5-4-1, membuat lawan hampir mustahil melakukan penetrasi lewat tengah. Itulah mengapa angka intersep Uruguay begitu tinggi dan baru satu throughball yang bisa menembus barisan pertahanan mereka.
Melawan Perancis, Tabarez menjanjikan pertandingan yang ketat. “Jika Anda membiarkan Perancis memiliki ruang itu akan sangat sulit, mereka punya pemain muda yang memiliki kecepatan yang luar biasa. Kami akan antisipasi hal itu. Para pemain bertahan kami sudah tau apa yang harus mereka lakukan,” ujarnya.
Uruguay punya persoalan berat terkait kebugaran Cavani. Ia mengalami cedera saat menghadapi Portugal dan akan menjadi kehilangan yang signifikan jika Cavani tidak bisa turun nanti malam. Tanpa Cavani, Uruguay akan menjadi lebih monoton, atau satu dimensi, saat menyerang. Ia menjadi bagian penting bukan hanya saat menyerang, namun juga dalam transisi dari menyerang ke bertahan dengan memberi tekanan pada lawan yang sedang membangun serangan dari bawah.
Tak diragukan lagi, Perancis sangat diuntungkan jika Cavani benar-benar tidak bisa bermain.
Mewaspadai Sisi Kanan Perancis
Mesti dianggap sebagai kandidat kuat juara Piala Dunia, Perancis dikritik tampil kurang maksimal pada fase grup. Mereka hanya bisa menang 2-1 dari Australia "berkat bantuan" VAR, menang 1-0 Peru karena kesalahan kiper dan imbang 0-0 melawan Denmark. Dua penyerang Griezmann dan Giroud dikritik tak memberi kontribusi berarti bagi Perancis.
Penampilan Perancis baru menuai pujian saat mereka menghempaskan Argentina dengan skor 4-3 di babak 16 besar pekan lalu. Didier Deschamp baru menemukan formasi yang bisa berjalan optimal setelah melakoni setengah perjalanan turnamen.
Saat melawan Australia, Deshchamp masih keukeuh memilih satu di antara dua pemain bertipikal sama yaitu Griezmann atau Giroud sebagai penyerang tombak dalam skema 4-3-3. Pilihan itu dianggap sukses membawa Perancis juara grup pada kualifikasi. Kenyataanya, saat melakoni di ajang utama Piala Dunia, skema itu tidak berjalan.
Perancis kesulitan menghadapi Australia di laga pembuka saat memasang Griezman-Mbappe-Dembele dan meninggalkan Giroud. Kehadiran Giroud pada babak kedua membuat Perancis tampil lebih baik. Pada pertandingan berikutnya, Deschamps memberi kesempatan Giroud dan Griezmann bermain bersamaan, mengubah formasi dari 4-3-3 jadi 4-2-3-1, dengan menaruh Griezmann di belakang Giroud. Sedangkan pada sektor gelandang trio N'golo Kante, Paul Pogba dan Blaise Matuidi tidak berubah. Namun di lapangan, 4-2-3-1 dipakai Deshcamps tanpa dua poros ganda. Alih-alih 4-2-3-1, skema Deschamp lebih terlihat menyerupai 4-4-1-1.
Cox menyebut Matuidi dapat melakukan hampir semua peran taktis. Melawan Peru dia berperan mematikan bek kanan Peru yang berbahaya, Luis Advincula. Matuidi juga punya peran penting meminimalkan ruang yang diberikan kepada Lionel Messi. Kata Cox, kedisiplinan Matuidi di sebelah kiri memberi ruang banyak untuk Mbappe di sebelah kanan.
"Dengan pemain yang taat disiplin di sebelah kiri, Deschamps mampu leluasa menyerang secara direct dari sebelah kanan," kata Cox. Kecepatan dan transisi Mbappe dari menyerang ke bertahan jadi kunci gol yang ia cetak ke gawang Argentina melalui proses saat serangan balik. Dan Matuidi berperan dalam proses ini.
Masalah bagi Perancis adalah Matuidi akan absen nanti malam karena akumulasi kartu. Jonathan Wilson, dalam kolomnya di The Guardian, menyebut kehadiran Matuidi seringkali membuat Mbappe leluasa maju melampaui Giroud.
"Namun Matuidi akan absen di perempat final nanti, tugas Deschamps adalah mempertahankan keseimbangan di lini tengah tanpa harus mengekang kebebasan eksplorasi Mbappé ketika menyerang," kata Wilson.
Lantas siapa pengganti Matuidi? Jika betul ingin memakai skema sama saat melawan Argentina, tipikal pemain yang sama seperti Matuidi adalah Corentin Tolisso. Gelandang Bayern Munich ini lebih berkarakter bertahan. Namun kabar terbaru dari ESPN menyebut Deschamp lebih memilih Nabil Fekir yang lebih berkarakter sebagai gelandang kreatif dengan visi menyerang
Opsi kedua ini wajar dilakukan Deschamp sebab karakter Argentina dan Uruguay jauh berbeda. Melawan Argentina, Perancis lebih menunggu. Mereka jarang menekan bek lawan, memilih Argentina maju terlebih dahulu sebelum melakukan fast-break saat menguasai bola. Di sisi lain, Argentina memang bermain terbuka, hal yang sepertinya tak akan dilakukan oleh Uruguay. Karena itulah opsi taktik baru harus dilakukan Deschamp agar bisa memaksimalkan Mbappe pada laga malam nanti.
Editor: Zen RS