tirto.id - Saat menghadapi Australia, Perancis mengawali pertandingan dengan meyakinkan. Memainkan Kylian Mbappe, Antoine Griezmann, dan Ousmane Dembele di lini depan, anak asuh Didier Deschamps tersebut sudah membuat empat tembakan tepat sasaran hanya dalam 11 menit pertama.
Namun itu hanya berjalan sebentar saja. Setelah itu Perancis seperti menemui jalan buntu. Mereka membutuhkan waktu 21 menit untuk bisa melakukan percobaan tembakan lagi dan tak ada tambahan ancaman ke gawang Australia hingga turun minum.
Pada babak kedua keadaan sedikit berubah. Perancis berhasil membuat delapan kali tembakan ke arah gawang dan mencetak dua gol. Meski begitu, sebagai salah satu unggulan, penampilan Perancis belum benar-benar meyakinkan. Pasalnya, sebagian besar dari percobaan tembakan ke arah gawang tersebut meleset dari sasaran dan dua gol Perancis perlu membutuhkan legitimasi dari Video Assistant Referee (VAR) dan Goal Line Technology (GLT). Oh, satu hal lagi: gol pertama Perancis dicetak Antoine Griezmann dari titik penalti dan gol kedua mereka merupakan gol bunuh diri Aziz Behich, full-back kiri Australia.
Di sepanjang pertandingan, Australia memang menyulitkan Perancis. Bermain dengan formasi 4-4-1-1, mereka sangat disiplin dan terorganisir begitu kehilangan bola. Pemain-pemain di lini depan langsung memberikan tekanan, memberikan kesempatan pemain-pemain di belakangnya untuk kembali ke posisinya. Dengan begitu, saat pemain-pemain Perancis mengirimkan bola ke lini depan, pemain tengah dan pemain belakang Australia sudah dalam keadaan siap untuk bertahan.
Dengan jarak lini tengah dan lini belakang Australia yang begitu rapat, Mile Jedinak dan Aaron Mooy, dua gelandang tengah Australia, bisa membatasi pergerakan Antoine Griezmann. Sementara itu, Mbappe dan Dembele kesulitan mencari ruang saat bergerak ke daerah half-space maupun melebar ke arah sayap. Karenanya Perancis tak bisa mengembangkan permainan.
Selain Australia bermain bagus, laga ini juga memperlihatkan kelemahan Perancis belakangan ini. Seperti pernah dibahas oleh Patrick Urbini dalam salah satu tulisannya di Guardian, Perancis belum konsisten, tidak memiliki identitas permainan, dan tidak bisa mengontrol permainan. Menariknya, pernyataan Urbini menyoal ketidakmampuan Perancis mengontrol permainan terlihat jelas saat menghadapi Australia: sebagai tim yang mengandalkan serangan balik, Perancis justru kesulitan saat mempunyai kesempatan untuk menguasai bola lebih sering daripada lawannya.
Meski kalah, Bert van Marwijk, pelatih Australia, tak luput memuji para pemainnya. Ia mengatakan, “Tidak ada yang menyangka kami (Australia) bisa tampil seperti ini melawan Perancis.” Dalam pujiannya itu, ia juga tak lupa menyindir penampilan Perancis: “Dalam banyak momen, mereka (Perancis) bahkan tak tahu harus melakukan apa.”
Deschamps Harus Menyiapkan Rencana Cadangan
Suatu waktu, Claudio Ranieri mengatakan kepada N’golo Kante: “Hei, N’golo, sabar. Sabar. Jangan berlari mengejar bola setiap saat, oke?
Kante menjawab, “Iya, Bos. Iya. Oke.”
Namun seperti angin lalu, Kante kembali berlari mengejar bola meski telah mendapatkan nasehat dari Ranieri itu. Karenanya, untuk kisah yang ia ceritakan dalam tulisan yang berjudul “We Do Not Dream” pada April 2016 itu, Ranieri menambahkan bahwa Kante pasti memiliki baterai cadangan dengan daya penuh di balik kostumnya.
Berlari untuk terus mengejar bola, juga melakukan tekel dan membaca permainan memang menjadi kelebihan Kante. Meski begitu, Kante bukannya tanpa kekurangan. Karena karakter permainannya yang senang berlari itu, ia sering kesulitan untuk mengontrol dan mengatur tempo permainan timnya. Singkatnya, ia agak kikuk saat bermain sebagai holding midfielder.
Dengan pendekatan seperti itu, sewaktu bermain di Leicester, Ranieri menyiasati kekurangan Kante tersebut dengan memainkan Danny Drinkwater di sampingnya. Di Chelsea, Antonio Conte juga melakukan pendekatan serupa. Pada musim 2015-2016, saat Chelsea menjadi juara Premier League, Conte menduetkan Kante dengan Nemanja Matic. Satu musim setelahnya, saat Matic pindah ke Manchester United, Conte sering menduetkannya dengan Cesc Fabregas. Drinkwater, Fabregas, maupun Matic mempunyai kemampuan mengontrol permainan tim lebih bagus daripada Kante.
Menariknya, bersama timnas Perancis belakangan ini, Didier Deschamps justru sering memainkan Kante sebagai holding midfielder – terutama saat timnya bermain dengan formasi 4-3-3. Karena pendekatan taktik Deschamps yang menekankan serangan balik dan perkembangan yang dialami Kante dalam dua musim terkahir, pemain Chelsea itu tampak baik-baik saja dengan perannya barunya. Namun, saat Perancis menghadapi lawan yang mempunyai kualitas di bawah mereka, Perancis seringkali kesulitan mengendalikan jalannya permainan karena pendekatan Deschamps tersebut. Kante belum bisa tampil sebaik Drinkwater maupun Matic dalam mengontrol permainan timnya.
Karena masalah itu sangat kentara saat Perancis mengalahkan Australia di pertandingan pembuka, Deschamps sebaiknya melakukan sedikit perubahan saat menghadapi Peru. Ia bisa memainkan Kante lebih ke depan, menjadi salah satu gelandang box-to-box Perancis, yang bisa membuatnya tampil lebih mobile seperti saat bermain bersama Leicester City.
Sebagai gantinya, Deschamps bisa memainkan Steven N’zonzi sebagai hoding midfielder. Pemain Sevilla tersebut memang mempunyai kualitas untuk mengatur tempo. Dalam dua musim terakhir, perannya sebagai holding midfielder Sevilla bahkan nyaris tak tergantikan.
Penampilan N’zonzi bersama Sevilla pada musim 2016-2017 lalu bisa menjadi contoh. Saat itu, tampil dalam 35 pertandingan, N’zonzi rata-rata melakukan 79,8 kali percobaan umpan dalam setiap laga, menjadi pemain yang paling sering melakukan percobaan umpan di La Liga, dengan tingkat akurasi mencapai 89,9%. Berkat perannya itu, dengan rataan penguasaan bola mencapai 56,4%, Sevilla berhasil menjadi tim terbaik ketiga di La Liga menyoal penguasaan bola, hanya kalah dari Barcelona dan Las Palmas.
Jika Deschamps benar-benar memainkan N’zonzi saat melawan Peru, Perancis sendiri akan mendapatkan beberapa keuntungan. Pertama, mereka bisa mengontrol jalannya pertandingan saat Peru memilih bermain bertahan. Kedua, Kante bisa bermain di posisi terbaiknya. Ketiga, Paul Pogba, yang pada pertandingan melawan Australia sering membantu Kante mengontrol permainan Perancis, bisa memaksimalkan kemampuannya dalam menyerang.
Memaksimalkan Kemampuan Menyerang Paul Pogba
Pogba membuat lima operan kunci (umpan yang dikonversi menjadi tembakan) saat Perancis mengalahkan Australia, terbanyak di antara pemain-pemain lainnya. Ia juga menjadi penyebab dua gol Perancis pada pertandingan tersebut. Penalti Perancis berawal dari umpan terobosan terukurnya ke arah Antonie Griezmann dan pergerakan yang dilakukannya mengakibatkan Aziz Behich, full-back kiri Australia, membelokkan bola ke dalam gawangnya sendiri.
Dari semua itu, proses gol bunuh diri Behich dapat menunjukkan salah satu alasan mengapa Pogba bisa bermain lebih maksimal saat mendapatkan kesempatan untuk maju ke depan:
Sedikit berada di wilayah permainan Australia, Pogba melakukan umpan satu dua sentuhan dengan Kylian Mbappe. Setelah itu, sampai di area sepertiga akhir, ia bergerak cepat ke depan untuk mengirim umpan ke arah Oliver Giroud. Menyadari pergerakan yang dilakukan Pogba, penyerang Chelsea tersebut berusaha menahan bola lebih lama. Ia baru mengirimkan umpan terobosan pelan saat Pogba masuk ke dalam kotak penalti Australia. Pogba lalu berusaha menguasai bola, tetapi Aziz Behich, yang menguasai bola terlebih dahulu, tak sengaja membelokkan bola ke dalam gawangnya.
Sayangnya, daripada lebih sering melakukan pergerakan seperti itu, Pogba justru lebih banyak membantu Kante mengatur tempo permainan Perancis. Di sepanjang babak pertama, terutama setelah Perancis melakukan empat tembakan ke gawang, Pogba, Kante, dan Toluliso bahkan sering berdekatan dengan pemain-pemain belakang Perancis. Hasilnya, Perancis kesulitan untuk mengirimkan umpan ke depan.
Saat bermain bersama Juventus pada musim 2015-2016, Pogba tidak menjalankan peran seperti itu. Bermain bersama Claudio Marchisio dan Sami Khedira di lini tengah, ia diberikan kebebasan untuk menyerang. Sementara Marchisio bertugas mengatur tempo permainan persis dari depan garis pertahanan dan Khedira menjadi petarung, Pogba sering muncul dari lini kedua untuk menciptakan perbedaan. Hasilnya, ia menikmati salah satu musim terbaiknya: Pogba mencetak 8 gol dan mencatatkan 12 asist.
Jika Deschamps memainkan N’zonzi serta Kante sebagai pendamping Pogba di lini tengah, ia bisa meniru pendekatan Juventus tersebut. Terlebih, dalam beberapa atribut, N’zonzi dan Kante mempunyai kemiripan dengan Marchisio dan Khedira. Marchisio memang lebih dinamis daripada N’zonzi, tetapi keduanya pintar mengatur tempo permainan timnya. Sedangkan Kante, meski tak mempunyai kemampuan menyerang sebaik Khedira, kemampuan bertarungnya justru lebih bagus daripada pemain asal Chili tersebut.
Selain itu, saat Perancis kehilangan bola, kemampuan bertahan Pogba akan lebih berguna saat ia bermain lebih ke depan. Daripada melakukan intersep, Pogba lebih mahir melakukan tekel. Itu artinya, ia bisa lebih leluasa melakukannya saat bermain lebih ke depan daripada di belakang. Sewaktu bermain bersama Juventus, kemampuan tekelnya bahkan mampu membantu pressing yang kadang diterapkan oleh Conte maupun Allegri.
Meski begitu, keputusan tetap ada di tangah Deschamps. Yang jelas, dengan perannya sejauh ini, Pogba sering mendapatkan kritik. Jika Deschamps tidak segera melakukan perubahan, ia seharusnya ikut bertanggung jawab. Baik terhadap Pogba, juga terutama kepada timnas Perancis.
Editor: Zen RS