tirto.id - Peristiwa bersejarah datang dari Inggris. Pada Rabu (15/5), para peneliti di Laboratorium Dewan Penelitian Medis Biologi Molekuler yang dipimpin oleh ahli biologi molekuler, Jason Chin, mengumumkan bahwa mereka telah berhasil menulis ulang DNA bakteri Escherichia coli (E.Coli) di genom sintetis atau genom buatan.
Dilansir dari The New York Times, bakteri hidup dalam genom sintetis itu punya bentuk berbeda dan bereproduksi dengan lambat, tapi sel-sel mereka beroperasi dengan aturan biologis baru sekaligus menyesuaikan diri dengan lingkungan genom buatan.
Dibanding penemuan pendahulunya, genom sintetis buatan Chin berhasil dibuat sepanjang empat juta pasang basa dan metode pengerjaannya jauh lebih rumit. Bakteri sintetis yang berhasil hidup ini juga dapat memberikan petunjuk tentang kode genetik yang muncul dalam sejarah awal kehidupan. Temuan yang kemudian dipublikasikan dalam jurnal Nature itu mendapat pujian dari peneliti lainnya.
“Ini adalah tonggak baru,” kata Tom Ellis, direktur Pusat Biologi Sintetis di Imperial College London, Inggris. “Tak ada yang melakukan hal seperti itu dalam hal ukuran atau dalam jumlah perubahannya sebelumnya.”
Tim peneliti yang dipimpin Chin hanyalah salah satu dari banyak kelompok yang berlomba-lomba mengembangkan ilmu biologi sintetis dalam beberapa tahun terakhir. Penelitian Chin itu juga seakan melanjutkan temuan besar sembilan tahun lalu dari para peneliti di J. Craig Venter Institute (JCVI) di Rockville, Amerika Serikat.
Pada 2010, penelitian JCVI yang dipimpin langsung oleh ahli genetika bernama John Craig Venter, berhasil menciptakan organisme hidup pertama dengan genom sepanjang satu juta pasang basa yang sepenuhnya sintetis. Genom sintetis itu dikembangkan dari genom alami M. mycoides.
Dikutip dari Live Science, para peneliti ini lantas mentransplantasikan genom sintetis ke dalam sel M. capricolum yang telah dikosongkan dari genomnya sendiri. Hasilnya, bakteri dapat bekerja dan bereproduksi dengan cara yang sama seperti saat berada di genom M. mycoides alami.
Temuan ini menjadi bukti bahwa genom sintetis, yang dirancang dalam komputer dan dirakit di laboratorium, dapat berfungsi ketika menampung sel donor. Hal ini disebabkan sel dapat bereproduksi menjadi sebuah kehidupan buatan. Organisme tersebut kemudian juga disebut sebagai sel sintetis.
"Ini adalah langkah penting baik secara ilmiah maupun filosofis," kata Venter seperti diwartakan The Guardianpada 2010. "Itu benar-benar telah mengubah pandangan saya tentang definisi kehidupan dan bagaimana kehidupan bekerja."
Yang Bisa Dilakukan dengan Biologi Sintetis
Encyclopaedia Britannicamenyebut, secara definisi, biologi sintetis adalah bidang penelitian dengan tujuan utama untuk menciptakan sistem biologis yang beroperasi penuh dari bagian terkecil, termasuk DNA, protein, dan molekul organik lainnya. Dalam prosesnya, biologi sintetik menggabungkan banyak teknik dan pendekatan ilmiah yang berbeda.
Dalam temuannya, Venter mengatakan bahwa pencapaian penciptaan genom sintetis itu menandai awal era baru ketika manusia bisa menciptakan kehidupan yang memberi manfaat bagi mereka, seperti penciptaan bakteri yang menghasilkan biofuel, menyerap karbon dioksida dari atmosfer, atau memproduksi vaksin.
Vener benar. Pada 2017 ia dan timnya dari Synthetic Genomics San Diego yang didanai ExxonMobil berhasil menciptakan ganggang yang menghasilkan lipid dua kali lebih banyak, tetapi tetap tumbuh seperti biasa. Lipid inilah yang bisa diekstraksi menjadi minyak, alias masuk dalam kategori biofuel karena berasal dari tumbuhan. Memang masih butuh waktu cukup panjang untuk membuat produksi minyak dari hasil utak-atik biologi sintetis itu dapat menyaingi hasil minyak bumi. Namun setidaknya langkah ke sana sudah dimulai.
James Mitchell Crow, seorang peneliti kimia sekaligus jurnalis sains dalam esainya untuk Cosmos Magazine pada 2018 menjuluki era revolusi biologi sintetis yang sedang bergulir sebagai era Kehidupan 2.0.
Ia menjelaskan apa yang bisa dilakukan oleh biologi sintetis di masa mendatang. Bayangkan: ada ubur-ubur buatan yang berkelana di lautan untuk mencari racun guna dihancurkan. Atau ada virus yang didesain untuk membunuh kanker. Atau gawai yang bisa memperbaiki diri sendiri laiknya mahluk hidup yang bisa sembuh dari luka.
Imaji-imaji yang sekarang mungkin belum terbayangkan dengan jelas itu sebagian besarnya sedang dirintis oleh biologi sintetis. Contoh lainnya adalah penelitian Nina Pollak yang sejak 2017 mengembangkan penciptaan organisme multiseluler berbasis biologi sintetis yang mampu mendeteksi tumpahan racun di perairan. Juga penelitian Timothy Lu pada 2017 yang membikin virus pembunuh kanker berbasis RNA sintetis.
Menariknya, meski teknologi biologi sintetis ini dianggap sebagai pengawal revolusi Kehidupan 2.0, ia bukan hal yang benar-benar baru. Biologi sintetis dapat dilacak sejak seorang ahli genetika Polandia, Waclaw Szybalski mencetuskan istilah sintetis dalam sebuah konferensi pada 1973.
“Hingga saat ini kami sedang mengerjakan fase deskriptif biologi molekuler ... Tetapi tantangan sebenarnya akan dimulai ketika kita memasuki fase sintetis ... Kami kemudian akan menyusun elemen kontrol baru dan tambahkan modul-modul baru ini ke genom yang ada atau bangun genom yang sama sekali baru," ujar Szybalski kala itu.
Etika Kehidupan Buatan yang Diperdebatkan
Meski biologi sintetis ini diklaim punya banyak manfaat, muncul kekhawatiran tentang dampak buruk dari penciptaan kehidupan buatan dan memunculkan perdebatan soal etika biologi sintetis.
Saat Venter mengumumkan temuan besarnya pada 2010, selain mendapat pujian, temuannya juga mengundang reaksi kecaman dari kalangan lain, termasuk menyebut Venter sedang “bermain Tuhan”.
Julian Savulescu, profesor etika praktis di Oxford University merespon temuan Venter dengan menyebut bahwa Venter telah membuka “pintu paling dalam dari sejarah umat manusia”.
“Dia tidak hanya meniru kehidupan secara artifisal (buatan) … atau memodifikasinya secara radikal dengan rekayasa genetika. Dia menuju peran sebagai Tuhan: menciptakan kehidupan buatan yang belum pernah ada sebelumnya,” ujar Savulescu dikutip dari TheGuardian.
Thomas Douglas dan Julian Savulescu dalam "Synthetic Biology and the Ethics of Knowledge" (2010) menyodorkan tiga kekhawatiran terkait perkembangan ilmu biologi sintetis.
Selain klaim "bermain Tuhan" yang menggaung dari kalangan agamawan, kekhawatiran kedua adalah ketika biologi sintetis berhasil menciptakan organisme yang bisa menjalankan fungsi tertentu, hal itu bisa mengaburkan perbedaan antara makhluk hidup dan mesin. Ketiga, sekaligus kekhawatiran terbesar: penyalahgunaan teknologi untuk hal berbahaya, semisal pengembangan senjata biologi.
Hingga kini, perdebatan tentang etika memang masih tampak samar, karena toh para ilmuwah biologi sintetis ini baru mengembangkannya di ranah bakteri dan sejenisnya. Mungkin kelak, ketika biologi sintetis sudah berkembang ke tahap penciptaan manusia atau hewan buatan, maka perdebatan etika akan lebih kencang bergaung.
Ini terjadi ketika para ilmuwan di Cina mengedit genom sepasang bayi kembar dan berhasil dilahirkan ke dunia. Atau soal kloning manusia. Keduanya sama-sama memunculkan isu etika yang diperdebatkan mengenai pantas tidaknya melakukan proyek tersebut.
Bagaimanapun, kekhawatiran sejumlah kalangan terkait etika dan dampak buruk perkembangan biologi sintetis juga sama-sama dipertanyakan kembali. Pasalnya, menurut Peter Godfrey-Smith, profesor filsafat dari Harvard University, masyarakat telah terbiasa dengan penemuan-penemuan ilmiah dan kemajuan teknik yang juga punya peluang merusak dan mengusik etika.
Barangkali yang perlu diingat adalah bahwa setiap kemajuan teknologi, masalah etika tidak terletak pada penemuan itu, melainkan pada tangan yang menggunakannya. Tak terkecuali biologi sintetis.
Editor: Nuran Wibisono