tirto.id - Albert Frederick Arthur George atau yang kemudian dikenal dengan Raja George VI adalah ayah dari Ratu Elizabeth II. Penguasa Kerjaan Inggris satu ini adalah Raja ketiga dari wangsa Windsor.
Raja George VI adalah putra kedua dari raja George V. George VI menjadi raja secara tak terduga setelah saudaranya Raja Edward VIII, turun tahta, pada Desember 1936.
Saat masih menjadi seorang pangeran, ia bertugas di Royal Navy (1913–1917), Royal Naval Air Service (1917–1919), dan Royal Air Force (1919) dan kemudian kuliah di Trinity College, Cambridge (1919–1920).
Pada 3 Juni 1920, dia diangkat dan diberi gelar The Duke of York. Sejak saat itu ia menjadi sponsor Duke of York’s Camp tahunan (1921 – 1939), yaitu saat anak-anak laki-laki dari sekolah swasta dan negeri dari kawasan industri menghabiskan seminggu bersama sebagai tamunya.
Pada 26 April 1923, ia menikah dengan Lady Elizabeth Angela Marguerite Bowes-Lyon, putri bungsu dari 14 earl Strathmore dan Kinghorne. Mereka memiliki dua anak yaitu Putri Elizabeth (kemudian menjadi Ratu Elizabeth II) dan Putri Margaret (kemudian bergelar Countess Snowdon).
Duke of York naik takhta pada 11 Desember 1936, setelah saudaranya Edward VIII turun takhta, dia secara resmi dinyatakan sebagai raja pada hari berikutnya. Dia mengambil nama George VI dan dimahkotai pada 12 Mei 1937.
Raja George VI Saat Perang Dunia II
Britannica menulis, sebelum pecahnya Perang Dunia II, Raja George VI menegaskan solidaritas Anglo-Prancis dan menjalin persahabatan yang erat dengan Presiden AS. Franklin D. Roosevelt, tetapi dia mendukung kebijakan “peredaan” Perdana Menteri Neville Chamberlain terhadap Jerman dan Italia.
Pada Mei 1940, ketika House of Commons memaksa Chamberlain untuk mengundurkan diri, Raja George VI ingin menunjuk Edward Frederick Lindley Wood (kemudian 1st earl of Halifax) ke jabatan perdana menteri tetapi dibujuk untuk memilih Winston Churchill, yang kepemimpinan masa perangnya kemudian ia dukung tanpa syarat.
Selama perang, Raja George VI menjadi simbol keberanian dan ketabahan yang kuat bagi rakyat Inggris. Alih-alih memindahkan keluarganya ke tempat yang aman di Kanada, ia tetap berada di Britania Raya selama Pertempuran Britania.
Dia juga mengunjungi pasukannya di beberapa medan pertempuran. Selain itu, George VI juga menunjukkan tekad yang kuat dalam perjuangannya mengatasi kegagapan saat bicara yang telah dideritanya sejak kecil.
Perjuangan dan kemauan keras George VI yang luar biasa ditangkap dalam film The King's Speech (2010), yang menggambarkan hubungan jangka panjangnya dengan terapis wicara Australia yang tidak konvensional Lionel Logue. George VI berhasil memberikan pidato radio yang ditayangkan secara langsung pada 3 September 1939, sebagai tanda bahwa Inggris memasuki Perang Dunia II.
Meskipun Raja George VI telah berhenti menjadi kaisar India ketika India dan Pakistan menjadi negara merdeka yang terpisah, ia secara resmi diakui, pada 27 April 1949, sebagai kepala Negara Persemakmuran oleh pemerintah negara-negara anggotanya.
Akhir Kekuasaan Raja George VI
Royal United Kingdom melaporkan sejak 1948, kesehatan raja memburuk, dan dia meninggal beberapa bulan setelah menjalani operasi kanker paru-paru. Raja George VI gagal pulih dari operasi paru-paru, dan meninggal dalam tidurnya pada 6 Februari 1952 di Sandringham, saat berusia 56 tahun.
Setelah disemayamkan di Westminster Hall, pemakaman Raja diadakan di Kapel St George, Windsor, lokasi tempat ia dimakamkan.
Pada pemakaman Raja, terlampir karangan bunga Pemerintah Inggris disertai kartu ucapan yang ditulis oleh perdana menteri pada masa itu Winston Churchill, ia menulis kalimat yang tertulis di Salib Victoria - 'Untuk Keberanian'.
Terlepas dari kepemimpinan simbolis George atas rakyat Inggris selama Perang Dunia II, pemerintahannya mungkin paling penting untuk mempercepat evolusi Kerajaan Inggris menjadi Persemakmuran Bangsa-Bangsa dan transformasi Inggris Raya pascaperang menjadi negara kesejahteraan.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Nur Hidayah Perwitasari